Sambil menyeduh kopi, aku merenungkan mimpi tak menyenangkan yang membuatku terbangun dengan perasaan tak nyaman pagi ini. Retrogradasi Merkurius dan bulan purnama malam tadi serta pandemi corona yang tak kunjung reda kupastikan menjadi penyebab semuanya menjadi terasa ambyar seperti ini.
Biasanya aku akan merespons keadaan seperti ini dengan memesan tiket kereta atau bus ke kota-kota yang tidak terlalu jauh dari Jakarta. Kemudian aku akan menjelajahi kota-kota itu dengan berjalan tanpa tujuan, menikmati debu jalanan, got, sungai, rumah, gedung, serta manusia-manusia dan gerak-geriknya. Tapi virus corona ini bikin perjalanan jauh ke luar kota menjadi hal yang menyebalkan, dengan persyaratan seperti hasil tes-cepat (untuk membeli tiket transpor) dan SIKM bagi warga DKI Jakarta yang ingin bepergian.
Aku pun kembali menyesap panas pahit pekat dan samar asam khas kopi Lampung sambil mendengarkan Lagu Pejalan-nya Sisir Tanah lewat Spotify gratisan. Ketika sampai pada lirik “Kita berjalan saja, masih terus berjalan, meskipun kita tak tahu berapa jauh jalan ini nanti,” aku pun langsung bergegas mandi sambil bergumam dalam hati, “Gue harus jalan hari ini!”
Roti Gambang Lauw seharga Rp7.000 kubeli sebagai sarapan. Lauw adalah merk roti tua yang telah ada sejak 1940-an. Tahun 2019, CNN menempatkan roti gambang di deretan 50 roti terenak sedunia. Dari pabrik roti di seberang Stasiun Gondangdia itulah kumulai perjalanan hari ini.
Setelah melewati Masjid Cut Meutia yang dulunya adalah gedung N.V. de Bouwploeg, kantor biro arsitek yang merancang dan, tahun 1910, membangun kota taman pertama di Batavia, Nieuw Gondangdia (sekarang perumahan elite Menteng), aku melintasi perempatan Kali Pasir menuju Jalan Cikini Raya.
Tepat di seberang perempatan Kali Pasir ada sebuah gedung berlanggam arsitektur art deco. Gedung yang dominan warna putih itu adalah Tjikini Post Kantoor, sekarang dikenal sebagai Kantor Pos Cikini, yang didirikan pada 1920. Revitalisasi daerah Cikini yang dilakukan pemerintah DKI sejak 2019 menjadikan Kantor Pos Cikini lebih elok tanpa tiang listrik dan kabel tak beraturan.
Trotoar dari Kantor Pos Cikini ke arah selatan pun sekarang, pascarevitalisasi, sudah semakin lebar dan nyaman. Permulaan abad ke-20 silam, tahun 1910, deretan toko dan fasilitas umum ini juga pernah ditata ulang oleh P.A.J. Moojen, arsitek N.V. de Bouwploeg, sebagai penyokong kawasan permukiman elite Nieuw Gondangdia. Di deretan toko-toko tua itu ada Bakoel Koffie, toko kopi yang merupakan perusahaan pecah kongsi dari Warung Tinggi Coffee, merk penjual kopi tertua di Jakarta yang sudah ada sejak 1878.
Seratus meter dari jejeran toko-toko tua itu aku berhenti lalu memandangi seng-seng yang kini menutupi bagian depan Taman Ismail Marzuki (TIM). Tempat itu sedang direvitalisasi.
Dulu, area TIM adalah sebagian dari tanah luas milik Raden Saleh, pelukis aliran Romantisisme—yang salah satu lukisan terkenalnya adalah “Penangkapan Pangeran Diponegoro”— yang juga keturunan keluarga aristokrat Semarang. Sekira 1860-an, Raden Saleh membangun kebun binatang dan taman hiburan untuk umum yang dinamakan Planten en Dierentuin te Batavia di wilayah yang ditempati TIM sekarang. Tapi, pada 1960-an Gubernur Ali Sadikin memindahkan kebun binatang ke Ragunan dan mendirikan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki di lahan itu.
Di sebelah kiri TIM, kini Hotel Ibis, sampai 1980-an ada Zwembad Tjikini atau Kolam Renang Cikini. Dibangun tahun 1920 sebagai tempat mandi di kolam renang warga Belanda, kolam renang ini oleh warga setempat dulu dijadikan tempat “cuci mata”; perempuan di sana berenang memakai zwempak alias baju renang. Dan dari situlah kata “sempak,” yang berarti celana kolor, berasal.
Tak jauh dari Hotel Ibis, aku memasuki lobi Hotel Cikini untuk ke Es Krim Tjanang. Dinginnya es krim kuharap bisa menurunkan suhu badan yang mulai naik karena berjalan di bawah terik matahari Jakarta. Es Krim Tjanang di tahun 1963 pernah mendapatkan pesanan dari Presiden Sukarno yang ingin menjamu atlet dan ofisial dari negara-negara peserta Ganefo (olimpiade tandingan yang digagas Sukarno) dengan es krim.
Sambil menikmati semangkuk es krim rasa nougat, aku kembali ke jalanan, melangkah santai walau sinar matahari siang itu lebih panas dari biasanya.
Setelah melewati gerai PHD, aku sampai di Laba-Laba. Dulu aku mengira tempat ini semacam toko hewan peliharaan. Ternyata tidak. Laba-Laba adalah toko yang khusus mereparasi barang-barang yang terbuat dari kulit, seperti tas, sepatu, sampai jok mobil. Dan ternyata toko ini sudah ada sejak 1898. Dulu namanya De Spin.
Tepat di seberang Laba-Laba, Jalan Cikini 4 membentuk pertigaan dengan Jalan Cikini Raya. Di jalan ini ada dua tempat makan legendaris.
Yang pertama adalah Gado-gado Bonbin. Kata “bonbin” adalah kependekan dari kebon binatang, merujuk pada nama lawas Jalan Cikini 4, yakni Jalan Kebon Binatang. Gado-gado di tempat makan yang sudah eksis sejak tahun 1960 ini berbeda dari gado-gado pada umumnya. Pertama, bumbu kacangnya lebih halus. Kedua, bumbunya disiram ke sayuran, bukan diaduk dengan sayuran seperti pada gado-gado biasanya.
Yang kedua adalah Restoran Kikugawa. Restoran yang didirikan tahun 1969 oleh seorang serdadu Jepang yang menikahi wanita Manado ini menyajikan masakan autentik Jepang. Dengan interior yang sederhana ala Jepang, tidak seperti restoran-restoran Jepang pada umumnya yang fancy dan kekinian, restoran ini tetap bertahan menyintas zaman dan menjadi restoran Jepang tertua di Jakarta.
Sekitar seratus meter dari Laba-Laba, aku berbelok ke arah kiri, masuk ke arena petualangan selanjutnya, yakni Jalan Raden Saleh Raya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.