ItineraryNusantarasaPilihan Editor

Nasi Jangkrik, Kuliner Warisan Sunan Kudus

Sebagaimana Demak, Kudus sebenarnya boleh dibilang  juga merupakan Kota Wali—meski secara resmi branding ini milik Kabupaten Demak. Karena bila Demak punya jejak-jejak historis penyebaran Islam di tanah Jawa berupa Masjid Agung Demak dan Makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, maka Kudus juga punya Masjid Menara peninggalan Sunan Kudus (yang menyatu di kompleks makam Sunan Kudus) dan makam Sunan Muria yang berada di puncak Gunung Muria. 

Jejak historis penyebaran Islam di Kudus bahkan juga tercermin dalam budaya kuliner masyarakat Kudus. Pelbagai kuliner khas Kudus hingga sekarang masih menggunakan bahan dari daging kerbau sebagai wujud toleransi terhadap umat Hindu. 

Di awal-awal dakwah dan syiar Islam, Sunan Kudus memang melarang umat Islam menyembelih sapi sebagai satwa sakral dalam doktrin Hindu—yang ketika itu masih menjadi agama mayoritas masyarakat Kudus. Tujuannya tak lain agar tidak melukai perasaan umat Hindu. Sebagai gantinya, mereka menyembelih kerbau untuk pelbagai menu masakan.

Hingga saat ini, jejak budaya kuliner itu masih ada dan mudah dijumpai. Pelbagai kuliner khas Kudus yang menggunakan daging kerbau adalah nasi pindang, soto, dan sate. Satu lagi yang bisa disebut, yaitu nasi jangkrik—kuliner khas Kudus yang mulai populer.

Menu dari Tradisi Buka Luwur

Pusat kuliner Menara Kudus Waroeng Kita yang menyediakan menu nasi jangkrik. [Badiatul Muchlisin Asti]
Pusat kuliner Menara Kudus Waroeng Kita yang menyediakan menu nasi jangkrik/Badiatul Muchlisin Asti

Nasi jangkrik sebagai kuliner khas Kudus memang belum terlalu populer. Tidak sepopuler kuliner khas Kudus lainnya seperti soto Kudus, sate kerbau, lentog Tanjung, dan opor Sunggingan. Namun bagi masyarakat Kudus, kuliner nasi jangkrik sebenarnya tidak terlalu asing di telinga.

Menu nasi jangkrik sudah lama eksis, bahkan diyakini sebagai menu favorit Sunan Kudus. Juga sajian kegemaran Kyai Telingsing—tokoh penyiar Islam di Kudus yang semasa dengan Sunan Kudus.

Masyarakat Kudus mengenal nasi jangkrik karena menu ini dijadikan sebagai hidangan yang dibagikan secara gratis kepada masyarakat saat puncak tradisi buka luwur atau pelepasan kain selubung makam Sunan Kudus yang diadakan pada setiap tanggal 10 Muharram (Asyura).

Luwur sendiri adalah kain kelambu atau selubung penutup makam. Dalam tradisi buka luwur, luwur makam Sunan Kudus  yang lama diganti dengan yang baru. Dan pembagian nasi jangkrik menjadi salah satu bagian dalam tradisi buka luwur yang masih terus dilestarikan hingga kini. 

Tujuan pembagian nasi jangkrik sendiri adalah dalam rangka menumbuhkan rasa saling berbagi terhadap sesama, terutama kepada yang membutuhkan. Bahan-bahan untuk mengolah nasi jangkrik berasal dari sumbangan masyarakat, baik dalam bentuk kerbau, kambing, beras, dan lainnya.

Pengolahan nasi jangkrik juga melibatkan sukarelawan, atau biasa disebut dengan istilah perewang, yang jumlahnya mencapai lebih dari 1000 perewang. Sehingga boleh dibilang, tradisi buka luwur dengan pembagian nasi jangkrik merupakan aksi sosial dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. 

Tak jelas sejak kapan pembagian nasi jangkrik itu menjadi salah satu bagian dalam tradisi buka luwur makam Sunan Kudus. Namun, banyak yang menginformasikan, pembagian nasi jangkrik sudah berlangsung sangat lama—yang tetap dilestarikan hingga kini.

Biasanya, saat puncak tradisi buka luwur tersebut, masyarakat antri di kompleks Menara Kudus untuk mendapatkan nasi jangkrik. Ribuan bungkus nasi jangkrik dibagikan yang jumlahnya bisa mencapai  30-an ribu bungkus—sebelum pandemi COVID-19.

Berburu Nasi Jangkrik

Nasi jangkrik, konon merupakan kuliner kegemaran Sunan Kudus. [Badiatul Muchlisin Asti]
Nasi jangkrik, konon merupakan kuliner kegemaran Sunan Kudus/Badiatul Muchlisin Asti

Dulu, menu nasi jangkrik hanya bisa dijumpai saat tradisi buka luwur makam Sunan Kudus. Namun, saat ini, menu itu dapat dijumpai setiap hari. Meski belum banyak, ada angkringan dan kedai di Kudus yang menyediakan menu nasi jangkrik. Salah satunya adalah sebuah kedai di Pusat Kuliner Menara Kudus, Waroeng Kita, yang berada di pojok perempatan Sucen atau terletak kurang lebih 450 meter sebelah utara Menara Kudus.

Pusat Kuliner Waroeng Kita konsepnya serupa food court yang di dalamnya ada sejumlah gerai yang menyajikan pelbagai kuliner Nusantara—tidak hanya kuliner lokal Kudus. Ada soto Lamongan, nasi kebuli, sate Padang,  rendang, rawon, tengkleng, sate kambing, sate ayam, sate taichan, nasi gandul, dan banyak lagi. Adapun untuk kuliner khas Kudus, selain pecel pakis, ada nasi jangkrik.

Soal nasi jangkrik, jangan mengira bahwa di dalamnya ada serangga jangkriknya. Nasi jangkrik hanya istilah saja untuk menyebut menu warisan Sunan kudus itu. Seperti nasi kucing khas angkringan dan HIK ala Jogjakarta dan Solo—yang di dalamnya tidak mengandung daging kucing.

Nasi jangkrik  terdiri dari nasi dengan lauk olahan daging kerbau yang dipotong dadu. Dalam seporsi nasi jangkrik terdiri dari nasi putih, olahan  daging kerbau, tahu, ada juga yang ditambah krecek, dengan kuah bersantan nyemek—sekedar basah, dengan cita rasa gurih. Cita rasa pedasnya berasal dari sambal yang biasa dijadikan pelengkap dalam nasi jangkrik.

Dalam penyajian nasi jangkrik, mempertahankan kearifan ekologis dengan menggunakan bungkus atau lemek daun jati—seperti dalam pembagian nasi jangkrik pada tradisi buka luwur makam Sunan Kudus. Selain memiliki makna kesederhanaan, juga daun jati menambah khas aroma nasi hingga secara psikologis dapat mendongkrak nafsu makan karena masakan terasa lebih sedap.

Asal-usul Nama Nasi Jangkrik

Nama nasi jangkrik tergolong unik dan nyentrik, sehingga memantik tanya tentang asal-usul penamaannya. Namun, tak ada data yang secara valid dapat dirujuk terkait asal-usul di balik kata “jangkrik” yang menjadi nama bagi menu warisan Sunan Kudus ini.

Dari cerita tutur yang populer, nama jangkrik sudah digunakan oleh Sunan Kudus semasa hidupnya. Dikisahkan, suatu hari, Sunan Kudus dan Kyai Telingsing berkumpul di bangunan tajug Menara Kudus bersama dengan para wali lainnya. Sementara istri Sunan Kudus menyiapkan sebuah masakan—yang sekarang populer dengan nama nasi jangkrik—sebagai sajian untuk perkumpulan tersebut.

Ternyata, kelezatan hidangan tersebut dirasakan oleh para wali yang hadir pada perkumpulan tersebut. Sehingga di sela menyantap hidangan itu, ada terdengar suara celetukan—sebuah sumber menyebutkan, konon celetukan itu datang dari Kyai Telingsing. “Jangkrik, masakan apa iki, kok enake pol,” demikian kira-kira bunyi celetukan itu, yang artinya “Jangkrik, masakan apa ini, kok enak sekali.” 

Bagi masyarakat Jawa, kata “jangkrik” biasa dijadikan untuk mengekspresikan sesuatu—semacam pisuhan (makian) tapi lebih halus dan cenderung positif—sebagai penghangat suasana. Celetukan Kyai Telingsing sendiri memiliki arti pujian akan kelezatan masakan hasil olahan istri Sunan Kudus yang sedang disantapnya. Dari situlah, konon nama nasi jangkrik berasal.

Versi lain menyebutkan, penamaan nasi jangkrik berasal dari bawang goreng yang ditaburkan di atas nasi jangkrik. Sekilas bawang goreng itu bentuknya mirip bulu jangkrik—berwarna  mengkilap kecoklatan, sehingga dari situlah kemudian konon masakan itu dinamakan nasi jangkrik.

Versi mana yang lebih valid, tak ada yang bisa memastikan. Dosen Sejarah Universitas Negeri Semarang Saiful Amin sebagaimana dikutip oleh Muria News pernah menyatakan, bahwa nama atau istilah nasi jangkrik ini sudah digunakan oleh Sunan Kudus. 

Secara harfiah tidak bisa diartikan. Hingga pada akhirnya, permasalahan akhirnya bukan terletak pada nama nasi jangkrik. Namun lebih pada pemaknaan akan semangat berbagi dan berkah dari Sunan Kudus yang menjadi magnet bagi masyarakat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia

Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Menyelisik Sejarah Jenang Kudus di Museum Jenang