“Nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarungi luas samudra, menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa..” lagu ini tentu familiar di telinga. Kita ketahui bersama dari sejarah bahwa para pendahulu masyarakat Indonesia dikenal sebagai pelaut tangguh. Kali ini, saya tidak akan mendongeng kisah nenek moyang mengarungi samudra, saya hanya akan menggali kenangan dan bercerita tentang pengalaman mengunjungi sentra industri pembuatan kapal pinisi di Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Maret 2018, saya dan teman seperjuangan berhasil lolos menjadi finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah yang diselenggarakan oleh salah satu perguruan tinggi di Makassar. Bersama rekan-rekan perguruan tinggi dari berbagai macam kampus berbeda, pagi itu kami bersiap dengan perbekalan masing-masing. Rencananya, kami akan bermalam di sebuah homestay di kawasan Pantai Tanjung Bira.
Dengan mengendarai bus milik Pemerintah Kota Makassar, kami berangkat dari Kabupaten Gowa. Saya mengira bahwa perjalanan hanya berkisar satu hingga dua jam. Ternyata saya salah, kami menghabiskan setidaknya empat jam di dalam bus. Waktu yang cukup panjang untuk sekedar tidur dan bersenda gurau. Maka, saya putuskan untuk menikmati perjalanan.
Dari jendela, saya melihat begitu banyak pemandangan apik. Nuansa khas desa dan pesisir. Kami juga melewati tambak-tambak perikanan dan lahan budidaya garam di Jeneponto. Lumayan menghilangkan kepenatan akibat perjalanan panjang. Saya benar-benar blank, tidak mengetahui seluk-beluk pembuatan kapal pinisi. Dalam bayangan saya, kami akan mengunjungi sebuah pabrik kapal besar di daerah pelabuhan. Nyatanya kapal ini di produksi berskala rumah tangga.
Bus yang saya tumpangi melewati pemukiman penduduk dan berakhir di tepian pesisir, tepatnya di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba. Saat melangkahkan kaki keluar dari bus, saya merasa kepanasan. Entah saya yang lebay atau memang karena udara cukup panas siang itu. Matahari bener-benar menyengat.
Melihat langsung pembuatan kapal pinisi Bulukumba
Panitia mengarahkan kami menuju sebuah kapal yang masih dalam proses pembuatan, tepat di sebelah rumah warga. Seorang pemandu menjelaskan asal usul pembuatan kapal pinisi ini. Dengan pengeras suara, sang pemandu membuat kami semua fokus pada materi yang disampaikan alih-alih menyempatkan diri untuk berswafoto.
Pengetahuan itu sudah samar-samar yang membekas di ingatan saya. Beberapa informasi yang saya ingat ialah ada tujuh layar di setiap kapal pinisi. Angka tujuh ini diambil dari tujuh ayat yang ada di Surah Al-Fatihah. Ada juga yang memaknai angka tujuh berasal dari tujuh samudera yang ada di bumi. Terdapat dua kalimat syahadat di layar kapal. Apabila dahulu kapal ini menjadi transportasi untuk mengangkut barang atau perdagangan. Kali ini sudah beralih fungsi menjadi kapal pesiar mewah atau tujuan rekreasional.
Selain itu, budaya masyarakat Bugis yang masih kental mengantarkan mereka kepada kepercayaan akan prosesi ritual khusus sebelum membangun kapal. Ada tokoh desa yang memimpin acara ritual yang disebut panrita lopi.
Pembuatan kapal tidak dilaksanakan sembarangan, ada pemilihan tanggal yang tepat. Biasanya para pembuat kapal akan memulai pekerjaan di hari kelima pada bulan tersebut. Hal ini bermakna melambangkan rezeki yang sudah diperoleh. Ataupun hari ketujuh di bulan tersebut yang berarti keberuntungan. Bahkan terkait pemilihan jenis kayu juga harus melalui upacara adat.
Banyak keunikan terkait kapal pinisi yang melalang buana hingga ke berbagai penjuru dunia ini. Setiap kapal hanya dikerjakan oleh lima orang saja untuk menjaga nilai estetikanya. Oleh karena itu, proses pengerjaan cenderung lama.
Kapal pinisi dibangun tanpa menggunakan perekat, hanya mengandalkan pasak kayu. Jika pada umumnya pembuatan kapal dimulai dari kerangkanya, lain dengan pinisi yang dibangun dari badannya terlebih dahulu. Uniknya, dalam proses pembuatan sebuah kapal pinisi, tak ada sketsa desain sebagai panduan. Namun jangan diragukan kekokohan dan keindahan kapal ini.
Setelah menerima berbagai informasi baru, kami diberi kesempatan untuk melihat langsung proses pembuatan dari dekat. Kami juga sempat menaiki kapal yang sedang dibuat. Para pengrajin kapal menyatakan bahwa beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo sempat berkunjung.
“Wah, sayang, waktunya nggak tepat,” pikir saya waktu itu. Seandainya waktu boleh diatur ulang, pasti senang rasanya bertemu dengan orang nomor satu di Indonesia.
Saat menjangkau bagian dalam kapal, kami disambut seorang pria berperawakan besar. Dari bentuk wajahnya, saya mengenali bahwa beliau bukanlah penduduk asli Indonesia. Ternyata, ia seorang keturunan Timur Tengah yang telah berdomisili di Bulukumba, ia merupakan salah satu pemilik usaha pembuatan kapal pinisi di sini.
Saya menyebutnya sebagai ‘Bos Besar’. Bukan karena ukuran postur tubuhnya, tetapi karena ia seorang pengusaha. Ia sempat memberikan informasi bahwa harga satu kapal bisa mencapai milyaran rupiah. Saat itu, seketika saya membayangkan uang bertumpuk-tumpuk sembari tertawa.
Suatu kebanggaan tersendiri bisa melihat proses pembuatan hasil budaya masyarakat Indonesia. Nanti, kapan-kapan lah ya, bisa merasakan berlayar dengan pinisi. Semoga!
Melynda Dwi Puspita adalah sebutir pasir pantai asal Probolinggo, Jawa Timur.