Muaradua adalah wilayah kecil yang menjadi pusat pemerintahan Kab. Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, Sumatera Selatan (Sumsel). Untuk mencapai Muaradua perlu perjalanan 7-8 jam dari Kota Palembang.
Ketika warga Jakarta dan sekitarnya mulai dihebohkan oleh kasus positif COVID-19 di awal Maret, kami yang tinggal di Muaradua masih merasa aman karena tinggal jauh dari kota besar.
Dua minggu setelah kasus positif pertama muncul, kantor-kantor dan sekolah-sekolah mulai menerapkan metode bekerja dan belajar di rumah. Kekhawatiran warga Muaradua dan sekitarnya mulai muncul ketika orang-orang yang seharusnya bekerja dan belajar di rumah ini memilih untuk pulang ke kota/desa asalnya. Saat saya sedang berkunjung ke salah satu desa, masih di dalam wilayah OKU Selatan, seorang ibu-ibu petani bercerita kalau anaknya yang sekolah di Palembang akan pulang karena kampusnya mulai menerapkan metode belajar di rumah. Semakin gelisah rasanya ketika teman-teman lain juga mendengar bahwa orang-orang yang kerja di Jabodetabek mulai pulang ke Muaradua dan sekitarnya.
Di pertengahan minggu ketiga Maret, sekolah-sekolah di Muaradua mulai ikut menerapkan metode belajar di rumah. Di minggu keempat, kantor-kantor juga mulai menerapkan metode bekerja di rumah, termasuk kantor saya. Karyawan diminta untuk datang ke kantor hanya ketika ada yang perlu didiskusikan. Diskusi pun hanya diperbolehkan untuk 3-5 orang.
Organisasi kami menyediakan pelatihan-pelatihan untuk petani. Kegiatan ini pun dihentikan sementara, namun konsultasi one-on-one masih dijalankan jika memang diperlukan. Kantor saya pun membuat grup WhatsApp khusus untuk memastikan bahwa orang yang berkunjung ke kantor diatur agar tidak terlalu ramai dan untuk meng-update informasi-informasi seputar COVID-19. Saat itu, ada 1 kasus positif di Palembang dan sudah banyak orang yang berstatus ODP dan PDP di kabupaten-kabupaten lain.
Perubahan mulai semakin terlihat di akhir Maret. Pemerintah daerah mulai membuat situs khusus untuk menunjukkan informasi penyebaran kasus COVID-19 di Sumsel. Kontrol di terminal diperketat. Warga yang baru datang dari wilayah yang ada kasus positif langsung diberi status ODP dan diminta untuk mengarantina diri di rumah selama dua minggu. Spanduk mengenai informasi COVID-19 dipajang di jalan-jalan utama. Kantor-kantor dan beberapa rumah makan mulai membuat tempat cuci tangan di depan pintu agar orang-orang cuci tangan sebelum masuk. Minimarket seperti Indomaret dan Alfamart menyediakan hand sanitizer di dekat kasir untuk pelanggan yang ingin menggunakan. Perubahan juga terlihat di lokasi-lokasi yang biasa ramai. Pangkalan ojek dekat sekolah-sekolah mulai sepi sejak siswa belajar di rumah. Kedai kopi yang biasa ramai di malam hari pun kini sudah mulai sepi dan lebih sering tutup.
Kekhawatiran warga terlihat dari cara mereka berjaga-jaga saat interaksi dengan orang yang baru datang dari wilayah lain. Di salah satu desa, dibuat pos siaga agar setiap orang yang baru masuk desa didata. Foto orang yang berstatus positif di kabupaten tetangga pun tersebar dengan peringatan agar warga berhati-hati.
Stigma yang menempel pada penyakit ini terlihat dari interaksi saya dengan salah seorang penjual makanan. Tempat makan itu kebetulan jadi langganan WNA yang dipekerjakan kantor saya. Sempat ia khawatir kalau karyawan kami terinfeksi COVID-19.
“Mbak, boleh tanya gak? Tapi jangan tersinggung, ya?” ia mencoba menuntaskan rasa penasarannya. “Pak Bule aman ‘kan, ya?”
Saya yang juga sesekali makan di warung itu pun meyakinkan dirinya kalau “Pak Bule” aman, karena sejak kasus positif muncul dia tidak pernah keluar Muaradua.
“Iya, takut, Mbak. Yang lain (tetangga) juga pada nanyain soalnya,” si ibu memastikan bahwa pertanyaan ini hanya sekadar untuk menjawab kekhawatirannya.
Perilaku warga sehari-hari memang berubah sejak adanya COVID-19. Namun perubahan ini tidak sesignifikan perubahan yang terjadi di kota-kota besar. Karyawan masih bisa ke kantor jika memang dibutuhkan. Masih ada warga yang makan di warung-warung makan, tidak dibawa pulang. Pasar memang terlihat lebih sepi, tapi toko-toko masih buka, termasuk tempat ibu penjual makanan itu, yang masih menerima “Pak Bule” sebagai pelanggan sambil memendam kekhawatiran akan terinfeksi.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Meneliti manusia sambil minum kopi.