Photo EssayPilihan Editor

Tak Perlu Buru-Buru di Argopuro

Dari Hyang Timur ke Hyang Barat

Kiri: Hafiz alias Pak Yik, porter tangguh yang kami sewa jasanya meskipun sudah berusia lebih dari setengah abad. Kanan atas: Cak Arifin tengah menelepon Hafiz, agar porter yang berdomisili di Kraksaan, Kabupaten Probolinggo itu bersiap untuk dijemput. Kanan bawah: Samhaji berpose di depan rumah dinasnya yang jadi satu area dengan loket perizinan, setelah kami ngobrol bareng dan diberi arahan olehnya.

Satu hal yang pasti, Cak Arifin, konservasionis Argopuro dari Bermi sekaligus sopir yang kami sewa, dan Pak Yik—sapaan akrab Hafiz Jaidi—tampak tidak terlalu terkejut dengan rencana pendakian kami. Jelas saja, orang-orang seperti mereka justru betah berada di dalam hutan berhari-hari. Argopuro, tepatnya kawasan Dataran Tinggi Hyang, sudah seperti halaman belakang rumah mereka. Tanggapan senada diungkapkan Samhaji, petugas penjaga loket perizinan Resort Konservasi Wilayah 23 Argopuro, BBKSDA Jawa Timur, di Baderan, Situbondo. “Mau di hutan seminggu, dua minggu, gak masalah. Yang penting jangan lupa lapor pas naik dan turun,” ujar pria yang sempat dua tahun merantau di perkebunan sawit Kalimantan tersebut.

Tak Perlu Buru-Buru di Argopuro
— Beban perlengkapan yang dibawa Lukas selama pendakian. Ia memanggul tas ransel berkapasitas maksimal 75 liter. Selain bahan konsumsi yang terbagi rata, pria asal Surabaya itu juga membawa satu tenda isi 2 orang hingga dua buah jeriken plastik berkapasitas lima liter. Foto ini saya ambil sesaat setelah meninggalkan pos Mata Air 2 (2.165 mdpl), tempat camp kami semalam di hari pertama mendaki.

Artinya, selama urusan administrasi beres, pendaki bebas menentukan ingin di hutan berapa lama. Sepanjang pendaki mau mencurahkan tenaga dan kesempatan demi membeli pengalaman itu, uang bukan lagi menjadi masalah. Menurut Samhaji, Argopuro terlalu sayang untuk dilewatkan dengan tergesa-gesa. Dalam penafsiran saya, jika ingin jalan-jalan santai di gunung, ya, di Pegunungan Hyang inilah tempatnya. Terhitung mulai pukul 06.45 WIB, di Sabtu yang cerah, kami berempat meniti selangkah demi selangkah. Menembus jalur pegunungan Hyang Timur menuju Hyang Barat sejauh hampir 40 kilometer. Melintasi wilayah Situbondo ke Probolinggo tanpa berjejal dengan kepadatan lalu lintas dan polusi kendaraan di jalur pantai utara tapal kuda.

Tak Perlu Buru-Buru di Argopuro
— Raut semringah Evelyne ketika tiba di Sungai Qolbu, pintu masuk sabana Cikasur. Cikasur merupakan sabana terbesar di Pegunungan Hyang, yang pada masa Hindia Belanda pernah dibangun lapangan terbang. Di tengah-tengah Cikasur terdapat area melingkar bernaung pohon besar dan dikelilingi semak tinggi untuk tempat berkemah.

Dari sekian banyak area yang representatif untuk berkemah, Cikasur mendapat tempat istimewa di hati. Saya sengaja merencanakan camp dua malam di sabana ini. Sisanya, seperti Mata Air 2, Cisentor, Sabana Lonceng, dan Danau Taman Hidup mendapat jatah diinapi masing-masing satu malam. Seperti layaknya di gunung-gunung lain, waktu terasa berjalan sangat lambat di Cikasur. Bagi saya, padang rumput nan luas ini adalah tempat terbaik untuk berkontemplasi bahkan bermalas-malasan. Kapan lagi bisa memanjakan diri dan—walau hanya sesaat—tidak memikirkan rumitnya rutinitas kerja atau, mungkin, utang-piutang?

Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Mendaki Gunung Merbabu via Suwanting: Harapan Selepas Hujan (2)