NusantarasaTravelog

Berburu Kuliner Bersejarah Khas Salatiga (2)

Di Jawa Tengah, beberapa daerah populer dengan kuliner sotonya, seperti Kudus (soto kudus), Pati (soto kemiri), Semarang (soto semarang), Kebumen (Soto Petanahan), Tegal (sauto), Pekalongan (tauto), Boyolali (soto seger), Blora (soto kletuk),  dan lain sebagainya. Salatiga juga memiliki kuliner soto meski tak secara spesifik disebut sebagai soto khas Salatiga.

Ada beberapa soto terkenal di Salatiga, di antaranya soto parmoso, soto kesambi, soto Cak Kur, soto reksa, Soto Pak Iket, dan soto esto. Dua di antara soto yang saya sebutkan itu, masuk ke dalam 10 Kuliner Bersejarah (Culinary Heritage) Salatiga, yaitu soto kesambi dan soto esto.

Akhirnya, Soto Esto yang saya pilih sebagai destinasi kuliner bersejarah kedua dalam lawatan ke Salatiga kali ini. Setelah jeda sejenak dari menyantap seporsi tumpang koyor Mbah Rakinem, saya memanfaatkan kesempatan meluncur ke Jalan Langensuko—tempat Soto Esto berada. Kebetulan jadwal saya mengisi acara literasi bakda zuhur.

Soto Esto Sejak Tahun 1940

Berpose di depan Soto Esto di Jalan Langensuko 4, Salatiga. [Badiatul Muchlisin Asti]
Berpose di depan Soto Esto di Jalan Langensuko 4, Salatiga/Badiatul Muchlisin Asti

Seperti telah saya sampaikan, soto esto masuk sebagai salah satu dari 10 Kuliner Bersejarah Salatiga (Salatiga Culinary Heritage). Karena itu, selepas tandas menyantap seporsi soto esto, saya segera menemui Sulasmi—generasi kedua penerus Soto Esto. Saya ingin mengulik sejarah Soto Esto langsung dari sumbernya.

Menurut Ibu Sulasmi—begitu kemudian saya menyapanya, Soto Esto dirintis oleh kedua orangtuanya, Martosetiko dan Sudarmi, sejak tahun 1940. Awal-awal berjualan keliling, dan ketika sore hari mangkal sebentar di depan garasi Bus Esto. Lalu pada tahun 1953 mulai berjualan menetap di depan garasi Bus Esto, sehingga kemudian nama sotonya terkenal dengan nama Soto Esto hingga sekarang. 

Saat Martosetiko masih berjualan keliling, kelezatan sotonya memikat lidah para kru Bus Esto. Sehingga mereka menjadikan soto itu sebagai langganan. Pelanggan yang semakin ramai—tidak hanya dari kru Bus Esto, membuat pemilik bus memberikan tempat berjualan di depan garasi pada tahun 1953. Sejak saat itu, Martosetiko tak perlu berjualan keliling lagi.

Esto sendiri merupakan nama bagi perusahaan otobus legendaris di Salatiga yang tercatat telah berdiri sejak zaman kolonial Belanda. Purwanti Asih Anna Levi dalam artikel “Esto, Bus Legendaris Salatiga” (Kompasiana, 2/2/2015) menyebutkan, cikal bakal Esto adalah perusahaan transportasi pertama di Salatiga yang didirikan pada 1921 oleh Kwa Tjwan Ing. Nama Esto diberikan pada tahun 1923. Esto merupakan singkatan dari Eerste Salatigasche Transport Onderneming (Perusahaan Transportasi Pertama Salatiga). 

Dari nama tempat mangkal inilah, sekali lagi, nama Soto Esto berasal. Nama itu diberikan oleh para pembeli untuk mempermudah menyebut soto langganan mereka. Jadilah, nama Soto Esto tersemat hingga sekarang—meski pada tahun 2009 pindah berjualan ke tempatnya yang sekarang, yaitu di Jalan Langensuko No.  4 Salatiga atau belakang Grand Wahid Hotel.

Tahun 1991, Soto Esto diwariskan ke generasi kedua yaitu Sulasmi yang mengelola Soto Esto hingga sekarang. Sejarah yang panjang menjadikan Soto Esto ditetapkan sebagai salah satu dari 10 kuliner bersejarah Salatiga.

Soto Santan dengan Toping Kerupuk Karak

Soto Esto dengan lauk pelengkapnya. [Badiatul Muchlisin Asti]
Soto Esto dengan lauk pelengkapnya/Badiatul Muchlisin Asti

Soto esto sendiri adalah soto bersantan dengan warna kekuningan—karena penggunaan kunyit dalam bumbunya. Cita rasanya gurih, namun gurihnya lembut dengan rasa rempah yang kuat. Proteinnya menggunakan ayam kampung—yang ini menjadi ciri khas yang tetap dipertahankan.

Kepada saya, Ibu Sulasmi mengatakan, resep soto estonya masih otentik seperti resep dari orangtuanya. Tidak berubah sama sekali. Dalam seporsi soto esto berisi nasi dengan kuah yang dipadukan dengan suwiran ayam, tauge, kemudian diberi taburan daun seledri. Ciri khas lainnya adalah adanya toping kerupuk karak yang diremuk, sehingga mencuatkan cita rasa sedap yang khas.

Sebagaimana sajian soto pada umumnya, soto esto juga dilengkapi berbagai lauk sebagai pendamping menyantap soto, yaitu berupa aneka sate seperti sate ayam dan sate telur puyuh; juga gorengan seperti perkedel dan tempe goreng.

Warung Soto Esto buka mulai jam 06.00 hingga jam 13.00. Bila datang dan ingin mencicipi soto esto usahakan pagi, karena kalau siang bisa jadi sotonya sudah habis. Soto esto sangat cocok disantap selagi panas atau hangat, sebagai menu sarapan atau makan siang, di tengah kondisi Kota Salatiga yang berhawa dingin. 

Selepas dari Soto Esto, saya bertolak menuju Masjid Raya Darul Amal Salatiga untuk menunaikan jemaah salat Zuhur. Setelah itu, bergegas menuju lokasi tempat acara literasi—yang menjadi tujuan utama saya melawat ke Salatiga.  

Membeli Oleh-oleh Getuk Kethek

Getuk Kethek, getuk satu rasa khas Salatiga sejak 1965-an. [Badiatul Muchlisin Asti]
Getuk Kethek, getuk satu rasa khas Salatiga sejak 1965-an/Badiatul Muchlisin Asti

Tak lengkap rasanya kulineran tanpa membawa oleh-oleh khas daerah setempat. Karenanya, saya pun mengagendakan untuk membeli oleh-oleh khas Salatiga. Getuk kethek akhirnya yang saya pilih. Getuk kethek sendiri adalah kuliner yang juga termasuk dalam daftar 10 kuliner bersejarah khas Salatiga yang ditetapkan oleh Pemkot Salatiga. 

Jam tiga kurang sedikit, saat misi utama saya mengisi acara literasi usai, saya bergegas pulang kembali ke Grobogan. Namun sebelum pulang, terlebih dahulu, saya bertolak menuju Jalan Argo Tunggal, Salatiga—tempat kedai getuk kethek berada.

Apa yang istimewa dari getuk kethek? Kalau saya sih, pertama-tama tentu soal namanya yang unik dan eksentrik. Kenapa kok disebut getuk kethek? Ini yang membuat penasaran.

Getuk kethek sebenarnya adalah sejenis getuk satu rasa alias getuk pada umumnya. Berbeda dengan getuk ala Magelang yang menamakan diri sebagai getuk tiga rasa. Namun, nama getuk satu rasa kurang populer, yang populer dan moncer justru nama getuk kethek.

Dari mana nama kethek berasal? Ternyata, nama kethek berasal dari monyet yang dipelihara oleh pemilik usaha getuk. Monyet itu diikat pada sebatang pohon di teras rumah. Adanya monyet itulah yang membuat warga kerap menyebut getuk kethek. Kethek adalah bahasa Jawa yang berarti monyet. 

Hingga saat ini, bila kita bertandang ke kedai getuk kethek di Jalan Argo Tunggal No. 9 Salatiga, kita masih bisa menjumpai monyet itu di teras rumah. Meski monyetnya konon sudah berganti, namun monyet di teras rumah itu seolah menjadi ikon yang dilestarikan untuk memperkuat brand getuk kethek.  

Getuk kethek sendiri memiliki jejak historis yang panjang. Dirintis Suwarni sejak tahun 1965-an. Lalu beralih generasi tahun 1988—diteruskan oleh anaknya yang bernama Santoso, hingga sekarang. Getuk kethek dijual per kotak  berisi 20 potong. Tersedia dua pilihan, yang original (basah) dan yang goreng.

Getuk kethek digemari tidak hanya warga lokal Salatiga, namun juga pendatang dari berbagai penjuru luar kota. Getuk kethek kini telah menjelma menjadi oleh-oleh khas Salatiga yang cukup populer.

Perburuan saya terhadap kuliner bersejarah khas Salatiga berhenti hanya pada tiga kuliner saja,  mengingat keterbatasan waktu. Mobil yang saya tumpangi pun bergegas melaju menuju Grobogan—kota tinggal saya, berharap esok bisa mencicipi kuliner bersejarah khas Salatiga lainnya. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia

Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Mengunjungi Prasasti Plumpungan, Menggali Sejarah Kota Salatiga