Saya dibuat takjub ketika melewati hamparan hutan jati yang mulai meranggas di rute Blora-Randublatung. Pohon-pohon menjulang tinggi menuju birunya langit yang cerah.
Pemandangan ini hampir sama dengan pemandangan yang saya jumpai ketika mengunjungi Taman Nasional Baluran. Namun, jika saya pikir kembali, suasananya lebih mirip dengan musim gugur di negara dengan empat musim.
Kunjungan saya ke Blora kali ini dalam rangka Anjangsana Kebudayaan yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kegiatan ini merupakan program silaturahmi budaya dari perhelatan International Gamelan Festival 2018 (IGF 2018) yang digelar 9-16 Agustus 2018 lalu di Solo.
Kesenian tradisional barong
Hari itu cuaca cukup terik. Debu berkali-kali menghempas wajah saya dengan pelan. Meski begitu kaki terus berjalan menghampiri sayup-sayup suara bonang yang sedang ditabuh. Dari kejauhan tampak beberapa anak kecil mengenakan pakaian tari tradisional warok. Tiga buah barong tergeletak di tanah. Di belakangnya set gamelan bersiap mengiringi pertunjukan.
Sebagai orang asli Jawa Timur, saya cukup familiar dengan pertunjukan semacam ini. Di Madiun, saya sering menonton Reog Ponorogo, Tapi ini adalah kali pertama saya menyaksikan pertunjukan barong.
Tarian barong menyambut kedatangan saya bersama 70 peserta IGF 2018 di Wana Wisata Kedung Pupur, Desa Ledok. Semua penarinya masih anak-anak. Dengan lincah mereka melenggak-lenggok diiringi alunan gamelan, menirukan keperkasaan Singo Barong, sang singa raksasa, dalam bentuk tarian.
Tidak ada panggung khusus. Anak-anak itu menari dengan riang di atas tanah dan rerumputan. Meski debu terus menghempas dan matahari semakin terik, mereka terus menari—malah makin bersemangat. Tabuhan bonang juga semakin seru terdengar, diikuti dengan teriakan dan hentakan kaki para penari. Para peserta IGF yang mayoritas turis mancanegara pun dibuat berdecak kagum.
Saya pun begitu menikmati tarian itu. Sangat ringan, tidak begitu menakutkan dan menegangkan seperti ketika menonton pertunjukan kuda lumping. Sesekali saya mengabadikan gerakan para penari dalam bentuk gambar sembari mencicipi pisang dan jagung rebus.
Setelah itu, saya diajak berkeliling sumur pengeboran minyak tradisional di Blora.
Menelusuri sumur pengeboran minyak tradisional
Lepas menonton pertunjukan barong, mobil yang saya tumpangi bersama rombongan teman-teman media dan blogger diajak off–road ringan melewati tanjakan hutan jati di Ledok. Tidak beraspal, tanah kering, tidak rata, dan berdebu—driver kami jadi lebih berhati-hati berkendara.
Saya pun dibawa menelusuri lokasi pengeboran minyak tradisional.
Sinyal ponsel yang tiba-tiba menghilang menandakan bahwa saya sudah memasuki kawasan pengeboran. Selang sebentar, saya melihat tiang pancang besi pertama yang digunakan sebagai alat pengeboran. Dengan kecepatan tidak sampai 20 km/jam, 15 menit kemudian kami tiba di kawasan sumur pengeboran minyak tradisional Ledok.
Suasana panas menyengat saya rasakan ketika turun dari mobil. Tak hanya itu, aroma minyak mulai menyeruak meski tak pekat. Dari kejauhan suara mesin diesel menderu. Ternyata masyarakat menggunakan mobil tua bermesin diesel sebagai sumber tenaga saat pengeboran.
Pancang besi dilepas ke dalam sumur minyak. Selang beberapa waktu ia diangkat kembali ke atas menggunakan tarikan mesin diesel untuk melepaskan minyak (bercampur air) yang ditambang ke penampungan. Kalau dianalogikan, proses pengeboran tradisional ini mirip dengan menimba air di sumur.
Dari 196 sumur minyak yang ada di Ledok, 137 di antaranya masih berfungsi hingga hari ini. Setiap sumur juga menghasilkan minyak dalam jumlah berbeda. Sumur yang saya hampiri bisa menghasilkan 750 liter dalam sehari.
Saya sempat berbincang dengan salah seorang pekerja. Menurutnya sumur-sumur itu punya kedalaman hingga 600 meter. Minyak dari sumur-sumur itu pun ternyata masih bercampur dengan lumpur.
“Heritage Trainz Loco Tour” dan tari tayub
Belum habis atraksi yang disajikan dalam rangkaian Anjangsana Budaya, rombongan IGF 2018 diajak mengunjungi Heritage Loco Perhutani KPH Cepu. Depo lokomotif yang dibangun pada 1911 ini menyimpan beberapa lokomotif tua dan juga lori. Beberapa batang pohon trembesi yang meneduhi kawasan ini membuat suasana jadi seperti zaman baheula.
Ketika tiba, kembali saya disambut alunan gamelan dan tentunya sesuatu yang sangat saya rindukan: makan siang. Namun, belum sempat saya menyentuh sate blora yang tak perlu diragukan lagi kelezatannya itu, perhatian saya tertuju pada para penari tayub.
Tayuban menggambarkan penyambutan tamu atau pemimpin yang dihormati. Para penari perempuan mengenakan sampur (selendang) dan mengalungkannya kepada tamu. Nah, tamu yang ketiban sampur (menerima sampur) mendapatkan kehormatan untuk menari bersama. Dengan diiringi Karawitan Ajar Laras, para penari tayub dan peserta IGF 2018 memecah keriuhan siang hari itu dengan menari bersama.
Di pengujung kunjungan Anjangsana Kebudayaan, para peserta IGF diajak menikmati suasana alam Blora menggunakan lokomotif uap buatan Jerman yang biasa disebut Loko B (Bahagia). Rutenya Heritage Loco Perhutani KPH Cepu menuju Puslitbang Perhutani KPH Cepu yang ada di Batokan. Jalur kereta api di Cepu ini dulunya memang digunakan sebagai prasarana untuk mengangkut hasil hutan.
Saya sebenarnya pernah hampir menaiki kereta itu dua tahun lalu. Namun, karena terlalu banyak yang antusias ingin naik, kereta itu anjlok dari rel karena kelebihan beban. Beruntung sekali kali perjalanan saya hari itu mulus pulang-pergi.
Setelah Blora, perjalanan Anjangsana Kebudayaan lanjut ke Boyolali. Seperti apa ceritanya? Ikuti terus perjalanan saya di telusuri.id.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Suka gendong ransel, suka motret, kadang nulis.