Itinerary

Mengangkat Derajat Pemetik dan Petani Teh Melalui Produksi Teh Premium

“Bang, es tehnya satu!” 

“Minumnya teh hangat aja.”

“Tehnya nggak pakai gula ya.”

Percakapan seperti di atas seringkali kita dengar kalau sedang menyantap makan di sebuah rumah makan atau di restoran, bahkan di sebuah warung sempit di sudut gang. Sadar atau tidak, teh menjadi minuman yang paling lumrah menemani santap kita sehari-hari. Meskipun begitu, teh tidak menduduki posisi yang spesial, entah karena teh yang dianggap murah  dan bisa dinikmati semua kalangan atau memang masyarakat kita belum terlalu melek mengenal jenis teh.

Produksi teh nasional cenderung mengalami pasang surut dari tahun ke tahun. Berdasarkan statistik dari BPS, produksi teh nasional dalam rentang waktu 2017 adalah 91,9 juta ton dan kemudian pada 2018 turun menjadi 89,9 juta ton. Hingga akhirnya produksi teh turun drastis selama periode 2019 dan 2020 sebesar 79,5 dan 78,2 juta ton. Untungnya, pada 2021, produksi teh mengalami kenaikan yang signifikan sebesar 94,1 juta ton.

Dibandingkan teh, orang-orang lebih mengetahui jenis kopi. Ditambah dengan menjamurnya kafe-kafe, superioritas kopi dibanding teh semakin menguat. Teh dilabeli sebagai minuman murah meriah, dan kopi dilabeli sebagai minuman premium. Jadilah pengetahuan akan teh semakin terisolir. Salah satu jenama teh lokal yang ingin memperkenalkan teh sebagai produk kesehatan dan kemewahan adalah Nala Indonesian Tea. 

Jenama teh yang berpusat di Kabupaten Batang, Jawa Tengah menjual daun teh berkualitas dan premium yang diproduksi dengan cara-cara tradisional dan organik. Bagi Ratih Anggun Perdhani, teh adalah cara pandang terbarunya dalam melihat potensi yang belum tumbuh maksimal di negeri ini. 

Pada 2017, bermula dari ketidaksengajaan, Ratih ikut ayahnya ketika berkunjung ke kediaman seorang teman yang merupakan pensiunan pegawai pabrik teh di Batang. Ratih melihat bahwa ternyata ada beberapa pengolah teh lokal yang berasal dari kebun sendiri. Kemudian ia membeli beberapa jenis teh dan dicoba untuk dijual di sekitar rumahnya. “Ternyata untuk menjual teh itu agak tidak sesuai dengan kondisi sekitar yang menganggap teh tersebut lebih mahal ketimbang teh pabrik,” terang Ratih. 

Seorang kolega dari Inggris menelpon Ratih dan menanyakan informasi tentang teh kepadanya. Kemudian Ratih memberi tahu bahwa dirinya juga menjual teh premium organik. Meskipun saat itu masih belum menggunakan jenama Nala, koleganya tersebut meminta Ratih untuk segera mengirimkan teh kepadanya.

Percobaan pertama berhasil, kolega tersebut kemudian meminta Ratih untuk membuat jenamanya sendiri. Dengan semangat, Ratih kemudian mengurus semua urusan administratif dan teknis sendiri, dan voila! Dalam kurun waktu empat bulan, tepatnya pada April 2018, Nala sudah resmi menjadi jenama tersendiri.

Pak Heru, salah satu petani teh mitra Nala Indonesian Tea/Deta Widyananda

Nala mengusung misi yang mulia; berkolaborasi dengan petani lokal untuk menciptakan iklim kerja yang lebih menguntungkan petani. Misi ini, selaras dengan apa yang dirasakan Ratih ketika mengunjungi kebun teh. Upah murah, kerja berat, ditambah dengan pemetik teh yang didominasi perempuan, melecut semangatnya untuk menjadikan Nala tidak hanya sebagai bisnis, tapi juga sebagai penggerak pemberdayaan perempuan.

Perkebunan Teh Blado/Deta Widyananda

“Buruh petik teh di perusahaan swasta hanya dihargai sebesar 300-350 perak per kilogramnya. Ketika saya menanyakan kepada para pemetik yang 95% adalah perempuan dengan rentang usia 40-70 tahun, per harinya bisa mencapai 50 sampai 100 kilogram per hari,” jelas Ratih kepada saya.

Bayangan saya seketika teringat seorang nenek yang belum terlalu tua, memikul beban di punggung yang begitu besar ketika saya sedang dalam perjalanan menuju Merbabu. 

“Dengan rentang upah Rp350, semisal jumlah sehari maksimal 100 kilogram, paling-paling mereka hanya mendapat upah sekitar Rp35.000 per hari. Belum lagi dengan para petani, ya meskipun bayarannya lebih tinggi daripada buruh (sekitar Rp1.800 per kilogram).”

 “Dari sana saya akhirnya mikir ternyata teh dihargai dengan sangat murah.”

Ketika Ratih bertemu dengan salah satu pengolah teh yang memiliki pemikiran yang sama dengan Ratih, dia menjelaskan bagaimana quantity over quality mempengaruhi harga pasar teh di Indonesia. Produksi teh seringkali tidak memperhatikan kualitas teh yang mereka olah, sehingga produk yang dihasilkan berkualitas rendah dan juga dihargai rendah.

Juga, konsumsi teh lokal kita secara umum hanya seputaran seduh—sajikan—tenggak, tidak sampai menganggap minum teh sebagai minuman herbal yang bermanfaat untuk kesehatan dan dianggap sakral seperti di Jepang dan China. Untuk waktu spesifik kapan harus minum teh, masyarakat kita juga tidak pusing-pusing amat memikirkannya. 

Ratih ingin mengubah stigma teh yang terkenal pasaran, menjadi premium seperti halnya kopi. Untuk itulah Nala masuk ke kelas teh premium dengan membranding diri sebagai ‘teh organik menyehatkan yang dipetik langsung dengan tangan.’ Selain itu untuk memberdayakan pemetik dan petani, Nala membeli harga di atas pasaran dan mementingkan kualitas dibandingkan kuantitas.

Untuk lingkup usaha Nala, saat ini hanya berfokus pada pembelian daun teh di Kabupaten Batang, meskipun berbagai tawaran datang dari daerah lainnya seperti Wonosobo atau Bandung. “Saya inginnya produk dari Batang dulu, karena di Batang itu banyak yang punya kebun sendiri di luar perusahaan yang dikelola negara atau swasta. Mereka mengolah teh mereka sendiri, dan saya berpikir ‘kenapa tidak teh dari Batang dulu yang coba saya kelola?’ Kalau nanti Nala sudah besar, bisa jadi mengambil produk dari daerah lain.”

Ratih sendiri menjamin produknya benar-benar dirawat secara organik,meskipun beberapa petani belum mempunyai sertifikat organik karena sertifikasi untuk pangan organik sendiri termasuk mahal, berkisar 15-40 juta bahkan lebih. Demi menjamin mutunya, Ratih turun langsung ke lapangan untuk meninjau langsung proses pengolahan tanaman teh.

Selain menjual single origin tea, Nala juga menambahkan lini jualannya dengan memasukkan artisan tea atau campuran teh dengan berbagai tisane (bunga kering, buah-buahan kering, atau rempah-rempah) dengan bahan natural tanpa tambahan zat kimia apapun. Nala ingin menjaga keaslian teh tidak terbatas pada pengawasan produk tanaman, tapi sampai ke tahap peracikan dan pengemasan.

Namanya usaha, pasti ada saja aral yang menghadang Ratih mengembangkan Nala. Sebagai perempuan, Ratih seringkali diremehkan oleh beberapa orang yang sudah lebih dulu berkecimpung di industri teh karena dianggap masih anak kemarin sore. Untuk memperdalam keilmuan di bidang teh, Ratih kemudian mengambil sekolah khusus untuk memperdalam mengenai teh bersama para ahli.

Single Origin: Black Tea, Oloong Tea, Green Tea/Deta Widyananda

Ditanya mengenai bagaimana Ratih menguatkan diri menghadapi tekanan yang datang, Ratih menjawab bahwa teman-temannya membantunya untuk tetap kuat. “Sampai di titik ini, perjalanan di Nala itu seperti meruntuhkan tembok besar yang menghalangi saya.”

Dukungan dan masukan menjadikan kunci yang menaikkan semangat Ratih. Jenama Nala tentunya bukan hanya jadi dalam semalam. Dia juga mengungkapkan bahwa dalam perjalanan membangun Nala, bukan hanya bisnis dan kegiatan sosial, tapi yang paling besar adalah perjalanan menemukan diri sendiri.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Cerita di Balik Desa Wisata Sumberbulu, Karanganyar