Dalam pustaka kuliner Indonesia, nama Salatiga nyaris luput disebut. Meski sebenarnya, Salatiga sebagai destinasi kuliner cukup menarik untuk diperbincangkan. Apalagi pada 2021, Salatiga telah diusulkan sebagai City of Gastronomy (Kota Gastronomi) kepada UNESCO Creative Cities Network (UCCN).
Pengusulan City of Gastronomy ini berkaitan dengan upaya membangun Salatiga sebagai kota kreatif kuliner dengan historisnya. Dan hal itu didukung penuh oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahudin Uno saat menghadiri Salatiga International Gastronomy Conference pada Juni 2021.
Senyatanya, kota yang pernah mendapat julukan sebagai De Schoonste Stad van Midden-Java alias kota terindah di Jawa Tengah ini memiliki sejumlah kuliner khas yang memiliki jejak historis yang panjang. Sehingga dapat dijadikan sebagai bahan memperkuat narasi bagi gastronomi Salatiga.
Sebagai wujud komitmen merealisasikan Salatiga sebagai Kota Gastronomi, sejak 2021 Pemerintah Kota (Pemkot) Salatiga juga telah menetapkan 10 destinasi kuliner terbaik yang memiliki jejak sejarah panjang—yang disebut sebagai Kuliner Bersejarah (Culinary Heritage) Salatiga.
Kesepuluh kuliner itu adalah: Bakso Babat Taman Sari, Ronde Sekoteng Jago, Kopi Babah Kacamata, Roti Tegal, Enting-Enting Gepuk Cap Klenteng & 2 Hoolo, Getuk Kethek, Soto Esto, Soto Kesambi Pak Wianto (Tan Ping Tjwan), Tumpang Koyor Mbah Rakinem, dan Tumpang Koyor Bu Kori.
Pertengahan Juni 2022 lalu, saya berkesempatan melakukan lawatan ke Salatiga atas undangan dari sebuah lembaga pendidikan untuk menjadi narasumber sebuah acara literasi. Kesempatan itu saya manfaatkan untuk berburu kuliner bersejarah khas Salatiga.
Saya datang lebih awal dari jadwal saya mengisi acara. Waktu tempuh dari rumah saya di Grobogan ke Salatiga sekira dua setengah jam perjalanan. Jam tujuh persis saya berangkat, harapannya sekira jam sembilan lewat tiga puluh menit nanti saya sudah sampai di Salatiga dan bisa menikmati salah satu atau beberapa kuliner bersejarah tersebut.
Tumpang Koyor Mbah Rakinem
Destinasi kuliner bersejarah Salatiga pertama yang saya tuju adalah Tumpang Koyor Mbah Rakinem. Sengaja saya tidak sarapan dari rumah, berharap dapat sarapan Tumpang Koyor Mbah Rakinem. Jam sembilan lebih, mobil yang saya tumpangi berjalan perlahan menuju halaman sebuah rumah yang di depannya terpampang tulisan “Warung Makan Sambel Tumpang Koyor Mbah Rakinem Sejak 1950”.
Warung nampak sepi saat saya datang. Saya disambut oleh seorang pria, yang kemudian saya tahu, dia adalah suami dari Jumiyati—generasi kedua penerus Tumpang Koyor Mbah Rakinem. Saya dipersilahkan duduk dan tak berapa lama kemudian, Mbak Jumiyati—begitu kemudian saya menyapanya—keluar dari dalam rumah.
Warung makan Tumpang Koyor Mbah Rakinem memang berkonsep rumahan. Bentuknya tak seperti lazimnya sebuah warung makan. Tempat jualannya menyatu dengan dapur yang masih bergaya tempo dulu. Memasaknya masih memakai pawon atau tungku tradisional dengan kayu bakar.
Satu-satunya yang menunjukkan bahwa rumah itu juga sekaligus merupakan warung makan adalah adanya meja dan kursi panjang di depan rumah dan papan nama bertuliskan Tumpang Koyor Mbah Rakinem. Di antara papan nama itu adalah pemberian dari Pemkot Salatiga, karena Tumpang Koyor Mbah Rakinem memang termasuk salah satu dari 10 Kuliner Bersejarah (Culinary Heritage) yang ditetapkan oleh Pemkot Salatiga.
Terbuat dari Tempe Busuk
Setelah saya memesan tumpang koyor, Mbak Jumiyati langsung sigap meraciknya untuk saya. Tumpang koyor merupakan masakan yang terdiri dari sambal tumpang dengan tambahan koyor atau otot sapi. Sambal tumpang sendiri terbuat dari tempe semangit atau orang Jawa lazim menyebutnya dengan sebutan tempe bosok (busuk).
Meski namanya tempe busuk, namun sebenarnya tempe itu tidak benar-benar busuk. Tempe busuk hanya istilah untuk menyebut tempe yang diolah dengan proses fermentasi yang relatif lebih lama (over-fermented).
Tempe busuk seperti itu, menurut sejumlah penelitian—seperti yang dilansir alodokter.com, justru kandungan antioksidannya lebih tinggi dibandingkan dengan tempe yang masih segar. Antioksidan ini sangat berguna, antara lain untuk meningkatkan daya tahan tubuh, melancarkan metabolisme, menambah stamina, memperbaiki nafsu makan, mencegah pembentukan sel kanker, dan banyak lagi manfaat lain bagi kesehatan.
Dalam seporsi Tumpang Koyor terdapat dari nasi yang diberi daun pepaya dan cacahan pepaya muda rebus, tahu, koyor, lalu diguyur kuah sambal tumpang.
Sambal tumpang sendiri tidak terlalu asing bagi saya, karena di Grobogan tempat tinggal saya juga tak sedikit dijumpai penjual sambal tumpang—meski tastenya berbeda dengan sambal tumpang ala Salatiga. Apalagi ada tambahan koyor yang menjadikan kuliner bersejarah ini semakin sedap dan cita rasanya sangat khas.
Bagi yang tidak menyukai koyor, ada pilihan tulang muda dan cingur alias bagian moncong sapi. Rasanya empuk dan kenyal. Saya sendiri memilih paket komplit, yaitu tumpang koyor plus tulang muda dan cingur. Saat menyantapnya ditemani kerupuk karak—atau di daerah saya disebut dengan kerupuk puli atau kerupuk gendar—yang sangat gurih dan kriuk, yang menjadikan cita rasa nasi tumpang koyornya terasa semakin mantap.
Dirintis Mbah Rakinem Sejak 1950
Warung Makan Tumpang Koyor Mbah Rakinem buka hanya empat jam saja. Mulai jam 06.00 hingga 10.00 WIB. Sehingga pagi-pagi warung ini sudah ramai dikunjungi pelanggannya, baik yang berasal dari Kota Salatiga maupun yang datang dari luar kota.
Saat saya datang, warung nampak sepi. Namun di tengah-tengah saya menikmati seporsi nasi tumpang koyor, pelanggan mulai berdatangan lagi—meski koyornya sudah habis dan yang tersisa hanya tulang muda dan cingur.
Ketika saya tanyakan kenapa hanya berjualan selama empat jam saja? Mbak Jumiyati menjawab, bahwa ia berjualan hanya empat jam alias hanya sampai jam 10.00 karena setelahnya ia harus segera kulakan bahan untuk membuat Tumpang Koyor untuk dijual keesokan harinya.
Sorenya, tumpang koyor harus sudah diolah dan dibuat, lalu diinapkan semalam. Paginya, tumpang koyor dihangatkan kembali. Dengan cara seperti itu, menurut Mbak Jumiyati, tumpang koyor menjadi lebih lezat dan sedap. Apalagi memasaknya masih menggunakan cara tradisional menggunakan pawon dengan kayu bakar. Cara seperti itu, diyakini menjadikan cita rasa masakan lebih sedap aromatik.
Dia juga mengaku, tumpang koyornya masih mempertahankan resep otentik warisan Mbah Rakinem—ibunya. Mbah Rakinem sendiri mulai berjualan tumpang koyor sejak tahun 1950 dengan cara berjualan keliling. Berangkat dari rumahnya di Jalan Nakula Sadewa II No. 13 Kembangarum, menuju ke pasar.
Setelah sekian lama berjualan keliling, tahun 2009 Mbah Rakinem memutuskan berjualan di rumah saja, menyudahi berjualan keliling mengingat usianya yang sudah lanjut dan tenaganya sudah mulai melemah. Sekira dua belas tahun kemudian, tepatnya hari Selasa, 6 Juli 2021, Mbah Rakinem wafat dan usaha warung tumpang koyor diteruskan oleh anaknya, Jumiyati, hingga kini.
Menurut Mbak Jumiyati, lima tahun sebelum ibunya meninggal, ia telah membantu memasak tumpang koyor secara intensif, sehingga ia tahu betul cara membuat Tumpang Koyor sesuai resep ibunya. Sehingga dia menjamin, resep dan cita rasa tumpang koyornya masih otentik sebagaimana tumpang koyor buatan Mbah Rakinem—ibunya.
Jumiyati bersyukur, tumpang koyor warisan ibunya ditetapkan oleh Pemkot Salatiga sebagai salah satu kuliner bersejarah Salatiga. Sehingga penetapan itu, membuat warungnya terbantu secara publikasi, sehingga menjadi semakin ramai. Banyak orang dari luar kota yang penasaran dengan menu nasi tumpang koyornya.Warung Nasi Tumpang Koyor Mbah Rakinem beralamat di Jalan Nakula Sadewa III No.13, Kembangarum, Dukuh, Sidomukti, Kota Salatiga. Bila tidak ingin kehabisan, bisa pesan terlebih dahulu di nomor WhatsApp: 083836186332.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
1 comment
[…] Tulisan sudah tayang di TelusuRI […]