Tiga hari ini saya demam naik turun. Begitu pun batuk. Tenggorokan terus-menerus sakit. Dan saya kian dicekam rasa paranoia atas COVID-19 yang jumlah penderitanya di dunia telah melewati angkat 1.000.000 orang, walau, menurut dosen saya dalam tulisannya di Remotivi, memang ini saatnya kita untuk paranoia.

Setelah berkonsultasi via daring dengan dokter lewat sebuah aplikasi, saya putuskan Jumat malam untuk keluar dari rumah menuju klinik terdekat demi bertatap muka secara langsung dengan dokter langganan. Untuk kali ini saya terpaksa tidak #dirumahaja demi kesehatan yang lebih baik.

Selepas magrib saya lapisi diri dengan hoodie abu-abu. Saya tutupi sebagian wajah dengan masker berbahan kain yang dibeli ibu saya dari kenalannya. Lalu saya pesan ojol menuju klinik yang jaraknya tak sampai 1 km dari rumah. Beruntung, pengemudi ojol saya malam itu adalah tetangga depan rumah. Jadi saya tak harus menunggu lama untuk diangkut ke klinik sebagai rujukan Faskes 1 BPJS.

Menumpang ojol menuju apotek/Dewi Rachmanita Syiam

Saya menjaga jarak dengan sang pemudi berjaket hijau dengan helm retro itu. Dan sepanjang jalan saya diam sembari mengamati keadaan dalam waktu singkat tak sampai 10 menit.

Tidak ada perbedaan berarti kondisi Cinere antara sebelum maupun sesudah saya karantina-diri selama sekitar dua pekan. Lalu lintas masih ramai. Berbagai toko dan restoran masih buka seperti biasa. Banyak orang tak jarang berkerumun. Biasa saja, kehidupan yang normal. Belum menjadi kehidupan normal baru yang digadang-gadang akan terjadi setelah merebaknya pandemi COVID-19 ini.

Jas hujan motif polkadot

Dingin AC menyeruak di ruang tunggu klinik yang bergabung bersama apotek dengan nama Cempaka. Saya yang tadinya sudah tak banyak batuk mendadak jadi sasaran sorot tajam orang sekitar akibat batuk yang malah jadi tak berkesudahan. Semakin tidak nyaman dipelotototi orang di ruang tunggu, saya bergerak dan duduk di luar klinik. Sambil menatap mobil yang lalu-lalang di jalan, saya harap-harap cemas semoga tak berstatus Orang Dalam Pengawasan (ODP) apalagi positif COVID-19 setelah diperiksa dokter nanti.

Beberapa sepeda motor terparkir di depan Apotek Cempaka/Dewi Rachmanita Syiam

“Dewi Rachmanita Syiam,” dokter memanggil saya yang kini sudah duduk depan pintu ruangan karena tahu tak lama lagi akan diperiksa.

“Kamu lagi, Wi… Wi. Kenapa?” sambung keheranan dokter sesaat setelah melihat saya masuk ruangan.

Malam itu dokter yang enam bulan ke belakang jadi makin dekat dengan saya itu tampak tak biasa. Ia kenakan jas hujan biru bening bermotif polkadot kuning. Jas hujan itu dipakai rapat-rapat, termasuk di bagian wajah. Sang dokter yang merupakan perempuan paruh baya itu tak lupa kenakan masker dan sarung tangan medis saat menyambut saya: seorang pasien.

Saya ditanya ini itu lalu disuruh berbaring di ranjang klinik. Beberapa bagian tubuh saya diperiksa. Dari telentang itu saya menatap sang dokter yang seperti cukup tak nyaman dengan jas hujan motif polkadot yang dikenakannya—atau dengan segala tetek bengek peralatan pakaian medis yang kini harus dipakainya.

Etalase obat Apotek Cempaka/Dewi Rachmanita Syiam

Melihatnya pakai jas hujan itu saja saya sudah engap. Bagaimana dengan dokter lain yang harus pakai APD seperti astronaut?

Saya beranjak dari ranjang klinik, mengenakan masker kembali, lalu duduk berhadapan dengan sang dokter dengan tatapan nanar. Jantung berdebar. Apakah saya akan jadi ODP yang harus isolasi mandiri, lalu mesti lakukan tes COVID-19?

Alergi dingin. Radang tenggorokan.

Saya pamit ke dokter sembari bawa berkas medis, tebus obat, lekas pulang dengan menumpang ojol, kemudian sekali lagi memandangi kehidupan luar rumah untuk kurang dari 10 menit; klakson mobil yang bersahutan dan lalu-lalang orang menyeberang jalan tanpa rambu zebra cross.

Sudahlah, memang kita yang punya keistimewaan—atau kata banyak orang sekarang privileged—bisa kerja atau berkegiatan di rumah, ya [semestinya] tetap di rumah saja bila tak ada kebutuhan penting. Patuhi imbauan social distancing yang kini jadi physical itu. Tak usah ndableg. Tunda liburan. Lihat tenaga medis yang jadi garda kesehatan kita. Mau berapa banyak lagi yang gugur karena virus ini atas kesembronoan kita yang tak patuh hal sesederhana diam di rumah?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar