NusantarasaPilihan Editor

Nasi Kropokhan, Warisan Kuliner Kesultanan Demak

Dalam peta kuliner Indonesia, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, boleh dikatakan tidak cukup diperhitungkan. Demak lebih tenar dengan destinasi wisata religinya. Kota Wali ini terdapat Masjid Agung Demak yang populer sebagai pusat penyebaran Islam pertama oleh Walisongo. Di kompleks masjid ini juga dilengkapi museum yang menyimpan pelbagai benda bersejarah terkait dakwah Walisongo.

Di Demak terdapat pula makam Sunan Kalijaga, tepatnya di Desa Kadilangu, Demak. Sunan Kalijaga termasuk anggota Walisongo paling populer dengan gaya dakwahnya yang membumi dengan masyarakat Jawa ketika itu.

Meski demikian, sebagaimana daerah lain, Demak juga menyimpan khazanah kuliner khas. Antara lain yang bisa disebut: nasi ndoreng, sup balungan, botok telur asin, dan asem-asem daging. Selain itu, sebagai kota penghasil buah belimbing yang cukup masyhur, Demak juga memiliki sejumlah kuliner olahan berbasis belimbing sebagai oleh-oleh, antara lain dalam bentuk manisan, sirup, dan koktail.

Satu lagi kuliner khas Demak yang mesti disebut karena memiliki nilai sejarah yang tinggi—namun  selama ini nyaris terlupakan. Kuliner itu bernama nasi kropokhan. Sejumlah sumber menyebutkan, hidangan berkuah ini merupakan warisan kuliner Demak sebagai menu favorit para bangsawan di Kesultanan Demak tempo dulu.  

Nasi kropokhan, sajian kuliner warisan Kesultanan Demak yang nyaris terlupaka
Nasi kropokhan, sajian kuliner warisan Kesultanan Demak yang nyaris terlupakan/Badiatul Muchlisin Asti

Menu Favorit Sultan Demak

Meski belum ada data valid yang bisa dirujuk, kecuali cerita turun-temurun, nasi kropokhan dipercaya sebagai menu kegemaran para sultan Demak ketika itu. Sehingga bila dirunut, maka nasi kropokhan sudah eksis sejak berabad lampau ketika Kesultanan Demak masih berjaya di sekitar abad ke-16. Sebagai menu kegemaran para bangsawan kerajaan, nasi kropokhan pun dipercaya sering dijadikan sebagai hidangan di acara-acara kerajaan.

Nasi kropokhan sendiri berupa nasi yang diberi kuah sayur bersantan yang berisi labu putih dan daging kerbau. Cita rasanya gurih, asam, dan segar, juga pedas. Taste asam pada kuah nasi kropokhan diperoleh dari elemen daun kedondong. Sedang tone pedasnya, diperoleh dari elemen cabai di dalamnya—yang biasanya dibiarkan utuh. Tingkat kepedasannya bisa diatur dari jumlah cabai sesuai selera.

Bahan utama nasi kropokhan adalah daging kerbau dan labu putih. Bumbu nasi kropokhan meliputi: bawang merah, bawang putih, kemiri, ketumbar, jintan, dan lada. Sebagai pelengkap bumbu, ada daun jeruk, daun salam, laos, cabai, garam, gula pasir, santan, dan daun kedondong.

Dalam pengolahannya, daging kerbau direbus hingga empuk. Masukkan semua bumbu rempah yang telah dihaluskan agar meresap ke daging. Kemudian masukkan labu putih, daun kedondong, cabai utuh, dan santan. Untuk memperkuat rasa, bisa tambahkan sedikit gula pasir. Tunggu sekitar 30 menit dengan api sedang, dan sayur kropokhan siap dihidangkan.

Dalam penyajiannya, sayur kropokhan biasa disantap dengan nasi putih hangat. Bisa disajikan terpisah atau campur, yakni sepiring nasi diguyur kuah kropokhan lengkap dengan potongan labu putih dan daging kerbaunya. Nasi kropokhan pun siap disantap.

Pada zaman dahulu, daging kerbau pada nasi kropokhan diperuntukkan bagi para sultan dan kalangan bangsawan kerajaan. Adapun kulit kerbau diperuntukkan bagi masyarakat biasa. Agar sayur lebih banyak, maka dicampur dengan labu putih. Nama Kropokhan sendiri konon berasal dari kata kropoh yang artinya dicampur.

Nasi Kropokhan, Simbol Toleransi Islam dan Hindu

Bahan utama nasi kropokhan adalah labu putih—yang biasa tumbuh di daerah tropis, dan juga daging kerbau. Kenapa daging kerbau? Dugaan kuat, hal itu berkaitan erat dengan strategi dakwah Walisongo. 

Di masa-masa awal penyebaran Islam di tanah Jawa dengan pusat dakwahnya di Masjid Agung Demak, masyarakat Jawa, tak terkecuali Demak, masih banyak yang menganut agama Hindu yang meyakini sapi sebagai hewan yang sakral. Sehingga daging kerbau dipilih sebagai pengganti untuk bahan masakan agar tidak melukai perasaan umat Hindu.

Strategi serupa juga diterapkan oleh Sunan Kudus di wilayah dakwahnya, Kudus. Saat pertama kali merintis syiar dakwah Islam di Kudus, Sunan Kudus juga melarang umat Islam menyembelih sapi sebagai satwa sakral dalam doktrin agama Hindu. Tujuannya tak lain agar tidak melukai perasaan umat Hindu. 

Sebagai gantinya, daging kerbau dipilih sebagai bahan untuk membuat berbagai olahan masakan. Itulah rahasianya, hingga saat ini, di Kudus masih banyak dijumpai berbagai olahan kuliner berbahan daging kerbau seperti sate kerbau, soto kerbau, dan nasi pindang—yang proteinnya juga menggunakan daging kerbau. 

Nasi kropokhan sebagai warisan kuliner kesultanan Demak dan biasa dijadikan sebagai hidangan di acara-acara kerajaan tempo dulu, juga menggunakan daging kerbau. Boleh dibilang, penggunaan daging kerbau ini merupakan simbol toleransi umat Islam atas umat Hindu. Sehingga harmoni antar umat beragama dapat dengan mudah dicapai. Dengan cara itu pula, syiar Islam di tanah Jawa berkembang dengan pesat.

Pondok Ikan Demung, salah satu resto yang menyajikan menu nasi kropokhan
Pondok Ikan Demung, salah satu resto yang menyajikan menu nasi kropokhan

Berburu Nasi Kropokhan yang (Masih) Langka

Beberapa sumber menyebutkan, pada perkembangannya, nasi kropokhan bertransformasi menjadi hidangan yang disajikan pada acara-acara hajatan warga Demak. Hanya saja, menu ini kemudian seperti redup. Banyak warga Demak yang tak lagi mengenalnya. Sehingga nasi kropokhan ini nyaris tak pernah menjadi perbincangan sebagai (salah satu) kuliner pusaka Demak yang musti di-uri-uri atau dilestarikan.

Padahal nasi kropokhan ini sangat potensial dijenamakan sebagai ikon kuliner Kabupaten Demak, mengingat akar historisnya nyambung dengan posisi Demak sebagai Kota Wali. Ya, secara historis, nasi kropokhan terkait erat dengan Kesultanan Demak yang  merupakan pusat penyebaran Islam pertama di tanah Jawa oleh Walisongo.

Hingga saat ini, pengunjung dan wisatawan luar daerah masih kesulitan mendapati nasi kropokhan di Demak. Itu karena masih sangat sedikit warung atau rumah makan di Demak yang menyajikan kuliner ini. 

Tahun 2015, untuk pertama kalinya terdapat sebuah rumah makan yang mengangkat nasi kropokhan sebagai menu spesialnya. Rumah makan itu bernama “Rumah Makan Pawon Wolu” di Jalan Sultan Hadiwijaya 40, Kelurahan Mangunjiwan, Demak Kota. Rumah makan itu dikelola oleh Tatik Sulistijani, salah seorang anggota DPRD Demak ketika itu. Sayangnya, tak lama kemudian, tersiar kabar rumah makan itu tutup permanen.

Setelah itu, hingga saat ini masih sulit mencari rumah makan di Demak yang menyajikan menu nasi kropokhan. Salah satu dari sedikit warung makan yang menyediakan menu nasi kropokhan adalah “Warung Makan Seger Waras” yang beralamat di Jalan Bhayangkara Baru Demak, Kelurahan Bintoro, Demak. Warung ini terletak di seberang poli umum RSUD Sunan Kalijaga Demak.

Selain itu, ada satu lagi, yaitu Pondok Ikan Demung yang beralamat di Jalan Demung-Trengguli KM 1, Kerangkulon, Wonosalam, Demak. Pondok ikan ini awalnya menyajikan menu-menu serba ikan, karena pondok makan ini memang sekaligus merupakan wahana pemancingan. Belakangan, menu nasi kropokhan ditambahkan, sebagai salah satu upaya memperkenalkan menu khas Demak yang (nyaris) terlupakan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia

Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Hikayat Rumah Makan Padang