Saat ini banyak orang mendaki Gunung Argopuro dalam waktu singkat. Bahkan sanggup tektok lintas jalur kurang dari 24 jam. Namun, mengapa harus buru-buru?
Teks & foto oleh Rifqy Faiza Rahman
— Selamat pagi dari Cikasur, sabana terbesar Pegunungan Hyang di ketinggian 2.216 mdpl. Pak Yik (kiri) dan Meiga, kenalan pendaki baru dari Malang yang kami temui setibanya di Cikasur, berbincang santai sebelum menyantap sarapan. Meiga terhitung cukup sering mendaki gunung ini. Mereka membahas seputar detail-detail kecil jalur pendakian dari tahun ke tahun. Termasuk masih adanya pelanggaran sejumlah oknum, yang memasuki kawasan konservasi dengan sepeda motor (umumnya trail) dari arah Baderan.
Pertanyaan tersebut berbalik ke saya, “Mengapa harus seminggu di gunung? Ngapain aja?”
Malam sebelum keberangkatan ke Baderan, Kamis, 25 Agustus 2022, saya menemui Dadang di sebuah kafe di selatan Surabaya. Dia adalah adik kelas semasa berseragam putih abu-abu. Saya tidak sendiri. Dua rekan seperjalanan, Lukas dan Evelyne, ikut serta. Kami membahas persiapan pendakian yang akan kami mulai lusa. Di antara kami berempat, hanya Dadang yang pernah mendaki Argopuro. Itu pun sudah terjadi hampir satu dasawarsa lalu, ketika jasa tukang ojek basecamp Baderan ke batas makadam belum ditemukan. Sayang, Dadang batal ikut karena urusan genting yang tidak bisa ia sampaikan.
Kata Dadang, Gunung Argopuro dahulu umumnya memang didaki selama berhari-hari. Tanpa ojek, pendaki membutuhkan 6-7 jam perjalanan dari basecamp Baderan (784 mdpl) ke Pos Mata Air 1 (1.815 mdpl). Sekarang maksimal hanya 30 menit dengan ojek sampai batas makadam di tengah-tengah kebun kopi dan tembakau, lalu berjalan 2-3 jam ke pos pertama tersebut. Saat musim hujan bisa dua kali lipat lebih lama. Begitulah, Argopuro. Ketika memilih lintas jalur dengan penuh beban bawaan, naik dari Baderan dan turun lewat Bermi, maka menimbulkan konsekuensi pada waktu dan logistik. Setidaknya perlu 5—6 hari mendaki pergi-pulang. Perencanaan dan persiapan harus matang, tetapi dibuat seefisien mungkin.