Photo EssayPilihan Editor

Tak Perlu Buru-Buru di Argopuro

Intinya, bukan semata tentang puncak itu sendiri

Kiri: Pak Yik menunaikan salat Zuhur di area Puncak Argopuro (3.088 mdpl). Sebagai muslim, pria “blasteran” Arab-Madura itu juga selalu mengingatkan saya untuk tidak meninggalkan ibadah wajib meski di gunung. Kanan atas: Lukas dan Evelyne berada di dataran sempit Puncak Arca (3.000 mdpl). Puncak ini berada satu punggungan dengan Puncak Argopuro dan memiliki situs berupa peninggalan arca. Kanan bawah: Tampak belakang Lukas saat menyaksikan matahari terbit dari Puncak Rengganis (2.980 mdpl). Di kejauhan juga terlihat pemandangan Gunung Raung berselimut awan.

Puncak-puncak tertinggi di Dataran Tinggi Hyang, yaitu Argopuro, Arca, dan Rengganis, bukanlah alasan teratas saya bertamu ke pegunungan ini. Memang di hari kelima dan keenam kami akan melewati ketiga puncak itu. Namun, maksud saya, bukan menjadi satu-satunya prioritas. Kami mencoba menjangkaunya karena memang kesempatan itu ada. Lagipula lokasinya berdekatan, dan Sabana Lonceng sebagai titik temu menuju ketiganya sangat strategis. Kami hanya harus mewaspadai potensi serangan babi hutan sebesar motor sport 500cc dengan warna bulu abu-abu.

Kiri: Dataran seluas lapangan sepak bola di kawasan Puncak Rengganis. Di tempat serba putih ini bau belerang sesekali menyengat, karena dekat dengan bekas kaldera purba. Tampak bekas dinding dari batu yang mengelilingi area tersebut. Seperti di kedua puncak lainnya, beberapa sejarawan berargumen bahwa Pegunungan Hyang dahulu memang menjadi salah satu tempat suci dan sakral atau bekas keraton untuk umat tertentu. Kanan: Lukas, Evelyne, dan Pak Yik mengobrol tentang keindahan pemandangan dan peninggalan arkeologi di Rengganis. Rengganis sendiri merupakan nama tokoh fiksi dalam Serat Menak, sebuah sastra Melayu tentang Hikayat Amir Hamzah. Namun, di media sosial, Rengganis kerap diasosiasikan sebagai seorang dewi dari “dunia halus” dengan pakaian serba merah.

Sejarah keberadaan situs-situs arkeologi di puncak-puncak tersebut cukup rumit. Banyak versi beredar, mulai dari sisi mistis hingga fakta sesuai data literatur. Dua teman saya di komunitas Bermi Heritage, Probolinggo, sampai sekarang rutin membuat konten sejarah tentang Dataran Tinggi Hyang. Ada alasan khusus mereka melakukan itu, salah satunya adalah keresahan terhadap terlalu viralnya konten-konten bermuatan horor di media sosial. Gisbian, salah satu pentolannya, berkata bahwa mereka perlu meluruskan sejarah tentang Argopuro. Ia menentang keras orang-orang yang selalu menganggap kisah misteri atau mistisisme sebagai fakta yang harus diakui sebagai data sejarah.

Tak Perlu Buru-Buru di Argopuro
— Lumpang atau wadah batu berdiameter sekitar 30 sentimeter di dekat plang Puncak Rengganis. Bejana alami seperti ini juga kami temukan di dataran bagian bawah puncak.

Salah satu pelajaran berkesan yang saya dapatkan adalah tindakan sederhana Pak Yik di Puncak Rengganis. Setelah foto-foto, Pak Yik mengajak kami menuangkan air ke atas sebuah lumpang batu dekat puncak. Tinggi wadah tersebut kira-kira sejajar betis atau lutut orang dewasa. Air yang kami curahkan tidak banyak. Paling puluhan mililiter saja, sampai lumpang terisi hampir penuh. 

Saat saya tanya ke Pak Yik alasan melakukan itu, jawabannya menghangatkan hati. “Kita kasih air buat sumber minum burung-burung di Argopuro,” jawabnya.

Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Mendaki Gunung Merbabu via Suwanting: Harapan Selepas Hujan (2)