Travelog

Pulau Bangka yang Sepi tapi Menyimpan Memori

Perjalanan di pesawat cukup membuatku pening. Selain karena durasinya hanya satu jam, yang tidak cukup untuk menambal kurang tidur setelah berkumpul pukul 5 pagi di bandara, penerbangan ini juga penerbangan pertama setelah jeda satu tahun karantina.

Mas Andi, pemandu kami di Pulau Bangka, menyambut dengan senyum ramah di pintu kedatangan. Ia lalu meminta kami naik ke bus bernuansa Hello Kitty. Kelak, bus ini menjadi saksi ketika aku ketiduran, terbangun, membaca pesan masuk dari kantor—ya, aku tak sepenuhnya liburan kali ini—dan, memandang perkampungan nelayan yang kami lewati dari balik jendela.

Wisata Bangka Belitung
Pemandu/R. Setya Utami

Menyantap lempah kuning, hingga cerita dari Museum Timah

Pemberhentian pertama kami bukan tempat wisata. Prioritas kami yakni mengisi tenaga ke sebuah rumah makan di pinggir jalan yang menyajikan menu andalan masyarakat Bangka, lempah kuning!

Jujur saja, aku bukan penggemar ikan. Selain karena tak pandai masak dan mengolahnya, aku bingung mau cari ikan segar dimana, apalagi saat PSBB seperti sekarang ini. Aku tak menyebutkan fakta ini keras-keras karena tidak mau mengubah suasana penuh antisipasi itu dengan alasan preferensi pribadi. Lempah kuning tetap kutunggu dengan sabar.

Ternyata lempah kuning adalah penganan ikan yang dibalut sup yang bercampur buah nanas. Aku tak pernah mendengar resep ini sebelumnya. Perpaduannya memang unik dan membuat penasaran!

Aku mencicipi kuah itu pelan-pelan dan langsung dikejutkan karena sensasi rasa yang menyegarkan. Buah nanas memberikan rasa khas yang cukup membuatku membuka mata setelah mengantuk sedari tadi. Mual-mual sisa perjalanan pun hilang terbasuh satu persatu makanan yang kunikmati setelahnya.

Lempah kuning menjadi sajian pembuka dari eksplorasi makanan lautku di sini. Aku jadi makin bersemangat saat sudah menyentuh kerapu goreng yang berbumbu gurih, sungguh rasanya membuat kangen hingga aku menuliskannya saat ini. Kerapu goreng memang juara!

Setelah tenaga terisi penuh, kami berpamitan pada pemilik warung untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum jauh melangkah hingga ke ujung pulau, kami mendatangi Tugu Titik 0 Kilometer. Tugu yang baru diresmikan tepat awal tahun 2021 ini memperlihatkan betapa mungilnya pulau ini dibandingkan tempatku biasa bermukim, Pulau Jawa. Jarak di Pulau Bangka terbilang pendek-pendek untuk sampai dari satu ujung pulau ke ujung yang lain. Sepertinya perjalanan Jakarta – Jatinangor kala aku kuliah bisa lebih panjang ketimbang di sini.

Wisata Bangka Belitung
Titik 0 Kilometer Bangka/R. Setya Utami

Titik 0 Kilometer juga menjadi tempat obrolan pertama tentang timah, sumber daya primadona di pulau ini sejak jaman pribumi hingga dikapitalisasi oleh Belanda. Selanjutnya, kami memelajari kesejarahan timah itu di Museum Timah yang didirikan PT Timah, Tbk. Museum ini memuat mulai dari jejak sejarah hingga miniatur kapal pengeruk timah yang berada di lepas pantai Pulau Bangka. Kami wajib mencuci tangan dan periksa suhu sebelum bisa mendengar lebih banyak tentang hal ini, tentu saja.

Timah sudah ditambang oleh warga lokal karena keberadaannya yang mudah ditemui di permukaan tanah tanpa harus menggali terlalu jauh. Dulu, masyarakat Bangka memisahkan tanah dan timah hanya dengan bantuan air. Begitu Belanda datang, dibuatlah situs-situs penggalian yang kedalamannya hingga menembus 100 meter dengan banyak tenaga kerja yang didatangkan dari Cina.

Selain menyajikan cerita dalam bentuk penjelasan lisan, peninggalan sejarah, dan lukisan gambaran asli masa itu, pihak museum juga mendatangkan teknologi AR untuk pembelajaran kontur tanah menggunakan keterangan warna yang menarik untuk disimak. Meski ditujukan untuk anak-anak, kami pun yang orang dewasa senang bermain-main dengan medium pasir yang disediakan.

Menyantap otak-otak di Bangka dan nyore di Pantai Parai Tenggiri

Kami lalu pergi untuk menyantap penganan khas di sana, otak-otak. Jauh dari rasa otak-otak yang biasa kunikmati, di sini otak-otak bahkan punya varian yang cukup beragam. Mulai dari otak-otak bakar hingga otak-otak udang yang terasa lebih liat dan berwarna oranye pudar. Sensasinya cukup melekat, aku sampai lupa untuk membubuhkan saus yang terdiri dari tiga jenis karena otak-otak ini sudah cukup terasa nikmat tanpa tambahan apapun lagi.

Tempat selanjutnya yang kami kunjungi yakni Pantai Parai Tenggiri. Sebagai orang yang belum lama berdoa ingin ke pantai, tentu saja aku menantikannya. Sayang, Pantai Parai yang indah itu terlalu sepi untuk dinikmati sendiri. Hamparan pantai ini menyambung dengan jembatan ke Pulau Batu, sebuah pulau kecil yang terdiri dar bebatuan tinggi sebagai tujuan sightseeing dari ketinggian.

Pasir putih dipayungi awan yang cukup berat menggantung di langit. Suasana Pantai Parai yang sesungguhnya sudah memiliki sertifikat CHSE (cleanliness, health, safety, and environmental sustainability) terasa mendung. Angin cukup kencang hingga sanggup menarik serta scarf yang kubawa hilang di antara ombak kencang lautan siang itu.

Rasanya asing sekali melihat fenomena pantai seapik ini tanpa penghuninya. Seperti yang biasa terpatri di ingatan, pantai-pantai dengan pemandangan indah biasanya ramai kunjungan wisatawan. Tapi di sini hanya ada kami dan bentangan alam, melihat ke pucuk horizon yang jauh dari pandangan.

Setelah puas mendaki bebatuan serta menikmati suara deburan ombak yang cukup nyaring, rombongan kecil kami memutuskan untuk langsung menuju ke hotel dan beristirahat untuk petualangan hari kedua. Aku menyerah ke rasa lelah untuk menyaksikan kejutan apa lagi yang akan menyambutku di Pulau Bangka ini.

Mengambil gambar untuk menyimpan memori. Bepergian untuk eksplorasi diri. Menulis sambil melepas penat dan rasa sepi. Mau cerita? Yuk, ngopi!

Mengambil gambar untuk menyimpan memori. Bepergian untuk eksplorasi diri. Menulis sambil melepas penat dan rasa sepi. Mau cerita? Yuk, ngopi!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *