“Wajah penjara cermin hukum negara, sungguh-sungguh atau pura-pura,” kata Mbak Najwa.
Satu per satu teman-teman di lapas pulang. Ketika program asimilasi alias pembebasan para narapidana yang memenuhi persyaratan dari Kemenkumham digulirkan, banyak teman yang mendapatkannya. Saya merasakan kebahagiaan mereka yang bisa berkumpul lagi dengan keluarga.
Melepas teman-teman yang pulang adalah hal yang sangat saya sukai. Ketika mendapat kabar ada yang bakal pulang, saya akan pergi ke kamar mereka hanya untuk mengucapkan selamat pulang. Tak bisa dipungkiri bahwa hati kecil merasakan iri. Akan tetapi, saya belajar untuk semakin sabar menghadapi rasa yang bergejolak di dalam diri, sekaligus untuk memahami bahwa “pulang” adalah kata yang mahal di sini.
Lalu bermunculan kabar soal para narapidana program asimilasi yang bikin ulah lagi. Saya tidak heran juga sebenarnya. Akan tetapi, dari 30.000 orang narapidana yang bebas di seluruh Indonesia, berapa persen saja sebenarnya yang bikin ulah? Juga, kita tak disuplai kabar soal apa yang dilakukan oleh narapidana yang tidak bikin ulah.
Berita jelek adalah berita baik bagi media di negeri ini.
Tapi, di masa pandemi ini, kami yang terpenjara ini masih bersyukur karena masih bisa nongkrong sembari menyeruput kopi sobek bersama-sama. Tidak hanya itu, kami bisa melakukan salat fardu, Jumat, dan tarawih secara berjemaah tanpa takut terserang corona. Bukan berarti tidak ada antisipasi. Pengecekan sangat ketat dilakukan terhadap siapa pun yang keluar-masuk lapas ini, meskipun mereka yang datang dan pergi hanyalah petugas serta orang-orang yang memasok pangan kami.
Saya melihat justru orang-orang yang berada di luar sanalah yang lebih terpenjara daripada kami; saling curiga antarsesama pun terjadi. Sementara, kami di sini hidup berkumpul berbagi apa pun yang kami punya tanpa harus saling curiga terkait corona. Kami tidak mengenal PSBB, social distancing, pun physical distancing. Setiap sore teman-teman menikmati permainan sepak bola di lapangan lapas, jalan kaki keliling lapangan dan tetap nongkrong bercanda tawa menunggu waktu berbuka datang. Kegiatan Ramadan berjalan meski sedikit ada pembatasan, karena aturan yang dikeluarkan oleh negara.
Salah satu pembatasan itu berujung pada ditiadakannya jadwal besukan sampai batas waktu yang belum ditentukan. Bagi saya ruangan besukan adalah ruang kasih sayang, tempat seorang suami melepas rindu kepada istri dan memeluk anaknya, tempat seorang pujaan hati bertukar kabar dengan sang kekasih yang kepulangannya selalu dinanti, juga tempat para orangtua empunya maaf tak terhingga bercengkerama dengan anaknya.
Biarpun kami dicap penjahat oleh negara, kami juga manusia yang mempunyai hati nurani, kasih sayang, dan juga rindu. Selama saya menjalani hukuman di lapas ini, hanya sekali saya merasakan kunjungan dari seorang sahabat. Beberapa kali teman-teman mengajak saya untuk bertemu keluarganya, sebab mereka tahu keluarga saya jauh di kampung sana.
Setiap besukan, di meja pojok ruangan, saya sering melihat seorang ibu yang menyuapi serta membelai lembut kepala anaknya. Ibu tersebut memutuskan pindah dari rumahnya di provinsi lain dan mengontrak rumah tak jauh dari lapas. Setiap hari besukan dia selalu datang. Sudah lima tahun lebih hal ini dilakukannya.
Bagi kami hari besukan adalah hari rayanya penjara. Yang tidak dibesuk pun ikut bahagia karena teman-teman yang dibesuk pasti membawa camilan atau makanan yang dimasak oleh keluarganya. Makanan tersebut dijamin enak, sebab dimasak dengan kasih sayang dan disantap bersama-sama.
Pandemi corona mengubah segalanya—dan mungkin setelah pandemi ini berlalu kita akan masuk era baru. Mungkin!
Dua tangan menengadah ke atas, bersama rindu yang membuncah dan permohonan kepada Sang Maha Segalanya. Rapalan doa mustajab terlantun dan terkadang air mata menetes tanpa diminta; memohon kebaikan untuk IBU, IBU, IBU dan AYAH.
*) Nama penulis disamarkan demi melindungi privasi penulis terkait statusnya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
“Kurangnya kebebasan bergerak tidak membatasi kebebasan berpikir.”—Slavoj Žižek