Menjadi seorang arkeolog bukan hanya bermakna sebuah profesi, ada sebuah tanggung jawab besar yang dipukul untuk mengungkap tinggalan-tinggalan nenek moyang untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Ketertarikan pada suatu subjek akan membuat seseorang menjadi suka dan kemungkinan untuk menjadi ahli sangat besar, seperti ketertarikan Ali Akbar dalam bidang arkeologi.
Ketertarikan Ali Akbar pada arkeologi muncul ketika dia sedang mengenyam pendidikan sekolah menengah akhir. Saat itu ia dan teman-teman sekolahnya mengunjungi Museum Nasional yang kebetulan sedang menggelar pameran bertema manusia purba. Ali Akbar muda membaca perihal manusia purba pada katalog yang disediakan, kemudian ia mendapati satu nama yakni Prof. Dr. Raden Pandji Soejono, seorang pakar arkeologi Indonesia yang juga dikenal sebagai Bapak Prasejarah Indonesia.
“Karena banyak yang tertarik mengenai manusia purba Indonesia, saya tertarik juga akhirnya. Mulai saat itu ‘wah, ini aja nih’, kalau lulus milih jurusan arkeologi,” terangnya. Ali Akbar masuk ke Universitas Indonesia pada 1994 dan pada saat itu juga karirnya dalam bidang arkeologi dimulai. Selama lima tahun menyelesaikan pendidikan S1, Ali Akbar kemudian melanjutkan pendidikan S2-nya di universitas yang sama pada tahun 2000 hingga 2002. Setahun kemudian, dirinya sudah aktif sebagai pengajar di Universitas Indonesia. Jalan Ali Akbar dalam bidang arkeologi pun semakin mulu. Pada tahun 2004 mulai mengambil kuliah S3 Arkeologi di UI dan lulus pada 2008. Ia tercatat sebagai doktor arkeologi termuda di Indonesia.
Arkeologi dari Balik Kemajuan Teknologi
Sebagai pengajar dan juga peneliti yang sudah malang melintang di dunia arkeologi, saya bertanya kepada beliau mengenai apa saja perkembangan ilmu arkeologi di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir. “Ada kecenderungan meningkat, bahkan sangat signifikan terutama di saat pandemi.”
Akses literatur sangat mudah dasawarsa ini. Berkembang pesatnya teknologi seakan membukakan jalan yang lebar bagi ilmu pengetahuan untuk tersebar seutuhnya tanpa sekat. Dibandingkan dengan masa beliau saat berkuliah, literatur sulit didapatkan secara utuh, paling-paling hanya fotokopiannya saja yang tersebar di kalangan mahasiswa. “Saya masuk kuliah tahun 94, buku-bukunya banyak tahun 70-an, tapi bagi kita baru itu,” kelakarnya. Menurutnya, karena akses literatur yang susah, ilmu-ilmu pada saat itu ketinggalan 10-20 tahun. Akses internet yang cepat sudah memungkinkan banyak mahasiswa untuk mengakses literatur keluaran terbaru.
Pun, begitu pula dengan metodologi dan cara kerja arkeologi yang berkembang pesat, terutama dalam penggunaan teknologi terkini. Hanya saja, alat-alat tersebut ada di instansi lain, tidak seperti di luar negeri yang alat-alat tersebut tersedia di instansi arkeologi sendiri. Sehingga untuk mengakses alat-alat tersebut perlu kerja sama dan izin terkait.
“Tahun 2005, waktu itu saya ikut pelatihan bio-arkeologi di Belanda. Fosil-fosil kita masukkan ke lab, masukkan ke CT scan. Belajar tuh di sana tentang penyakitnya apa saja, penyebab kematiannya apa, dia dulu makan apa saja. Sampai di Indonesia, ilmunya nggak terlalu dipakai karena alatnya nggak ada,” terangnya.
“Nah, sekarang dengan adanya kerja sama antar instansi, kita tinggal berkirim surat ‘saya mau masukin sampel ini bisa nggak’, mereka biasanya akan dengan senang hati asal ada kerja samanya.”
Ali Akbar kemudian menceritakan pengalamannya berkeliling laboratorium arkeologi di luar negeri. Dalam hitungan 15 tahun ke belakang, laboratorium arkeologi mereka pada saat itu sudah canggih, bahkan untuk ukuran Malaysia, negara yang paling sering berkonflik dengan kita. Peralatan yang masih minim membatasi para peneliti dari negara kita untuk melakukan riset-riset modern.
Mahasiswa peminat arkeologi juga mengalami peningkatan yang signifikan. Dari tahun ke tahun, jumlah mahasiswa arkeologi semakin banyak. Pada tahun masuknya Ali Akbar, jumlah mahasiswa sekitar 20. Baru-baru ini, mahasiswa arkeologi Universitas Indonesia mencapai 50-70 mahasiswa. Meskipun cenderung naik signifikan dan ditambah dari universitas-universitas lainnya, sumber daya manusia untuk bidang arkeologi Indonesia masih jauh dari kata cukup. Dengan cakupan negara yang begitu besar, seringkali beberapa dinas masih kekurangan tenaga arkeolog, yang berimbas pada tingkat kepedulian pada cagar budaya yang rendah.
“Dengan kata lain, pengawasan dan perlindungan (cagar budaya) masih kurang akhirnya.”
Masalah lainnya yang meliputi arkeologi di Indonesia adalah pengenalan ilmu arkeologi yang belum segencar ilmu-ilmu lain. “Kalau zaman saya dulu, ketika menyebutkan arkeologi orang akan bertanya ‘apa ini?’, tapi kalau disebut purbakala, orang langsung ‘oh, purbakala!’.”
“Nah, sekarang orang sudah mulai familiar dengan istilah arkeologi, tapi cakupannya masih sempit, padahal arkeologi itu luas,” katanya.
Ali Akbar kemudian menjelaskan arti sempit yang ia maksud adalah arkeologi masih diasosiasikan dengan “gali-gali” atau bahasa kerennya, ekskavasi. Padahal dengan definisi kebudayaan materi, definisi arkeologi tidak hanya pada kebudayaan materi pada masa silam, namun bisa disandingkan dengan kebudayaan materi pada masa sekarang.
Selanjutnya, masyarakat berpikir bahwa tugas arkeolog itu hanya mencari dan menentukan usia suatu benda. “Maka setelah menentukan usia suatu benda, maka tugas arkeolog hanya sampai di situ doang, padahal arkeolog juga bertugas untuk mengelola dan melestarikannya. Maka dari itu, para mahasiswa arkeologi juga dibekali ilmu-ilmu manajerial seperti Manajemen Sumber Daya Arkeologi, Museologi, Arkeologi Publik, dan semacamnya.
Pada suatu cagar budaya untuk pemanfaatan, arkeolog tidak mendapatkan peran yang signifikan. “Harusnya arkeolog yang leading suatu pemanfaatan cagar budaya, karena dia yang tahu karakteristik dari yang sedang diurusnya.” Kemudian Ali Akbar mencontohkan bagaimana seharusnya arkeolog diperlakukan seperti zaman Drs. R. Soekmono yang memimpin pemugaran Borobudur hingga pemanfaatannya.
Kesiapan Arkeolog Menghadapi Tantangan Zaman
Bagaimana tanggapan Ali Akbar mengenai kejadian-kejadian viral yang menyangkut cagar budaya?
“Dalam keilmuan kita sering menyebut sekarang sebagai post-modern, di post-modern itu kemudian ada lagi yang disebut post-truth, intinya semua orang boleh bersuara. Dalam bidang keilmuan kan, perbedaan pendapat itu hal yang biasa ya. Dan sekarang masyarakat pun sekarang berhak bersuara,” jelasnya.
Dalam konteks tinggalan arkeologi, ketika suatu benda dimunculkan oleh arkeolog dari tempatnya semula, tentunya benda tersebut akan mendapatkan perhatian masyarakat luas sehingga akan banyak interpretasi yang bermunculan. Arkeolog harus mempersiapkan diri untuk bagaimana agar pendapat ilmiah lebih didengar dan diikuti, salah satunya adalah dengan menguasai ilmu komunikasi.
“Ini harus disadari, yang akan didengar yang menguasai media atau yang menguasai kemampuan berkomunikasi. Kalau arkeolognya mau tetap terlibat dalam kekinian maka dia harus menguasai komunikasi juga. Misalnya; menguasai media sosial, mempunyai jejaring yang baik dengan media, mempunyai kemampuan sosialisasi dengan masyarakat.”
Saya pernah mendengar petuah dosen yang lain ketika salah satu mata kuliah. Dosen tersebut berujar apabila mahasiswa arkeologi tidak menyebarkan ideologi “arkeologi” ini, kepedulian akan cagar budaya akan tetap jalan di tempat.
Ideologi arkeologi yang dimaksud adalah bagaimana pandangan kasih sayang tidak hanya pada makhluk hidup, tetapi juga pada benda mati. Saya menyadarinya selepas perkuliahan selesai, ada banyak perbedaan yang bisa dicarikan jalan keluar dengan pandangan kasih sayang. Ketika melihat suatu tinggalan budaya, saya tidak melihat latar belakangnya, tetapi melihat suatu nilai yang terkandung di dalamnya. Ali Akbar juga menyarankan para arkeolog/lulusan arkeologi untuk bergerak aktif menyampaikan pengetahuannya kepada khalayak luas, tidak cukup hanya dengan seminar dan publikasi ilmiah.
Ali Akbar termasuk salah satu dosen yang aktif dalam menggunakan sosial media. Akun YouTube, Instagram, dan Facebook miliknya, aktif memberikan informasi-informasi yang berkaitan dengan arkeologi. Dia juga acapkali tampil dalam beberapa seminar daring, dalam upaya penyebaran informasi arkeologi.
“Banyak dari mahasiswa yang baru lulus itu nggak pede dengan yang sudah dipelajarinya.”
Kendala yang dihadapi oleh lulusan baru untuk menyebarkan pengetahuan adalah mereka merasa tidak cakap untuk menyampaikan ilmu yang didapat, juga merasa tidak berhak karena tidak berada di lembaga penelitian/pendidikan. Padahal, menurutnya, ilmu-ilmu yang disampaikan ketika perkuliahan cukup untuk membantu penyebaran informasi arkeologi yang benar.
Apakah kita menunggu menjadi ahli untuk menyampaikan sesuatu? Bukankah akan memakan waktu yang lama untuk sampai pada taraf itu? Jangan-jangan, sebenarnya kita takut untuk menyampaikan kebenaran karena yang salah sudah kadung digandrungi oleh banyak orang? Singkirkan ragumu, wahai anak muda, ingatlah bahwa tujuan ilmu diajarkan itu untuk disebarluaskan, bukan untuk disimpan di dalam kepala hingga membeku tanpa pernah bermanfaat!
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.