Pilihan EditorTravelog

Setelah “Isi Lambung Tengah” di Pesta Perkawinan Kapoposang

Dari sore sudah mulai beredar isu bahwa tidak ada makan malam di rumah hari ini. Alasannya, ternyata ada pesta pengantin di RT 2. Kalau kata Pak Desa, kita akan “isi lambung tengah” alias makan di pesta perkawinan.

Selepas Magrib beberapa pemuda dengan setelan terbaik mereka sudah mulai berkumpul di pos ronda tempat kami biasa nongkrong. Parfum entah berapa liter diguyur ke badan mereka. Harumnya bikin kepala saya pusing. Selama beberapa minggu di Pulau Kapoposang, memang baru kali ini saya melihat mereka berpenampilan senecis ini, mengalahkan dandanan mereka saat salat Jumat.

Tak perlu menunggu lama, Tim Lambung Tengah alias Regu RT 1 sudah lengkap dan siap menyerang meja makan pesta pernikahan. Kami menuju lokasi jalan kaki. Penerangan kami dapat dari atas. Bukan dari tiang listrik, tapi dari bulan purnama.

Berdoa bersama sebelum makan/Syukron
Berdoa bersama sebelum makan/Syukron

Sesampai di rumah mempelai, suasana sudah ramai. Setelah bersalaman dengan pengantin, mata saya mulai awas dengan menu sajian makan malam di meja. Acar dan ayam kuah pedas menjadi incaran saya.

Momen ini tentu tak boleh disia-siakan; kapan lagi bisa menikmati ayam di pulau? Setiap hari santapan saya ikan berbagai jenis dan beragam cara penyajian. Ayam adalah penyelamat rasa, juga kemewahan sederhana, yang membuat saya sejenak melupakan aroma ikan. Saya mencoba menikmati santap malam ini dengan khusyuk meskipun udara sekitar dipenuhi suara orang sedang karaokean entah menyanyikan lagu apa.

Awalnya saya tak terlalu ambil pusing soal sumber suara orang sedang karaokean itu. Tapi, begitu piring saya sudah kosong, mau tak mau fokus saya bergeser ke hiburan spesial malam itu.

Pos ronda RT 2 ternyata sudah disulap menjadi panggung dadakan, lengkap dengan lampu disko yang paradoks: gemerlap tapi malah memberi kesan remang-remang.

Purnama tampak dari pesisir Pulau Kapoposang/Syukron
Purnama tampak dari pesisir Pulau Kapoposang/Syukron

Sebagai manusia yang punya pustaka musik terbatas, saya masih gagal memahami lagu apa yang sedang dinyanyikan. Yang jelas dangdut. Di panggung, aktivitas sang penyanyi cukup padat. Tangannya multitasking: tangan kiri memegang ponsel yang dicolokkan ke corong (menghasilkan lagu tanpa vokal), sementara tangan kanan menggenggam mikrofon untuk bernyanyi.

Satu per satu, silih berganti, orang-orang naik ke panggung. Semuanya bernyayi tanpa memusingkan nada dan estetika. Yang penting semuanya bergoyang dan tidak pulang. Anehnya, baik kedua mempelai di singgasana maupun para undangan nyaman-nyaman saja mendengarkan lagu-lagu yang lari dari nada itu.

Beberapa teman menyebut saya sebagai “cacat nada” karena sering fals ketika bernyanyi atau main gitar. Di antara mereka, saya merasa menjadi minoritas. Tapi, di pulau ini, saya merasa menjadi mayoritas, sebagai anggota dari kelompok yang cuek-cuek saja berkejaran dengan nada.

Hadirin dan hadirat berkumpul di pesta pernikahan
Hadirin dan hadirat berkumpul di pesta pernikahan/Syukron

Suasana makin meriah saat beberapa orang mulai berjoget di panggung (baca: pos ronda). Makin panas. Jogetan-jogetan mereka jadi makin liar—patah-patah, ngebor ala Inul Daratista. Tapi, semakin liar jogetan mereka, semakin menggelegar tawa khalayak. Soalnya, yang berjoget adalah para pria cukup umur dan berjenggot. Saya sendiri terbengong-bengong. Sehari-hari, saya kerap melihat mereka melaut. Saya tak menyangka mereka bisa bertingkah konyol seperti itu.

Tak terasa sudah jam 10 malam. Mata saya mulai layu. Tapi, saya tak melihat ada yang beranjak pulang. Malah, suasana jadi tambah ramai dan, saya tebak, orang-orang seperti masih menunggu acara selanjutnya. Tebakan saya ternyata tak meleset. Ada hiburan pamungkas yang sengaja disimpan di ujung acara. Begitu pertunjukan musik selesai dan penyanyi turun panggung, MC memberitahukan bahwa sebentar lagi acara Bado-bado, lawakan di panggung mirip OVJ dalam bahasa Bugis, akan dimulai.

Cerita Bado-bado kali ini adalah upacara perkawinan berbungkus komedi. Dandanan para pemainnya yang menor saja sudah bikin orang terpingkal-pingkal. Gerak-gerik para pemain memang lucu. Tapi, karena disajikan dalam bahasa Bugis, saya merasa seperti sedang nonton film asing tanpa subtitle. Setelah beberapa saat mencoba memahami pertunjukan itu—dan belum berhasil—akhirnya saya memantapkan diri untuk bangkit dari tempat duduk, menyalami kanan-kiri, dan pamit pulang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Berimajinasi seperti anak-anak, bersemangat ala pemuda, dan bijaksana layaknya orang tua.

Berimajinasi seperti anak-anak, bersemangat ala pemuda, dan bijaksana layaknya orang tua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *