Pilihan EditorSemasa CoronaTravelog

Cinere-Thamrin Hari Pertama Imbauan “Social Distancing”

Saya bangun telat. Sekitar 05.30 baru membuka mata lalu bergegas mandi dan bersiap menuju pusat Jakarta.

Perjalanan pagi itu saya kira tak akan berbeda jauh dengan hari-hari yang lalu. Perkiraan saya paling akan menghabiskan waktu sekitar 60 menit dengan ojek online lalu MRT lalu ojek online lagi atau Transjakarta arah Monas atau Kota, kalau saya tidak terlampau malas. Namun perkiraan itu meleset dari kenyataan. Kekacauan jadi teman saya pada hari pertama imbauan social distancing yang dilempar Presiden Jokowi.

Perjalanan saya dari Cinere ke Thamrin diawali dengan ojek online. Hari itu lalu lintas masih padat seperti biasa. Tak ada pengurangan drastis. Mobil-mobil pribadi, pun motor aneka merek, berjubel sepanjang Jalan Karang Tengah sampai perempatan Fatmawati.

Sepanjang jalan, di atas motor matik, pengemudi ojek online yang bertubuh gempal itu tiba-tiba bilang begini, “Mbak, saya punya cerita. Saya pernah bawa penumpang yang ditangkap di tengah jalan.”

Seketika saya lupa bahwa sebaiknya saya di rumah saja.

“Jangan bergerak! Nanti tak tembak kamu!”

Suatu hari bapak pengemudi ojek online mendapat penumpang dari sebuah stasiun di Jakarta. Penumpangnya siang itu laki-laki dengan taksiran umur 30 tahunan. Mereka pun segera ngacir dari stasiun menuju kian selatan Jakarta. Di perjalanan si penumpang terus memburu-buru pengemudi tanpa kasih alasan yang jelas.

“Loh, Pak, mau buru-buru gimana? Jalanan aja macet begini,” kata si pengemudi.

Sedari stasiun, sang pengemudi sudah agak was-was. Pasalnya ada orang yang seperti memotret dirinya bersama si penumpang. Pikirnya saat itu, paling dokumentasi kantor tempat ia bekerja.

Kecemasan itu bukannya mereda, tapi semakin kuat. Apalagi sepanjang jalan malah mereka terus diikuti tiga motor. Ujung-ujungnya, mereka dipepet paksa dekat suatu pasar. Satu motor di depan, dua sisanya di tempat lain di sekitar ojek.

“Jangan bergerak! Jangan bergerak! Nanti tak tembak kamu!”

Ternyata yang berada di tiga unit motor itu para polisi berpakaian preman.

“Eh, ada apa ini? Ada apa?”

“Nggak usah ikut campur kamu. Atau kamu malah temennya?”

Sang penumpang segera disergap dan ditanya perihal nama dan identitas lainnya. Digeledah, tas yang dipangkunya dibongkar. Lebih dari 200 gram narkotika disimpan di sana.

Pengemudi ojek online itu pun tak luput dari pemeriksaan. Semua percakapannya di media sosial, terutama WhatsApp, diperiksa satu per satu. Ia hanya bisa diam sambil melihat para polisi itu menggeledah isi ponselnya.

“Bayar dulu dong ini ongkos ojeknya. Saya ‘kan juga butuh uang buat anak istri.”

Social Distancing

Setelah sekitar tiga puluh menit anteng di motor mendengar storytelling drama penangkapan DPO narkotika di Jakarta, saya sampai di Stasiun MRT Fatmawati.

Tapi sebentar, kok ini ada antre-antre panjang?

Kebijakan pembatasan jumlah penumpang dan jumlah kereta MRT ternyata berimbas fatal. Bukannya mempromosikan penjarangan sosial yang belakangan makin digembor-gemborkan, kebijakan itu malah kontraproduktif. Di pinggir jalan raya arah Lebak Bulus itu, ratusan orang berdiri demi diangkut moda transportasi modern. Saya taksir umumnya memang bertujuan untuk bekerja.

Sepuluh-dua puluh menit saya menunggu, dari yang semula berdiri tegak sampai mulai lesu. Matahari kian meninggi dan tak ada pergerakan berarti dari antrean ini. Sementara antrean pun semakin memanjang hingga ujung jalan. Para pegawai kantoran yang tadinya rapi dengan polesan gincu dan semprotan parfum mulai kusut dijejali asap kendaraan bermotor yang hilir mudik.

Sekitar tiga puluh menit berlalu akhirnya saya baru bisa merangsek ke jajaran depan barisan berhadapan dengan para satpam dan petugas MRT yang seragamnya berupa kemeja putih. Saya celingak-celinguk. Di seberang jalan, di pintu lain MRT ada orang bisa naik ke stasiun. Jiwa api-api saya memuncak.

“Itu apa kok dia boleh naik?”

“Iya, Bu. Kita cuma bisa 100 orang di stasiun ini. Itu juga dibagi-bagi tiap pintu. Di sana 10, di sini 40,” jawab sang petugas.

MATIK GUA!

Panik makin menjadi. Ini kali pertama saya sepanik ini dan ogah dekat-dekat orang. Sepanik itu saya membayangkan virus corona menjadikan saya inang lalu menyebarkannya ke orang lain, terutama keluarga. Dan ini saya masih di luar stasiun MRT. Bagaimana dengan perjalanan ke kantor nanti? Bagaimana dengan pulang nanti? Seharian, dengan ratusan orang saya akan berhadapan.

Akhirnya saya naik ke atas dengan eskalator. Tak ada sentuhan ke pegangan di kanan dan kiri. Saya buru-buru dan menjauhi orang sekitar, bergegas hingga berhadapan dengan petugas medis yang memeriksa suhu tubuh dengan termometer tembak. Saya dan orang lain diberi jarak sekitar satu meter saat pengecekan.

Suhu saya 36,4. Masih aman untuk diangkut MRT menuju stasiun terakhir, Hotel Indonesia.

Tas saya digeledah sekadarnya. Bagi saya itu hanya tampak seperti formalitas. Entah apa tujuan penggeledahan itu. Taksiran saya mungkin karena dulu pernah ada penumpang yang kedapatan membawa hewan peliharaan.

Masih tanpa pegang benda apa pun, saya segera tap kartu. Masuk dan naik eskalator kembali ke peron, sekali lagi, juga tanpa pegang benda apa pun.

Perjuangan saya melawan kepanikan di tengah wacana penjarangan sosial yang malah diboncengi potensi malapetaka itu belum berakhir. Di peron, kereta MRT baru akan tiba dua puluh menit lagi. Simpulannya, saya masih harus berdiri bersama sekitar 100 orang lagi selama puluhan menit.

Apa itu social distancing?

Saya lagi-lagi masih berusaha begitu berjarak dengan orang lain. Tapi, apa mau dikata, penumpang kian berjubel memenuhi peron sementara kereta tak kunjung datang.

Saat kereta tiba dan semua masuk kereta, kami segera cari posisi.

Kereta datang dengan penumpang di dalam yang sedikit serta duduknya begitu berjarak. Satu-dua stasiun sampai stasiun seterusnya orang juga kian banyak. Puncaknya di Blok A dan Blok M; sudah tak ada jarak. Saya tak bisa lagi atur ruang. Orang-orang berdiri di sekitar saya yang duduk di kursi plastik biru. Semua tampak serupa dengan masker dan wajah cemas serta keterpaksaan pergi saat hati ini justru merebahkan diri di rumah atau setidaknya work from home seperti yang jadi perbincangan di media sosial.

Buru-buru saya keluarkan hand sanitizer, berharap artefak pelancongan sebelumnya itu bisa memproteksi diri saya dari corona, setidaknya sampai stasiun terakhir.

Tiga puluh menit terasa begitu lambat. Akhirnya sampai juga di Hotel Indonesia. Saya keluar dengan cepat lewat tangga. Kembali saya bergegas ke toilet untuk cuci tangan lalu pesan ojek online menuju kantor di Thamrin.

Ini saya dengan MRT. Bagaimana kalau saya pakai Transjakarta? Modar.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Menggemari perjalanan, musik, dan cerita.

Menggemari perjalanan, musik, dan cerita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *