Pilihan EditorTravelog

Jagat Sekala dan Niskala Bukit Kaba (1)

“Dewi pulang ke Bukit Kaba
Muning Raib ikut serta
Dikatakanlah sampai sekarang
Cerita dahulu di dusun tua
Kalau bujang dan gadis tidak mau celaka
Jangan pergi ke Bukit Kaba.”

Muning Raib, lagu daerah Rejang

Pada masa lalu, jauh sebelum anak-anak muda menggandrungi aktivitas pendakian dan meromantisasinya, para leluhur memaknai gunung dengan cara berbeda. Bukannya merangkai kata-kata bijak, mereka justru menganggap gunung sebagai tempat keramat. Tinggi dan suci, gunung diselimuti berbagai mite yang kadang masih membuat bulu kuduk pendaki merinding.

Sinar matahari terasa lembut di tengah udara dingin Curup, sebuah kota kecil di Bengkulu. Setelah digempur hujan selama beberapa hari, kami cukup beruntung pagi itu cerah. Zulni menjemput saya dengan mobilnya. Kami meluncur melewati jalanan kota yang tak terlalu ramai, meliak-liuk di gang-gang sempit, menjemput Oka di sebuah sudut kota. Kami hendak mendaki Gunung Kaba, sebuah gunung berapi aktif, atau yang lebih populer dikenal sebagai Bukit Kaba.

Lalu lintas kota lengang. Mobil meluncur tanpa hambatan berarti. Zulni memutar lagu Jawa yang ia sendiri tak mengerti artinya. Jalanan berkelok saat kami keluar area kota. Jalur di Sumatra penuh liku, tanjakan, dan turunan. Lepas Simpang Nangka, kami menuju Kecamatan Selupu Rejang, basecamp pendakian Bukit Kaba.

Bukit Kaba
Selamat datang di Bukit Kaba/Asief Abdi

Toyota Vios tua kami kewalahan di jalan menanjak. Beberapa kali, mesin mobil mati, takluk pada tanjakan yang coba kami lalui. Dengan cekatan, Zulni memundurkan mobil beberapa meter, memasang ancang-ancang maju, kakinya memberi lebih banyak tenaga pada mobil. Syukurlah, kami berhasil melintas.

Basecamp tampak ramai. Di area parkir, para pengunjung berdatangan. Saya baru ingat hari ini adalah akhir tahun. Sudah pasti banyak orang yang hendak merayakan malam pergantian tahun di puncak. Simaksi beres, mobil terparkir sempurna, kami melangkah ke pintu rimba.

Bukit Kaba
Menapaki jalur pendakian/Asief Abdi

Belantara Sumatra menyambut kami. Riuh rendah suara penghuninya terdengar dari berbagai penjuru. Lolongan siamang, cicit burung, dan derik serangga. Sesekali saya melihat beruk berlompatan di antara reranting yang silang sengkarut.

Kami berpapasan dengan beberapa pendaki. Di antaranya yaitu Bagus dan Dedek yang katanya dari Mukomuko—sebuah kabupaten di Bengkulu. Dalam sekejap, kami menjadi satu rombongan. Berbeda dengan kami, mereka berdua hendak bermalam di atas. 

Berkemah di gunung memang menyenangkan, tapi kami tak punya banyak waktu, jadi kami putuskan untuk tektok—sebutan para pendaki untuk pendakian bolak-balik sehari. Saya baru tahu kalau di sini para pendaki tidak menggunakan istilah itu, melainkan balik hari atau hiking. Bukit Kaba memiliki ketinggian 1937 mdpl, tak terlalu tinggi dan bisa ditempuh lebih kurang tiga jam perjalanan dari basecamp.

Sepanjang pendakian, kami berhenti beberapa kali. Selagi lainnya minum, makan camilan, atau merokok, saya menengok sekitar. Ini pengalaman pertama saya menginjak tanah Sumatra dan memasuki rimbanya. Mata saya dimanjakan oleh berbagai bentuk hidupan liar di sekeliling.

Belantara Sumatra benar-benar sehidup yang dituliskan Mochtar Lubis dalam novelnya, Harimau! Harimau! Saya pun teringat sesuatu dan bertanya apakah hutan ini ada harimaunya. ”Wah, mending jangan ngomongin itu, Bang,” jawab Oka. Belakangan saya mengetahui bahwa tabu bagi orang Rejang menyebut hewan itu di hutan—mereka menyebutnya nieniek atau sebie yang artinya “nenek”. Terlebih, beredar mite bahwa gunung ini dihuni Sebie Bujang Tunggal, sesosok harimau siluman. Saya tidak tahu jawaban Oka itu praktis atau mistis.

Suara burung takur terdengar. Saya mendongak, mencoba menemukan makhluk berbulu hijau itu, tapi pepohonan terlalu rapat. Tak hanya takur, banyak pula bunyi burung-burung lainnya yang tidak saya kenali. Ternyata, pada 1999, Bukit Kaba sempat dinyatakan sebagai Important Bird Area (IBA), yang menjadi suaka bagi berbagai jenis burung. Selain itu, gunung ini juga menjadi habitat Rafflesia, bunga bangkai ikonik Bengkulu. Namun, sayang sekali, tampaknya saat ini, Bukit Kaba tidak bisa lagi melaksanakan misi ekologis itu.

Bukit Kaba
Punggung-punggung Bukit Kaba/Asief Abdi

Rupanya, tak hanya para pemilik modal yang menggerogoti tubuh Sumatra. Dilansir dari sebuah situs berita nasional, beberapa kawasan hutan gunung ini rusak akibat perambahan yang dilakukan oleh warga. Mereka membuka lahan di area konservasi. Zona perlindungan itu dirusak dan dibuka menjadi perkebunan kopi. Tak heran jika tempat ini tak lagi bisa menjalankan fungsi alaminya sebagai surga bagi beragam hidupan liar, daya dukung lingkungannya merosot. Sepanjang pendakian, saya menengok sekeliling dan tak ada Rafflesia. Namun saya sudah cukup puas dengan beberapa jenis anggrek liar.

Berbagai jenis paku dan anggrek bergelantungan, menyapa para pendaki dari batang-batang pohon, melambai layaknya lengan-lengan peri. Di beberapa tempat, pohon tumbang—tampaknya diterpa badai. Batangnya yang melintang di tengah jalur memaksa para pelintas menunduk atau melangkahinya. Di beberapa titik, jalan benar-benar nyaris vertikal. Kami harus hati-hati memilih pijakan, hujan membuat tanah yang kami jejak licin. Setiap langkah harus diperhatikan. Beberapa kali saya harus berpegangan pada liana yang menjalar di mana-mana.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Asief Abdi belajar biologi di Universitas Negeri Malang. Aktivitasnya mengamati hewan dan tumbuhan sejak kuliah masih berlanjut hingga saat ini. Belakang juga tertarik mengunjungi situs-situs bersejarah. Kini, ia tinggal dan bergiat sebagai pengajar di Pamekasan.

Asief Abdi belajar biologi di Universitas Negeri Malang. Aktivitasnya mengamati hewan dan tumbuhan sejak kuliah masih berlanjut hingga saat ini. Belakang juga tertarik mengunjungi situs-situs bersejarah. Kini, ia tinggal dan bergiat sebagai pengajar di Pamekasan.

3 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Hikayat Aren di Tanah Rejang (1)