Semasa Corona

Telur di Ujung Tanduk

Melatih kemampuan beradaptasi adalah hak semua makhluk hidup. Apabila makhluk hidup tersebut tidak dapat beradaptasi, ia akan terseleksi oleh alam.

Begitulah pelajaran yang saya dapat ketika duduk di bangku sekolah. Yang tidak bisa beradaptasi akan punah, sementara yang bisa beradaptasi akan terus bertahan. Jadi, kita tinggal pilih sendiri: beradaptasi atau ngeyel dan terseleksi oleh alam.

Saya dilahirkan dan dibesarkan di kota ini. Bisa dibilang, mungkin nantinya dikuburkan juga di kota ini, kota yang diromantisasi tren pasar dan latar belakang sejarah. Bandung memang unik. Kota yang berdiri di atas danau purba ini memiliki cerita yang sangat panjang, dan itu membuatnya tak pernah sepi pengunjung.

Namun, sejarah baru Ibu Kota Parahyangan baru-baru ini dimulai. Jalanan mulai sepi, toko pinggir jalan mulai tutup. Suasana seperti ini sebenarnya tak beda jauh ketika Bandung memasuki hari raya, saat urbanisasi—sebuah proses yang bikin kota ini penuh macet ramai—istirahat dan orang-orang pulang ke mereka punya kampung halaman.

Ya, inilah social distancing. Sebenarnya, tujuannya adalah agar virus yang lebih kecil dari titik itu tidak merusak “susu sebelanga,” untuk mempermudah orang-orang di garda terdepan—RT, RW, tim penanggulangan termasuk mereka yang mencatat dan mendata, perawat, sampai dokter—berjibaku dengan wabah ini.

Saya bukan ahli medis, bahkan belajar kesehatan juga saya tidak pernah, namun saya mengerti bahwa virus dapat menular dari satu ke banyak orang. Akan sangat berbahaya jika terus berinteraksi secara serampangan sementara kita tidak tahu kalau kita membawa virus itu, seperti membunuh dalam diam.

Pembatasan sosial ini adalah salah satu cara bertahan hidup, kesempatan untuk beradaptasi agar tidak dimakan seleksi alam.

Memang tidak semua senang dengan pembatasan sosial ini. Kerugian tentu banyak. Warung pecel favorit, setiap saya lewati, selalu sepi pengunjung. Warung nasi Padang legendaris di Bandung pun sekarang tak lagi punya tukang parkir. Entah bagaimana nasib mereka-mereka yang hidupnya tergantung pada warung pecel dan nasi Padang itu apabila kondisi sekarang berlangsung lama.

Mereka mungkin menggerutu, tapi tak elok juga untuk menyalahkannya—apalagi secara terbuka. Saya termasuk orang yang beruntung. Bekerja di dunia industri strategis berpelat merah di Kota Bandung, saya masih mendapat kesempatan untuk seminggu bekerja di kantor dan seminggu kemudian bekerja di rumah. Selang-seling. Tapi tidak semua orang punya hak istimewa untuk leyeh-leyeh di rumah sambil menonton acara televisi dan memakan kudapan. Tak sedikit orang yang hidupnya “hanya untuk hari itu,” yang sudah sulit sebelum kondisi sulit ini muncul.

Saat ini bukanlah masa untuk saling menyalahkan; ini adalah waktunya untuk hidup saling menjaga. (Lagipula, tidak adil rasanya untuk melihat semua ini dengan hitam-putih.) Karantina wilayah ini adalah bakti untuk bumi—dan, karenanya, untuk umat manusia sendiri–agar ia bisa kembali bernapas lega setelah lama memakai masker imajiner untuk menghindari polusi industri.

Suasana kawasan Jalan Braga yang sepi saat pemerintah melakukan penutupan beberapa akses jalan utama untuk mencegah penyebaran virus corona Covid-19 di Kota Bandung, Jawa Barat, 1 April 2020 via TEMPO/Prima Mulia

Bagi yang berkesempatan untuk di rumah, di rumahlah untuk merangkai cerita yang akan kau ceritakan di tahun-tahun berikutnya. Untuk mereka yang terpaksa mesti pergi ke luar untuk menyambung hidup di Bandung atau di kota-kota lain di penjuru bumi, berhati-hatilah.

Jika bisa setiap saat di rumah tanpa harus menjalani sif mingguan, saya akan dengan senang hati untuk tetap di rumah. Tapi, sekarang yang saya bisa hanya menikmati keleluasaan berkendara di jalanan Bandung yang sepi, di tengah-tengah suasana persis seperti ketika saya pergi ke sekolah dulu untuk menerima pelajaran kemampuan beradaptasi.

Tak perlu khawatir dengan Bandung. Takkan ia kehilangan jati diri hanya karena sebuah wabah. Dulu ia pernah bangkit setelah menjadi lautan api. Tapi juga jangan terlena dengan udara segarnya sekarang, ketika umat manusia, seperti peribahasa, “bagai telur di ujung tanduk.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Pencinta alam yang sudah tak aktif lagi berorganisasi. Sedikit bicara, lebih banyak iseng. Bandung.

Pencinta alam yang sudah tak aktif lagi berorganisasi. Sedikit bicara, lebih banyak iseng. Bandung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *