Itinerary

Melihat Proses Pembuatan Gula Merah Tradisional

Gula merah atau masyarakat umum biasa menyebutnya sebagai gula aren atau gula Jawa ini ternyata diproses melalui tahapan yang panjang sebelum bisa dikonsumsi. Walau kelihatannya mudah, sebetulnya prosesnya cukup rumit. Ditambah lagi jika salah satu prosesnya tidak dilakukan dengan teliti maka hasilnya tidak akan bagus seperti yang dijual di pasaran. Dalam tulisan ini, saya akan menceritakan pengalaman bersama dengan Pak Warto, beliau merupakan salah satu pembuat gula merah di daerah Desa Lerep, Ungaran, Kabupaten Semarang. Sudah sekitar 20 tahun Pak Warto menekuni produksi gula merah untuk dapat membantu memenuhi kebutuhan pasar di Kabupaten Semarang. 

Selama mengikuti keseharian mengolah gula merah bersama Pak Warto, tahapan demi tahapan mulai dari persiapan sampai pemasakan, bukan hal yang mudah seperti yang dilihat di acara TV Swasta, Jejak Si Gundul atau Jejak Petualang. Ada banyak proses yang tidak bisa dipercepat atau dilewati sehingga harus benar-benar maksimal dalam setiap tahapannya.

Perawatan dan pemupukan pada pohon aren

Jauh-jauh hari bahkan sebelum proses pemanenan dan penyadapan pohon aren, Pak Warto mengajak saya untuk tahu bagaimana cara merawat dan memupuk pohon aren agar kualitas yang dihasilkan sangat bagus. Lokasi pohon aren milik Pak Warto memang ada di beberapa tempat yang berbeda yaitu di daerah kebunnya (dekat rumah) dan di dalam hutan. 

Pupuk kandang adalah pilihan utama yang Pak Warto gunakan agar pohon aren dapat tumbuh dan berkembang secara alami. Pemupukan biasanya dilakukan dua minggu sekali atau sebulan sekali tergantung kondisi tanah yang ada di bawah pohon aren. 

Pada bagian bawah pohon aren harus dibersihkan dari gulma dan tanaman yang mengganggu. Cara ini dilakukan agar proses penyerapan nutrisi untuk pohon aren bisa dimaksimalkan dan tidak ada penyakit yang menyerang pohon aren. Pemupukan ini tetap berlangsung selama pohon aren masih produktif dan tumbuh normal. 

Proses penyadapan

Pohon aren yang sudah cukup besar akan mengeluarkan bunga yang nantinya akan disadap. Sebetulnya, gula merah bisa dibuat dari nira yang berasal dari pohon keluarga palma seperti kelapa, aren dan siwalan. Masing-masing memiliki karakteristiknya sendiri ketika sudah diolah menjadi gula merah. 

Pak Warto menunjukkan pohon aren yang sudah memiliki pangkal bunga yang belum mekar. Sebelumnya, beliau sudah menyiapkan tangga khusus untuk menaiki pohon aren yaitu menggunakan satu batang bambu yang dilubangi tengahnya sebagai pijakan. Memang tidak ada pengamanan ekstra atau alat keselamatan lain. Namun jika melihat pengalaman Pak Warto yang sudah puluhan tahun tentu saya tidak meragukannya lagi. 

Pangkal bunga tadi diikat dengan tali sehingga bisa menghambat proses pemekaran dari bunga aren. Nantinya pangkal bunga akan terjadi pembengkakan dan penumpukan sari pati makanan. Setelah beberapa lama, proses selanjutnya adalah mengiris-iris secara bertahap pada bagian tadi untuk mengeluarkan cairan gula.

Cairan inilah yang disebut sebagai nira sebagai bahan utama pembuatan gula merah. Nira kemudian ditampung dalam wadah khusus terbuat dari bambu yang diikatkan agar tidak jatuh. Proses pemanenan hasil nira ini dilakukan dua kali dalam sehari, yaitu pada pagi dan sore hari. 

Menurut Pak Warto, pemanenan hasil sadap pada pagi hari memang selalu lebih banyak karena pada dini hari udara sekitar lebih dingin dan memacu pohon aren untuk memproduksi nira lebih banyak. Perbandingannya, pada pagi hari bisa menghasilkan sampai 10 liter nira sedangkan saat sore hari hanya 7 liter nira. 

Pak Warto juga bercerita bahwa masing-masing pohon dalam keluarga palma memiliki kelebihan dan kekurangannya dibedakan dari tempatnya hidup. Di dataran rendah yang lebih gersang, pohon siwalan akan lebih produktif dan hasil niranya lebih bagus. Jika di daerah pantai, pohon kelapa lebih produktif dibandingkan jenis pohon palma lainnya. Sedangkan di daerah pegunungan (di atas 800 mdpl) nira dari pohon aren memang lebih juara. 

Nira yang sudah diambil kemudian ditampung pada jerigen besar yang dapat memuat hingga 20 liter nira untuk satu jerigennya. Pak Warto sendiri memiliki 5 pohon aren yang masih produktif, dalam sehari beliau bisa menghasilkan rata-rata sekitar 50 liter nira.

Pembuatan Gula Merah Tradisional
Gula merah di Desa Lerep/Nico Krisnanda

Proses memasak nira menjadi gula merah

Setelah nira didapatkan dan wadah tampungannya dikembalikan pada posisi semula, maka proses selanjutnya adalah pemasakan nira untuk menjadi gula merah. Jarak antara pemanenan dan pemasakan memang terbilang singkat karena untuk menghindari proses fermentasi oleh bakteri di dalam nira.  

Jika terlalu lama maka nira akan menjadi lebih asam dan hasil gula merahnya juga lebih asam. Jadi ketika Pak Warto kembali ke rumahnya, nira yang sudah didapatkan langsung diolah oleh istrinya. Nira yang siap dimasak sebelumnya disaring untuk menghilangkan kotoran yang ada di dalamnya, baru kemudian ditempatkan di dalam wajan besar di atas tungku api yang membara. 

Istri Pak Warto dengan lihainya mengaduk-aduk nira secara berkala agar tidak menghitam (gosong). Beliau juga mengatur api agar tetap stabil selama proses pemasakan ini. Butuh waktu setidaknya empat sampai lima jam hingga nira berubah menjadi lebih kental dan berwarna kecoklatan. 

Pembuatan Gula Merah Tradisional
Gula merah di Desa Lerep/Nico Krisnanda

Mencetak gula merah

Proses memasaknya bisa dibilang cukup lama dan harus benar-benar diawasi karena jika sebentar saja meninggalkan proses pemasakan tersebut, maka hasil olahan gula akan menghitam. Tentu ini akan mengurangi kualitas dan harga jual dari gula merah nantinya. 

Istri Pak Warto sebelumnya sudah menyiapkan cetakan-cetakan yang terbuat dari batok kelapa. Ada juga yang terbuat dari bambu yang sudah dipotong-potong melingkar dan juga ada pula cetakan dari alumunium berbentuk seperti batok kelapa. Bentuk dari cetakan ini memang tidak dipermasalahkan karena nantinya gula merah dijual berdasarkan beratnya. 

Setelah nira benar-benar matang dan lebih mengental dari sebelumnya, maka langsung dimasukkan ke dalam cetakan dan dipindahkan ke rak khusus untuk proses pendinginan.

Suhu di Desa Lerep ini bisa dibilang masih sejuk, jadi proses pendinginan dari gula merah tersebut tidak membutuhkan waktu yang lama. Gula merah yang sudah dingin akan dikeluarkan dari cetakan dan dibungkus ke dalam tempat khusus terbuat dari plastik. 

Nantinya Pak Warto akan membawanya ke pengepul kenalan beliau atau biasanya ada orang yang datang untuk membelinya langsung.  Satu kilogram gula merah di Kabupaten Semarang dijual dengan harga Rp18 ribu sampai Rp25 ribu per kilogramnya. Namun untuk gula merah cair biasa dijual dengan harga Rp30 ribu per kilogramnya.

Selama proses pembuatan gula merah ini dari awal hingga akhir, Pak Warto menggunakan teknik dan peralatan yang sederhana. Tidak ada proses yang instan atau menggunakan teknologi khusus agar lebih mudah mengolah gula merahnya. Namun begitu, cara tradisional ini dipilih Pak Warto karena sudah terbiasa dan bisa lebih menyehatkan (karena membuatnya banyak bergerak).

Banyak hal yang bisa dipelajari dari teknik tradisional ini dan menurut saya memang bisa menjadi pengalaman yang tidak bisa dilupakan untuk merasakan langsung proses pembuatan gula merah secara tradisional. 

Nico Krisnanda seorang anak biasa yang punya mimpi besar, untuk tetap bernapas dan bisa membantu orang di sekitarnya menjadi tokoh-tokoh penting dunia!

Nico Krisnanda seorang anak biasa yang punya mimpi besar, untuk tetap bernapas dan bisa membantu orang di sekitarnya menjadi tokoh-tokoh penting dunia!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Jalan-jalan ke Desa Wisata Kasongan Bantul