Itinerary

Grobak Hysteria: Mewujudkan Pemberdayaan Masyarakat Melalui Seni dan Kekompakkan

Apa yang bisa mempertahankan eksistensi budaya masyarakat kota yang mulai tergerus arus kemodernan? Tidak ada. Kemodernan sendiri adalah budaya yang tercipta karena arus globalisasi yang semakin tak terbendung dengan kemajuan teknologi. Budaya-budaya yang dulu sempat eksis di antara gang dan jalanan kota, sudah mulai dilupakan banyak orang. Segelintir masyarakat mulai menyadari kehilangan ini sebagai bentuk “bencana sosial” dan mulai berpikir untuk menata kembali salah satu dari unsur pembentuk masyarakat egaliter khas bangsa kita. Diantara segelintir tersebut ada Grobak Hysteria, sebuah laboratorium komunitas yang bergerak dalam pemberdayaan anak muda berbasis kolektivitas serta mempunyai perhatian yang besar pada isu seni, budaya, kreatifitas, anak muda, komunitas, hingga isu kota. 

Salah satu program yang diinisasi oleh Hysteria via Instagram/grobakhysteria

Basis Hysteria ada di Kota Semarang. Berdiri semenjak 2004, dengan didasari atas kurangnya dukungan untuk komunitas seni yang ada di Semarang. Menurut Khairudin atau yang akrab disapa Adin, banyak seniman yang merasakan bahwa Semarang bukanlah tempat yang subur untuk tumbuhnya ekspresi artistik. “Dari sana kemudian muncul keinginan untuk membentuk wadah yang menampung teman-teman yang sevisi (terutama sastra).” 

Seperti komunitas-komunitas lainnya yang dipertemukan oleh hobi yang sama, Hysteria juga bermula atas kesamaan hobi (sastra) dan juga atas ketidakpuasan akan komunitas sekitar yang sedikit jumlahnya bila dibandingkan dengan kota lainnya.

Adin yang mempunyai latar belakang ilmu budaya (S1 Sastra Indonesia dan S2 Antropologi) juga aktif dalam berbagai kegiatan kampus seperti teater, seni rupa, kelompok susastra. Dengan kesukaannya bergaul pada banyak orang, akhirnya juga menyeret Hysteria bersinggungan dengan banyak pihak dengan berbagai latar belakang. 

“Pada perjalanannya, kami kemudian banyak bersinggungan dengan disiplin seni yang lain, sehingga membuat Hysteria sekarang berbentuk multidisipliner,” paparnya. 

Kekompakkan anggota Grobak Hysteria (Adin)

Meskipun awalnya hanya berupa angkringan, keseriusan Hysteria dalam berorganisasi dimulai dengan membentuk sebuah wadah yang legal baik secara hukum maupun secara komunitas. Dengan berbadan hukum, pendanaan akan lebih mudah didapat secara formal dan legal dibanding tanpa adanya legal standing, juga memungkinkan untuk menjadi lebih rapi dan beres.

Kenapa bisa bertahan lama dan masih tetap eksis hingga sekarang? Menurut Adin kuncinya adalah keyakinan akan cinta pada kesenian yang lebih penting daripada materi. Kecintaan dalam melakukan pekerjaan akan membuat seseorang menjadi bersemangat. “Tidak ada jalan yang lebih enteng, tapi ketika dijalani dengan cinta semuanya akan menjadi ringan,” ungkapnya bersemangat.

Hysteria banyak mengadakan program seperti pemutaran film dengan koleksi sekitar 1000 judul yang bisa diakses oleh siapapun, ada juga penerbitan alternatif yang berkisar 500 judul, ada juga pengarsipan poster-poster seni dari tahun 2007-2016, selain itu Hysteria seringkali mengadakan diskusi, proyek seni, hingga bedah buku. 

Cara merawat ingatan paling kuat salah satunya dengan menulis dan menjadikannya sebuah buku, Hysteria juga melakukan hal ini sebagai salah satu kegiatan mereka via Instagram/grobakhysteria

Membedah soal kenapa Hysteria disebut sebagai laboratorium, menurut Adin laboratorium  lebih merujuk kepada bersenang-senang dan eksperimen. Konsep ini lanjutnya lagi, lebih tepat dalam mempresentasikan Hysteria sebagai wadah santai dan sesuai dengan kebutuhan. Titik berat Hysteria adalah kebersamaan, ia bisa menghasilkan manfaat atau tidak dari keberadaannya, oleh karena itu sebagai konsep Hysteria ingin selalu bisa memberi ruang berekspresi kepada siapapun tanpa takut kegagalan.

Di Semarang, komunitas-komunitas kadang jatuh bangun, tumbuh subur bak jamur di musim hujan tapi juga sekaligus mati bagai ketiadaan air di musim kemarau. Banyak komunitas yang mati sebelum berkembang, alasannya apa? Tidak tahu.  Tapi Adin menyarankan pada komunitas untuk pintar-pintar membaca situasi. Semarang sekali lagi dikatakan sebagai “bukan lahan yang subur” untuk para komunitas. Adin tidak berbicara sembarangan, Hysteria juga sebagai saksi tumbuh-layunya komunitas di sekitarnya selama 15 tahun belakangan. 

“Bicara anatomi komunitas di Semarang perlu melibatkan pihak-pihak yang mengerti itu apa, dan itu akan menentukan arah kebijakan kemudian progres yang akan dibentuk seperti apa.”

Bicara tradisi, Hysteria tidak hanya berhasil menghidupkan kembali tradisi yang pernah ada tetapi juga ikut menumbuhkan tradisi baru seperti Festival Bukit Jati Wayang yang sekarang menjadi festival tahunan. “Di kampung kota rata-rata tidak punya festival tahunan, kami yang menginisiasi, termasuk waktu itu bersama Kampung Bustaman mendorong Gebyuran Bustaman menjadi warisan tak benda.”

“Tradisi kan sesuatu yang dilaksanakan rutin dalam kurun waktu tertentu dan terus menerus, tradisi juga bisa diciptakan bahkan dari ketiadaan,” ungkapnya berapi-api.

Dalam melakukan kolaborasi, kunci suksesnya Hysteria terletak pada menjadi periset tetapi juga menjadi partisipan sehingga warga merasa memiliki keterikatan yang mendalam dengan Hysteria. Sikap, penempatan diri, bahasa tubuh, dan komunikasi memainkan peran kunci dalam bagaimana membangun hubungan antara warga dan komunitas. Hal ini yang selalu dijaga oleh para anggota Hysteria dalam memulai suatu hubungan.

Apa yang paling sulit ketika mengembangkan komunitas berbasis budaya? Menurut hemat Adin, yang paling susah adalah pragmatisme masyarakat. Masyarakat ingin hasil yang instan, terutama soal uang. Padahal pengembangan festival dalam suatu kampung dimaksudkan untuk memantik solidaritas antar warga yang terjalin dalam satu relasi yang sama. Soal menjadi desa wisata, itu hanyalah bonus dari kekompakan yang ada. Dari sana nanti juga akan memantik, permasalahan-permasalahan yang sukar diselesaikan dalam bermasyarakat.

Diakui Adin, kendala dalam mengawal perjalanan masyarakat untuk berkembang adalah yang paling sulit hingga sekarang. “Social intervention membutuhkan orang yang hadir secara fisik dan itu butuh investasi sosial yang besar.” Perkara mewujudkan pemberdayaan yang berkelanjutan menjadi momok yang menakutkan bagi mereka, sebab siapa yang tahan untuk mengurus suatu urusan  secara terus menerus untuk memastikan keberhasilannya tidak hanya sesaat. 

Hysteria memang bukanlah sekelompok orang bak dewa yang bisa merubah situasi apapun dalam sekejap. Mereka perlu waktu dan dukungan semua pihak yang terlibat untuk memberdayakan masyarakat. Mereka juga mempunyai harapan yang besar untuk semua pihak yang terlibat; tetap terus lanjut, anggota tidak terganggu masalah ekonomi, dan yang paling penting mewujudkan mimpi-mimpi yang dirajut oleh kampung yang mereka tangani.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Kisah di Balik Dharma Boutique Roastery, Rumah Kopi Tertua Semarang