Pilihan EditorSemasa Corona

Perjalanan Menemukan Diri selama Masa Karantina

Awal tahun 2020 menjadi amat berat bagi dunia, termasuk untuk para pelaku perjalanan komuter. Setiap hari, hidup di jalanan menuju tempat kerja atau kampus adalah makanan yang rutin mereka nikmati. Tiap harinya juga mereka tak sempat menikmati indahnya hidup, untuk melakukan hobi atau bercengkerama dengan kerabat tersayang, karena terjebak berjam-jam di jalanan. Tapi kini, semasa pandemi corona menyeruak ke muka bumi, cerita baru pun dimulai.

Sekadar memberi konteks, saya melakukan perjalanan komuter untuk bekerja sekaligus berkuliah, dari Jakarta menuju Depok. Ojek daring, Metrotrans, dan MRT menjadi teman saya yang paling setia setiap hari. Tiap hari, saya lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah daripada di dalam. Rasanya sedikit aneh ketika berdiam diri dalam rumah tak melakukan kegiatan apa pun.

Pada hari terakhir berpergian ke luar rumah, saya memiliki perasaan tidak enak. Meskipun di Jakarta hari itu telah ada lebih dari 10 orang yang terinfeksi virus corona, banyak orang yang masih melakukan kegiatan seperti biasa, entah untuk bekerja, berpergian ke mal, atau ke kampus.

Perintah #dirumahaja belum gencar saat itu. Saya pun memilih tetap pergi ke kampus dengan berjaga-jaga menggunakan masker. Saya pergi naik Metrotrans menuju Depok untuk menghadiri perkuliahan malam itu. Kembali dari kampus sudah larut malam. Saya memilih istirahat pada dua hari menjelang akhir pekan karena minggu itu kelelahan.

Warga mengenakan masker saat menunggu Mass Rapid Transit (MRT) di Stasiun MRT Senayan, Jakarta, Senin, 2 Maret 2020 via TEMPO/Hilman Fathurrahman W.

Berita di akhir pekan itu cukup mengejutkan saya; seluruh kegiatan akan diselenggarakan dari rumah untuk mencegah penyebaran virus corona. Kampus pun “pindah” ke rumah hingga akhir semester, begitu pula dengan kegiatan perkantoran. Benar saja, perasaan tidak enak saya selama tiga hari itu telah terjawab, bahwasanya itulah hari-hari terakhir saya berpergian bebas ke luar rumah. Hari pertama akhir pekan berjalan cukup lambat. Saya pun berpikir bagaimana nanti saya yang biasanya aktif ini harus berdiam diri dalam rumah. Akhirnya, setelah mengalami perdebatan dalam diri, saya memutuskan untuk melakukan perjalanan yang belum pernah saya lakukan sebelumnya: “perjalanan menemukan diri.”

Babak baru masa karantina

Menjalani minggu pertama masa karantina terasa merepotkan. Seluruh kegiatan yang biasa saya lakukan secara luring itu membutuhkan waktu beradaptasi untuk pindah kedalam daring. Minggu pertama terasa sangat membosankan. Kegiatan yang saya lakukan adalah mengerjakan tugas-tugas yang belum terselesaikan minggu sebelumnya. Saya yang terbiasa dengan keramaian itu harus mendekam dalam sepi. Kelelahan secara mental itu pun saya rasakan. Aktivitas yang umum dilakukan hanya tidur, makan, tidur, makan, begitu seterusnya. Mata saya pun terasa perih karena harus bertatapan dengan layar ponsel dan laptop seharian penuh, tanpa jeda.

Untungnya, pada minggu sebelumnya, saya pergi ke suatu acara bazar buku, sehingga saya bisa menghabiskan buku-buku yang belum terbaca sebelumnya. Buku-buku yang saya baca cukup mengisi ruang kehampaan dalam diri karena isinya membawa rasa penasaran untuk mendalami diri sendiri. Saya tersadar akan suatu hal: ternyata kesibukan saya selama ini membuat saya terlupa akan kebutuhan mengembangkan diri. Sejak hari itu, saya membulatkan tekad untuk mengisi hari-hari saya—selain untuk bekerja dan mengerjakan tugas—untuk membenahi diri. Saya pun membuat agenda sehari-hari agar tidak merasa jenuh.

Di pagi hari saya sempatkan untuk duduk berjemur dan mendengarkan lagu, siang harinya saya ikuti kursus-kursus yang disediakan secara gratis di internet, malam harinya baru saya mengerjakan tugas dan berkuliah. Saya juga menyelipkan kegiatan membaca buku, mencoba resep baru, dan menonton film-film yang belum sempat ditonton sebelumnya. Lalu, saya juga mengaplikasikan ilmu dari kursus untuk mengembangkan konten pribadi saya, entah lewat blog atau Insta Story.

Saya pun jadi menyadari bahwa hal-hal itu sebenarnya bisa saja saya lakukan sebelum masa karantina. Namun tidak. Penyebabnya bukan karena tidak punya waktu, melainkan kurangnya niat dari dalam diri. Di masa karantina ini, setiap hari saya melihat diri saya berubah, dari yang hanya tidur-tiduran menjadi sedikit produktif. Saya seolah menemukan diri saya, menjadi manusia yang lebih rajin belajar akan hal baru—dan cukup kreatif juga. Saya tidak menyadarinya sebelumnya.

Ternyata bukan saya sendiri yang mengalami hal ini. Teman-teman saya pun ikut merasakannya. Kami, yang biasanya bertemu secara langsung, sekarang menyempatkan diri bertemu dalam jaringan, hanya untuk meng-update kehidupan. Saya bisa juga mengobrol dengan teman lama saya yang sibuk bekerja. Tiap malam, kami saling bertukar cerita yang selama ini tidak bisa dilakukan karena keesokan hari harus kembali sibuk beraktivitas. Terasa lumayan hangat, meskipun sementara. Dari sini, saya juga mengenali diri teman-teman saya yang sebelumnya belum sempat tergali. Ternyata, adanya jarak membuat kita lebih menghargai arti dari pertemuan. Dan, nampaknya, banyak orang kini mulai membiasakan diri untuk bertemu dalam jaringan. Hal itu yang terlihat oleh saya memasuki minggu kedua masa karantina.

Masa karantina ini mengizinkan saya menikmati acara-acara yang tidak bisa saya ikuti karena kesibukan sebelumnya. Selama beberapa hari, saya ikuti acara streaming musik, salah satunya konser #dirumahaja oleh Narasi. Akhirnya, satu impian saya terwujud, yaitu menikmati konser musik dari rumah saja. Ternyata bukan hanya acara musik, namun ada pula seminar-seminar daring yang bisa diikuti. Kegiatan ini juga ikut mewarnai hari-hari saya di rumah, menjadi pilihan ketika saya sudah merasa bosan menamatkan serial drama, belajar, atau membaca buku.

Setelah merasakan jenuh, masih ada kegiatan lain yang bisa dilakukan, misalnya berolahraga ringan atau merehatkan pikiran dan tubuh dengan meditasi serta refleksi diri. Selain itu, agar pikiran tetap tenang dan rasa cemas dan takut akan virus corona bisa teralihkan, saya juga menyeimbangkan pikiran dengan melihat berita-berita positif atau tantangan-tantangan menghibur di media sosial.

Membuat pikiran tenang adalah kunci penting dalam menjalani masa karantina, ketika kian hari situasi di luar rumah semakin mencekam. Selain menjadi tenang, pikiran saya pun bisa menangkap sisi lain dari wabah ini, yang belum terpikirkan sebelum ini, yang membuat diri menerima realita yang terjadi saat ini sekaligus belajar menahan diri untuk tidak egois.

Jadi, ada hikmahnya, bukan?

Kurang lebihnya begitu perjalanan saya menemukan diri dan melihat hal-hal yang tak pernah terlihat sebelumnya. Sebelum ini mungkin saya hanya sibuk beraktivitas, namun kini saya bisa mengerjakan banyak hal yang tertunda, seperti membaca buku, mendengarkan musik, mengikuti seminar, datang ke konser, memasak, membuat blog, menonton film atau serial drama, dan—oh, hampir saja lupa!—jalan-jalan daring. Saya pernah mengikuti tur lewat Google Arts dan Culture. Lumayan, saya sudah sampai ke Gedung Putih meskipun hanya lewat layar laptop. Barangkali kegiatan-kegiatan saya bisa jadi referensi bagimu untuk melewatikan masa karantina.

Kalau kamu sendiri bagaimana?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Alya Putri tinggal di Selatan Jakarta. Di sela-sela kesibukannya sebagai mahasiswa pascasarjana, Alya menekuni hobi membaca buku dan jelajah "online."

Alya Putri tinggal di Selatan Jakarta. Di sela-sela kesibukannya sebagai mahasiswa pascasarjana, Alya menekuni hobi membaca buku dan jelajah "online."

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *