Pilihan EditorTravelog

Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman (1)

“Tak ada burung yang tak menarik,” tukas Asief agak berteriak ketika suatu malam kami berdua sedang nongkrong di kedai kopi. Kata-katanya bertabrakan dengan deru kendaraan. Juga bersaing dengan suara Didi Kempot dari pengeras suara yang tergantung di dinding: Manuke manuke cucak rowo, cucak rowo dowo buntute, buntute sing akeh wulune, yen digoyang ser-ser aduh pnake.

“Apa yang mengesankan dari burung?” aku penasaran. 

“Banyak, tapi yang paling menarik adalah tantangannya. Mereka terbang. Enggak mudah menjadi seorang pengamat burung.” Pria 32 tahun itu terdengar setengah bangga.

“Kurasa ikan juga sulit diamati, tapi kamu enggak tertarik.” 

“Menyelam adalah aktivitas yang enggak mungkin kulakukan,” tanggapnya santai, “itulah kenapa aku cuma suka memancing.”

“Jadi, kapan kamu mau mengajakku melihat-lihat burung?”

“Kamu enggak bakal tahan bergeming berjam-jam,” tukasnya meremehkan. Jawaban serupa juga kerap Asief lontarkan saat aku ingin ikut memancing.

“Bung, memancing itu aktivitas kontemplatif,” ujarnya rada menggurui. “Enggak penting seberapa sering kailmu tersangkut mulut ikan. Yang penting, seberapa suntuk kamu menunggu waktu. Bagiku, esensi memancing adalah pelajaran hidup tentang ketabahan.”

Yang benar saja. Ia kira aku tidak sabar? Jangan salah. Aku pernah ikut sesi meditasi vipassana di Lapangan Kenari di kompleks Borobudur. Dituntun Bante Santachitto. Lulusan Myanmar. Buddha Theravada. Di tengah banyaknya peserta yang menyerah, aku bertahan sampai selesai. Perkara konsentrasi atau tidak, lain urusan. 

“Tapi kamu meditasi cuma tiga puluh menit,” cecarnya, “mengamati burung, kamu bakal telungkup sampai tiga jam.”

Apa susahnya? Aku bisa tidur selama delapan jam.

Sebenarnya aku penasaran dengan aktivitas kawanku itu. Empat tahun silam, kepadaku ia memperkenalkan diri dengan nama ‘Asep’. Kupikir ia bukan orang Madura. Kita cuma akan menjumpai nama ‘Asep’ di KTP orang-orang Sunda. Ternyata, itu cuma nama kecilnya. Namun, tetap saja, meski terdengar kearab-araban, untuk generasinya nama Asief Abdi tak lazim digunakan di Madura. Di sini, orang menggunakan nama Arab yang cukup familiar. Katakanlah Saiful Rohman. Masalahnya, kawanku itu juga tidak cocok menyandang nama Saiful Rohman. Ia terlihat sangat tidak Saiful Rohman.

Khazanah Burung di Ladang Basah

Maka, di Minggu pukul enam yang gigil, kami berangkat ke Capak yang berjarak lima belas kilometer ke arah timur dari pusat kota Pamekasan. Kampung itu masyhur di kalangan anak-anak muda jamet dan pencinta senja. Rasanya kurang afdal jika Instagram mereka tak memajang foto-foto dengan latar jalur Capak yang terapit tambak luas bertepi barisan pohon kuda.

Namun, pagi itu tak ada abege. Hanya orang-orang dewasa yang tengah jogging dan menghabiskan vakansi. Cahaya keemasan menyelimuti kayu-kayu jaran dan jatuh di permukaan tambak yang tenang. 

“Lihat itu.” Sambil mengemudi, Asief menunjuk sisi kiri. Ke ufuk timur. “Itu dara laut.” Burung itu melayang-layang di atas permukaan air.

Kupikir dara laut satu keluarga dengan merpati, tekukur, atau perkutut. Ternyata tidak. Burung yang didominasi warna putih itu lebih mirip camar. Setidaknya menurut mata awamku.

“Kita akan mencari wetland.”

“Apakah lahan basah menjadi satu-satunya lokasi yang bisa diharapkan para pengamat burung di Madura?” responsku di belakang punggungnya. 

“Beruntung kita masih punya rawa-rawa. Setidaknya kita masih punya berbagai burung air. Hutan-hutan di Jawa menjadi habitat burung-burung dengan ornamen lebih kaya, dengan warna bulu lebih semarak. Di sini, sulit mencari burung semacam itu. Paling cuma kutilang yang mengoceh seharian. Mereka ada di mana-mana.”

“Warna ‘itu-itu saja’ burung-burung di sini mungkin disepuh kontur lanskap alam Madura yang monoton. Karakter burung mengikuti habitatnya.”

“Itulah kenapa ada jargon yang terkenal di antara para pengamat burung: kenali burungmu, kenali negerimu.”

Di dekat sebuah genangan, motor kami parkir. Ketika kaki kami melangkah, kawanan kuntul terbang berhamburan menjauhi tepi dan mendarat di sisi yang lain, di jarak yang tak mungkin kami jangkau.

Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman
Sekawanan kuntul sedang berkumpul/Asief Abdi

“Semua burung sensitif. Mereka enggak mau dekat-dekat manusia,” Asief menjelaskan. “Ayo bergerak pelan-pelan. Tundukkan pandanganmu. Kontak mata bakal bikin mereka buyar.”

“Kenapa begitu?”

“Kita punya mata predator, Bung. Mereka akan merasa terancam.”

Kita adalah ‘wajah yang lain’ bagi makhluk-makhluk itu. Namun, mungkin istilah ‘wajah yang lain’ juga tak tepat. Emmanuel Levinas, filsuf Lithuania itu, sepertinya tidak bermaksud menggunakan metafora ‘wajah’ sebagai renungan etis yang ditujukan kepada hewan nonmanusia. Bukan kesadaran, mungkin kepekaan kontak mata tersebut merupakan insting tajam yang telah diasah waktu.

Yang jelas, reaksi burung-burung itu sudah tepat. Salah satu faktor kesintasan dan prestasi evolusi suatu spesies bergantung pada rasa takut. Spesies-spesies bonek berpotensi punah. Rasa gentar adalah sikap pragmatis, sedangkan keberanian kadang membunuh. 

Itulah mengapa Asief merangkak di balik belukar untuk merawat rasa aman para kuntul. Aku mengendap-endap di belakangnya. Ketika berhenti, ia merogoh seperangkat Canon dari dalam tas, lalu membidikkan mata kamera ke kawanan satwa itu dari celah semak.

“Burung-burung itu satu flock,” Asief menjelaskan sekelompok kuntul yang sedang mencari makan. “Yang besar namanya kuntul besar, yang kecil namanya kuntul kecil. Kuntul kebo paruhnya kuning, tapi di situ enggak ada.”

“Kalau yang leher pendek itu?” timpalku dengan telunjuk yang menunjuk.

“Blekok sawah. Kayak bambangan.”

“Bedanya dengan blekok?”

“Bambangan lebih langka.” Benar-benar jawaban yang tidak memuaskan. “Ya, mereka satu keluargalah.” Sepertinya dia bisa membaca pikiranku.

“Di sini aku merasa bebas,” ucap Asief sambil menghirup udara dengan kaki selonjor seusai memotret. Wajahnya semringah, tetapi tidak berlebihan. “Bagiku, ini momen transendental.” Terdengar sangat new age. Mungkin sebentar lagi ia overdosis jamur halusinogen, tetapi tercerahkan. “Kita pindah ke Polagan.”

Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman
Asief Abdi memotret kuntul di balik semak-semak/Royyan Julian

Dicari: Persaudaraan Pengamat Burung Madura

Menuju desa itu, kami melaju di pematang ladang tembakau yang hijau pekat dan subur. Aku mesti menghindari dahan-ranting semak beluntas dan widuri yang berjejer di sisi kanan-kiri. Di seutas kabel tiang listrik, seekor raja udang biru bertengger. Asief berhenti. Hewan itu terbang.

“Burung itu enggak bakal kabur kalau kita enggak berhenti dan enggak menatapnya. Nalurinya peka dan kita dianggap pemangsa,” ucap Asief sembari melanjutkan perjalanan.

“Sebenarnya apa tujuan kalian mengamati burung?” Aku bertanya dengan daftar penasaran yang sudah kususun.

“Para profesional melakukannya untuk tujuan riset. Fotografer bisa menjual gambar burung ke situs-situs komersial kayak Shutterstock atau Dreamstime. Tapi orang kayak aku mengamati burung cuma hobi.”

Dan hobi mengamati burung memang gayung bersambut dengan latar studi Asief. Ia hafal banyak spesies lengkap dengan nama latinnya. Dahulu, cowok ramping ini belajar biologi di Universitas Negeri Malang dengan konsentrasi botani. Sejak 2012, ia suka keluyuran di hutan, kebun raya, taman nasional, dan cagar alam untuk mengamati anggrek. Namun, beberapa tahun terakhir ia memperluas hobinya dengan memantau burung. Maka untuk menarik para pengamat burung di Madura, ia membuat akun Instagram Madura Birdwatching. 

“Sayang, di sini aku enggak punya saudara seiman, orang-orang yang juga memiliki kegemaran yang sama denganku,” ratapnya. Mungkin karena akun Madura Birdwatching gagal menyatukan persaudaraan itu. 

Untuk merawat hobi, selain tetap rutin jalan-jalan di alam, Asief juga berkorespondensi dengan pengamat burung lainnya di media sosial. Namun, belakangan ia lebih banyak melakukan aktivitasnya sendiri. Hanya sesekali ia mengontak kawan-kawannya saat tak tahu jenis burung yang baru dijumpainya.

“Para pengamat burung melakukan pertemuan tahunan. Tahun ini mereka ketemuan di Bali. Temanku juga pernah ikut lomba mengamati burung di sana dan juara satu.”

“Lomba mengamati burung?” tanyaku sedikit terkejut. Setahuku, kompetisi yang berkaitan dengan burung cuma balap merpati dan adu kicau. 

“Para kontestan mencatat burung-burung yang mereka temukan. Juga ada sesi presentasi dan tanya-jawab.”

“Tapi aku bisa menjadi saudara seimanmu,” godaku, berusaha mengembalikan keluh kesahnya di awal perbincangan. “Aku suka alam liar beserta isinya.”

“Iya, sih…” lalu senyap. Lidahnya macet. Ia tampak memikirkan sesuatu untuk diucapkan. “Tapi kamu penyair, Bung!” Akhirnya ia berkata dengan rasa bersalah yang tegas. Pipinya bersemu merah. Aku bisa melihatnya dari kaca spion.

“Omong kosong,” sahutku meringis. Aku tahu sebenarnya ia ingin berkata: Enggak. Kamu bukan pencinta alam, bukan pencinta burung, dan enggak pantas.

Namun, tidak apa-apa. Justru karena berjuang sendirian di pulau yang tampak tidak menjanjikan ini, seluruh apa yang ia kerjakan jadi masuk akal untuk disebut eksentrik. Belajar-mengajar biologi dan menekuni makhluk-makhluk liar. Ketika anak-anak muda Madura saling berlomba mengejar karier polisi, tentara, dan profesi “Halo, Dek” lainnya, Asief mengendus bunga bangkai hingga ke rimba Bengkulu serta giat menulis perkawinan antara alam dengan budaya.

Aku berani bertaruh, pemuda 170 senti ini adalah satu-satunya naturalis yang hidup di Madura.

(Bersambung)


Foto sampul: Rawa-rawa di Polagan (Asief Abdi)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Royyan Julian adalah penulis esai, fiksi, dan puisi. Saat ini bergiat di Universitas Madura dan sejumlah komunitas kebudayaan.

Royyan Julian adalah penulis esai, fiksi, dan puisi. Saat ini bergiat di Universitas Madura dan sejumlah komunitas kebudayaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Stoikisme Nggahi Mbojo