Photo EssayPilihan Editor

Tak Perlu Buru-Buru di Argopuro

Momen-momen terbaik yang tak terlupakan

Tak Perlu Buru-Buru di Argopuro
— Sebuah kegiatan larut malam yang sebenarnya penuh rintangan: mengantuk dan kedinginan. Namun, meskipun tidak sempurna dan sebagus foto-foto orang, memiliki jejak memori pada aktivitas yang tidak setiap hari dilakukan ini termasuk kebanggaan diri. Tidak ternilai harganya.

Salah satu agenda yang saya tak sabar lakukan adalah memotret bintang atau milky way di Cikasur. Fenomena langit di malam hari tersebut menjadi faktor terbesar saya memilih jadwal perjalanan kami. Tanggal-tanggal di mana terjadi bulan mati atau terbitnya bulan baru (new moon). Namun, saya pun tak benar-benar berani memotret sendirian di tengah kegelapan padang rumput beku. Semua serba hitam. Pak Yik adalah orang yang “setia” menemani saya di dua malam beruntun di Cikasur. Sementara Lukas dan Evelyne hanya betah menjadi model foto saat malam pertama. Sleeping bag dan kehangatan tenda lebih menggoda mereka ketimbang menggigil di area terbuka saat larut malam.

Kiri: Dua ekor merak terlihat di tepi aliran Sungai Qolbu yang hampir tertutup selada air, sumber minuman utama di kawasan Cikasur. Dibanding rusa atau keluarga macan, merak adalah salah satu satwa yang relatif mudah dijumpai di Argopuro. Fauna lain yang gampang menampakkan diri, khususnya di sekitar area berkemah, adalah babi hutan, tikus gunung, dan musang. Kanan: salah satu bulu merak yang terjatuh di antara semak-semak.

Suara Pavo muticus, yang memekik sepanjang pagi dan sore, menjadi atraksi nada paling menghibur di Cikasur. Burung yang diberkati bulu indah dengan corak lingkaran hijau biru itu tak selalu menampakkan diri. Tatkala kami bersantai di depan tenda, terdengar nyanyian para merak hijau bersahutan. Saya kurang mengerti, tetapi sepertinya si jantan sedang memikat perhatian si betina. Saya akhirnya cukup beruntung dapat melihat satwa endemik Argopuro itu dalam jarak yang cukup dekat. Tepatnya ketika sedang mandi di aliran Cikasur jelang sore pada hari ketiga. Dari balik lensa kamera, saya menyaksikan merak jantan membentangkan ekornya setengah lingkaran. Bak kipas berbulu dengan daya magis untuk menghipnotis lawan jenis. Menurut Cak Arifin, Agustus—September memang menjadi puncak musim kawin mereka.

Tak Perlu Buru-Buru di Argopuro
— Suasana tempat berkemah kami di depan pos Cisentor (2.461 mdpl). Hampir di setiap malam selama pendakian, Pak Yik selalu membuatkan api unggun untuk kami agar suhu sedikit lebih hangat sesaat. Cisentor merupakan titik pertemuan antara jalur lawas menuju Cemara Lima via Aeng Kenek (di belakang pos), atau naik menanjak ke arah puncak via Rawa Embik (2.739 mdpl) hingga Sabana Lonceng.

Rutinitas hampir setiap sore sampai malam di Argopuro adalah menikmati kehangatan api unggun buatan Pak Yik. “Saya kurang tahan dingin, Mas, jadi setiap camp harus buat api unggun,” katanya.

Begitu tiba di tempat berkemah, usai mendirikan tenda dan menaruh barang, Pak Yik secepat kilat “menghilang” ke arah semak-semak atau pinggiran hutan. Ia mencari potongan batang pohon atau ranting kayu yang jatuh di permukaan tanah. Pria penikmat kopi nangka—istilah lokal kopi varietas excelsa—itu menggotongnya sendirian. Kadang-kadang kami membantunya mencari, meskipun tentu saja tak seberapa. Yang jelas, Pak Yik akan selalu memastikan agar jejak abu api unggun harus benar-benar mati sebelum meninggalkan camp.

Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Panduan Pendakian Gunung Merbabu via Suwanting