Itinerary

Hanifati Radhia dan Pengalamannya Menjadi Pendamping Desa

Setiap orang punya harapan. Begitu pula dengan sosok perempuan satu ini. Hanifati Radhia ingin desa-desa di Indonesia, dengan masing-masing karakteristiknya, dapat mengenali dan memaksimalkan segala potensi mereka, khususnya dalam hal pariwisata.

Hani yakin bahwa apa pun yang diberdayakan adalah pariwisata berkelanjutan yang tidak abai terhadap lingkungan dan komunitas.

“Sebagai pemuda Indonesia, kita dapat berkontribusi terhadap pariwisata berkelanjutan sesuai minat, passion¸ keterampilan, maupun bidang yang kita tekuni,” ujar Hanifati Radhia.

Sejujurnya, saya belum pernah bertemu langsung dengan Hani. Kami hanya berbincang melalui layanan pesan singkat dan e-mail. Cerita yang saya dapat tentang kegiatannya sebagai pendamping desa membuat saya tertarik untuk menghubunginya. Saya penasaran dengan aktivitasnya sebagai seorang pendamping desa.

Dari kelas turun ke lapangan

Hani belajar mengenai budaya dan kehidupan masyarakat desa maupun kota. Di jenjang sarjana, ia memilih mendalami antropologi, ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dan kebudayaan. Selain belajar di kelas, Hani dan teman-temannya juga diharuskan untuk belajar langsung “turun lapangan” dengan melakukan penelitian, mempelajari kehidupan manusia dari berbagai aspek, seperti pengetahuan, perilaku, serta karya mereka.

Berayun dengan “hammock” di desa/Hanifati Radhia

Ia juga punya pengalaman dalam kegiatan kerelawanan seperti Sekolah Buruh. Di sana, Hani dan rekan-rekan dari berbagai universitas di Yogyakarta merintis pra-koperasi bagi buruh perempuan pelipat tas kertas di Sleman.

Pengalaman-pengalaman tersebut lalu memberikan harapan pada Hani bahwa seseorang yang berlatar belakang ilmu sosial kelak bisa merintis karier serta berguna di masyarakat. “Bagai ikan berenang di air habitatnya, menjadi fasilitator di desa adalah salah satu proses mencapai harapan itu,” tutur Hanifati Radhia.

Lalu, pada satu titik, Hani memutuskan untuk bergabung dengan Komunitas Averroes, sebuah lembaga non-pemerintah di Kota Malang, Jawa Timur.

Komunitas Averroes-lah yang menjadi pintu gerbang bagi Hani untuk benar-benar terjun, belajar serta menimba ilmu, langsung ke masyarakat. Lewat program Pendidikan Agribisnis dan Agrowisata Desa Inovatif (PADI), kerjasama antara Komunitas Averroes, Sampoerna, dan Kabupaten Pasuruan, Hanifati Radhia tiba di Desa Gerbo, desa yang memiliki beragam potensi seperti peternakan, pertanian, olahan pangan, dan produk kreatif.

“Memasuki program tahun ketiga, program ini akan melakukan pendampingan dan penguatan kapasitas di tujuh desa sasaran di Kabupaten Pasuruan. Program ini juga diarahkan dalam merintis adanya desa wisata,” ungkap Hani.

Kegiatan sebagai pendamping desa

Di Averroes, sumber daya manusia dibagi menjadi dua. Pertama, mereka yang standby di kantor, seperti manajer admin, manajer keuangan, juga manajer program (program manager). Kedua, tim lapangan, yakni program officer dan fasilitator. Hani tergabung dalam kelompok kedua.

“Jadi, tugas utama seorang fasilitator adalah mendorong, memotivasi, dan mendekatkan sumber belajar bagi masyarakat di desa untuk belajar bersama-sama,” Hani menjelaskan.

Bersama para perempuan buruh tandur/Hanifati Radhia

Fasilitator bersama masyarakat desa belajar menganalisis potensi desa, menyusun rencana bisnis sederhana, menghitung analisis kelayakan usaha, sampai [membuat] profil wisata dan profil produk dalam kerangka program PADI. Salah satu peran utama seorang fasilitator adalah memastikan terselenggaranya proses belajar masyarakat di desa sasaran, entah dengan melakukan sosialisasi program, mengimplementasikan [program], sampai [mengurus] administrasi kegiatan.

“Betapa kaya pengalaman menjadi seorang fasilitator; kita bisa saling belajar!” ujar Hanifati Radhia bersemangat.

Tapi, tentu saja perjalanan seorang pendamping desa tak selamanya mulus. Salah satu tantangan yang dialami perempuan bernama lengkap Hanifati Alifa Radhia ini adalah soal komunikasi. Sebagai pendamping desa, ia mesti menghadapi masyarakat yang memiliki sudut pandang beragam. Maka wajar saja jika sering terjadi miskomunikasi.

“Hal itu dijadikan sebagai bahan evaluasi serta bagian dari proses belajar,” ujar Hani.

Ia bersyukur program PADI Averroes di Desa Gerbo mendapat sambutan baik dari kepala desa, pemerintah desa, hingga masyarakat.

“Sebagai fasilitator yang berada langsung di lapangan, tidak banyak yang bisa saya lakukan mengingat waktu kegiatan yang singkat,” aku Hani.

Namun, sebagai seseorang yang pernah singgah dan menghirup udara Desa Gerbo, yang pernah hidup bersama masyarakatnya, ia berharap, lewat pembelajaran-pembelajaran itu, kita semua bisa menuai manfaat di masa depan.

Bagi Hanifati Radhia, desa adalah suatu komunitas hidup layaknya miniatur Indonesia yang senantiasa penuh dengan dinamika. Sebab itulah ia yakin bahwa masa depan Indonesia berada di pundak desa.

Memungkasi obrolan, saya bertanya pada Hani: “Perubahan seperti apa yang kamu harapkan untuk Desa Gerbo 25 tahun mendatang?”

“Tentu perubahan ke arah yang lebih baik,” jawab Hani. “Semoga Desa Gerbo dengan segala potensinya di bidang pertanian dan pariwisata berkembang ke arah lebih baik dan maju demi kesejahteraan masyarakat.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Suka gendong ransel, suka motret, kadang nulis.

Suka gendong ransel, suka motret, kadang nulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *