Photo EssayPilihan Editor

Tak Perlu Buru-Buru di Argopuro

Di Taman Hidup, kabut justru ditunggu-tunggu

Tak Perlu Buru-Buru di Argopuro
— Evelyne menyusuri jalan setapak datar di antara hutan cemara dan rerimbunan edelweis. Satu dari sedikit trek bonus di antara Sabana Lonceng menuju Cemara Lima. Sisanya harus menahan ngilu di jemari kaki yang terjepit di ujung sepatu. Seperti halnya di perjalanan menuju Cikasur dan Cisentor, waspadai tanaman jelatang atau jancukan di kiri-kanan jalur yang bisa membuat kulit gatal dan perih.

Menurut Pak Yik, sesungguhnya perjalanan dari Sabana Lonceng ke Taman Hidup adalah bagian terberat. Turun drastis dari ketinggian 2.973 mdpl ke 1965 mdpl. Terutama di jalur terjal yang ia sebut “Gunung Rangkak”, area penuh jelatang dan semak berduri di bawah hutan cemara menjulang. Disebut begitu, karena kalau mendaki ke arah sebaliknya, pendaki akan berjalan seperti merangkak saking curamnya. Jalur yang akan membuat dengkul bertemu dagu. Satu-satunya cara hanyalah dengan terus melewatinya dengan sabar dan hati-hati.

Tak Perlu Buru-Buru di Argopuro
— Saya berjalan mengikuti Evelyne dari belakang ketika memasuki kawasan hutan lumut. Ia merasakan ada sedikit keluhan di lututnya, tetapi masih sanggup berjalan meski perlahan. Lukas dan Pak Yik sudah berjalan agak jauh dari kami. Menurut Pak Yik, kami tidak perlu khawatir tersesat. Cukup ikuti jalur yang sangat jelas dan berpikir positif. Walaupun begitu, kadang-kadang saya merasa “harus” menoleh ke belakang entah kenapa.

“Parkir dulu,” kata saya menirukan istilah Pak Yik jika ingin beristirahat. Di kawasan Cemara Lima, titik pertemuan antara jalur ke puncak dengan jalur lama ke Cisentor melalui Aeng Kenek (kini ditutup), saya memutuskan berhenti lebih lama. Meredakan napas dan degup jantung yang memburu. Evelyne sudah mencicil langkah menyusul Lukas yang berjalan terlebih dahulu. Di depan, masih ada satu kawasan rimba yang harus kami lalui sebelum Taman Hidup. Hutan lumut, namanya. Dari kejauhan, terlihat halimun turun menyergap pucuk-pucuk ranting pepohonan. Menambah suasana suram.

Tak Perlu Buru-Buru di Argopuro
— Gubuk kayu ikonis di tepian Taman Hidup. Tampak refleksi bukit dan hutan lumut nan lebat di permukaan air. Saat musim hujan, debit air akan sedikit bertambah dan membanjiri permukaan tanah mendekati area perkemahan. Menurut saya, munculnya kabut tipis hingga tebal yang melayang adalah momen terbaik di danau ini. Berbagai macam persepsi orang terhadap kabut terasa layak untuk dilekatkan, seperti damai, syahdu, magis, bahkan mistis.

Danau yang sebelumnya hanya saya lihat di internet itu akhirnya terbentang di depan mata. Tanpa sekat apa pun. Saya tidak mengada-ada. Jika mendaki lintas jalur dari Baderan menuju Bermi, Taman Hidup adalah sebaik-baiknya penutup perjalanan panjang. Sebaik-baiknya obat bagi pundak, lutut, dan telapak kaki yang tiada henti-henti diuji. Pengalaman tersebut menjadi lengkap ketika halimun melayang turun ke pucuk-pucuk pepohonan dan permukaan danau. Sebagian orang mungkin menganggap keberadaan kabut cukup bikin merinding. Namun, sebaliknya, saya malah sangat menanti-nanti.

Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Mendaki Gunung Merbabu via Suwanting: Harapan Selepas Hujan (1)