Pilihan EditorSemasa Corona

Merenungi COVID-19 dari Balik Jeruji*

“Dilarang berkumpul.” Demikian imbauan pemerintah kepada masyarakat tentang bagaimana harus waspada menghadapi pandemi yang sedang melanda dunia. Akan tetapi, di dalam penjara lapas kota kecil ini, kami hidup berkumpul.

Saya mencoba merenungkan kembali perjalanan yang saya lakukan di republik tercinta ini, melihat bagaimana hutan-hutan dihabisi untuk dijadikan ladang sawit, perburuan-perburuan liar, kayu-kayu gelondongan yang dihanyutkan dari hulu Sungai Mahakam, kapal-kapal penumpang membuang sampahnya di laut, dan bagaimana bom-bom ikan meledak di atas perairan.

Tahun 2013 saya pernah diskusi dengan seorang teman di tepian Sungai Kayan, Bulungan, Kalimantan Utara.

Kami bercerita bagaimana cara menyelamatkan bumi dari keberingasan manusia yang tanpa ampun menghancurkan alam sekitarnya; soal kampanye demi kampanye yang terus dilakukan oleh aktivis-aktivis pencinta lingkungan, akan tetapi nihil hasil sebab kerusakan terus bertambah; sampai pada teori konspirasi, yakni bagaimana 3/4 populasi manusia di muka bumi ini harus dimusnahkan untuk memurnikan kembali alam, entah itu menggunakan bom kimia pun virus yang menjangkiti hanya manusia saja, tidak makhluk lain.

Kami pun sibuk mengkhayal bagaimana ketika manusia ini mati menjadi pupuk organik yang paling bagus bagi tanah dan memberi asupan nutrisi yang bagus bagi tanaman-tanaman yang hidup di atasnya.

Manusia menjadi virus bagi alam; mungkin hanya sangat sedikit yang benar-benar mencintainya dan hidup harmonis bersama. Di luar teori konspirasi, COVID-19 memberikan dampak positif bagi alam. Lapisan ozon semakin membaik. Bahkan dari Jakarta kita bisa melihat bagaimana cantiknya Gunung Salak dari kejauhan, awan-awan menari dengan indah, dan, di kota kecil ini, saya merasakan udara yang segar dan sinar matahari pukul 10 pagi tidak menyengat ketika saya maraton mengelilingi lapangan lapas.

Bagi saya, seorang pejalan dan juga narapidana, COVID-19 adalah doa rintihan alam yang teraniaya oleh manusia kepada Tuhan. Alam, yang sama dengan kita, makhluk ciptaan-Nya, selama ini sangat memberi manfaat atas keberlangsungan hidup manusia di muka bumi, akan tetapi apakah manusia memberi manfaat kepada alam?

Lampu-lampu di Italia di malam hari via pexels.com/Pixabay

Kampanye-kampanye pemerintah kepada masyarakat untuk menjaga alam hanya menjadi omong kosong belaka; pemerintah juga memberikan izin eksploitasi alam kepada para penghancur. Mereka berkata jagalah alam untuk anak cucu kita nantinya. Tapi, jika kondisi penghancuran terus jalan, bagaimana kehidupan mereka nanti?

Saya sangat bersyukur melakukan perjalanan di republik ini. Sempat saya berpikir bahwa generasi saya adalah generasi terakhir yang bisa menikmati keindahan-keindahan tersebut. Tidak tahu bagaimana generasi sesudah saya nanti. Apakah mereka hidup bersama bencana-bencana atau virus-virus yang lebih ganas dari COVID-19 ini?

“COVID-19 sedang berburu manusia,” begitu anggapan saya pada saat ini. Sama halnya bagaimana sebelumnya manusia berburu hewan-hewan yang bukan untuk dimakan, akan tetapi untuk melepaskan hasrat kepuasan berburunya. Manusia memiliki strategi untuk berburu, COVID-19 tidak mempunyai strategi untuk berburu manusia. Hanya mereka yang lengah bisa diserangnya. Kembali kepada disiplin manusia itu sendiri untuk memutus rantai penyebaran virus ini.

Saya masih bersyukur hidup di dalam penjara dalam situasi ini. Kami masih bisa melaksanakan salat Jumat dan salat fardu berjemaah walaupun menggunakan masker dan hand-sanitizer. Kami memang masih bisa berkumpul bercengkerama layaknya kehidupan normal, akan tetapi hati kami masih dilanda cemas terhadap keadaan keluarga di luar sana.

Mudah-mudahan pandemi segera berakhir dan kita semua bisa kembali melakukan aktivitas normal lagi tanpa melakukan perusakan alam—atau kita semua mesti siap-siap diburu sekali lagi.


*) Nama penulis dan tokoh-tokoh dalam cerita disamarkan demi melindungi privasi penulis terkait statusnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

“Kurangnya kebebasan bergerak tidak membatasi kebebasan berpikir.”—Slavoj Žižek

“Kurangnya kebebasan bergerak tidak membatasi kebebasan berpikir.”—Slavoj Žižek

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *