Sepiring Paramaribo di Amsterdam

by Kyana Dipananda

Ada wadah, ruang kelas, dan jurnal dalam TelusuRI. Kesemuanya menyoal perjalanan. Kali ini, dan mungkin akan banyak kali lainnya, saya akan menyoal makanan, kuliner, dan rasa. Hal-hal tersebut selalu menjadi bagian besar dari perjalanan-perjalanan kita, namun sering kali luput, [dirasa] terlampau lazim, atau bahkan dianggap lalu. Dorongan untuk menuliskan persoalan rasa hadir sebagai upaya untuk memaknai perjalanan-perjalanan kita melalui santapan.

Dalam tulisan ini saya menelusuri penganan khas Suriname di Amsterdam, yang tidak hanya nikmat dan akrab tapi juga membawa saya mempertanyakan dan merefleksikan ulang hal-hal terkait kuliner kosmopolitan, masyarakat transnasional, dan orientalisme internal.


Pada suatu pagi di musim panas yang terik, saya sudah siap-siap tidak sarapan. Agenda hari itu adalah mendatangi kedai-kedai makanan Suriname yang terkenal di Amsterdam. Setelah beberapa tahun tinggal di Belanda, saya menyadari satu hal menarik tentang makanan Suriname: ia mudah ditemukan di mana-mana. Saya pribadi menyerah ketika berniat menghitung berapa jumlah kedai makanan yang menjual sajian Suriname di Amsterdam. Terlalu banyak. Saya rasa, tidak ada negara lain di duniaselain Suriname sendiri tentunyayang punya kedai makan Suriname lebih banyak ketimbang Belanda.

Lucunya, saya belum pernah coba. Sama sekali. Entah karena apa. Mungkin karena sehari-hari saya memasak makanan Indonesia di rumah, Juga, jajan di Amsterdam tidak murah; saya cukup pilih-pilih mau beli apa. Sering kali pilihan jajanan jatuh pada pertimbangan ketidakmampuan saya memasak makanan yang akan saya beli tersebut. Pikiran saya segamblang, ah rugi kalau beli, ‘kan bisa buat sendiri.

Tapi, bukankah masakan Indonesia dan Suriname itu berbeda? Eh, iya nggak ya?

Berdasarkan observasi singkat, beberapa kedai makanan menulis Indonesian Surinamese Restaurant atau Javaans-Surinaams Eethuis di papan-papan penunjuk atau etalase kaca toko mereka. Eethuis (atau rumah makan dalam Bahasa Belanda) sering kali kedapatan menjual makanan Suriname dan Indonesia secara bersamaan. Tapi jangan harap kita akan menemukan sepiring cacapan iwak karing khas Banjar atau papeda dan ikan kuah kuning khas Papua pada rumah makan tersebut karena makanan Indonesia yang dijual kebanyakan bercita rasa Jawa. Dan konsep Jawa yang dihidangkan pun nyatanya adalah hasil interpretasi rasa masakan Jawa yang sudah diproduksi sejak puluhan bahkan ratusan tahun silam.


Pemberhentian pertama saya adalah De Tokoman. Kedai kecil yang tidak memiliki meja makan ini punya beberapa cabang di Amsterdam. Kebetulan saya datang ke cabang yang terletak di Waterlooplein. Ada banyak jenis lauk-pauk yang terhidang di dalam etalase kaca kedai De Tokoman. Ada ayam, sapi, dan sayur-mayur yang bebas dipesan dengan format sesuka si pembeli. De Tokoman menyediakan dua jenis makanan utama, yakni roti isi dan nasi serta bakmi box dengan lauk-pauk.

Tampak depan De Tokoman/Kyana Dipananda
Etalase makanan De Tokoman/Kyana Dipananda

Berbekal ulasan-ulasan yang ada di internet, saya memesan broodje pom atau roti pom. Pom adalah hidangan oven khas Suriname yang terbuat dari ayam dan pomtajer atau parutan dari bagian batang umbi talas khas Suriname (Xanthosoma sagittifolium). Saya pribadi sangat suka dengan roti pom. Pada tampilannya, pom berbentuk seperti ayam suwir dengan konsistensi padat tanpa kuah. Saya hampir tidak bisa melihat parutan talas yang menjadi komponen utama dari pom. Pilihan menikmati pom dengan roti (semacam baguette kecil) dan bukan dengan nasi tepat bagi saya. Roti yang lembut di dalam dan renyah di luar menjadi teman yang pas ketika berpadu dengan pom. Tanpa roti, pom bagi saya terasa terlalu kuat bumbunya, didominasi rasa asin dengan sedikit rasa manis dari puree tomat. Asin dan manis ini kemudian menjadi gurih yang nikmat ketika digigit bersama dengan roti. Samar-sama saya bisa merasakan sedikit asam namun segar dari air perasan lemon.

Broodje pom/Kyana Dipananda

Sambil duduk-duduk di pinggir kanal dan mengunyah broodje pom, pikiran saya kemudian ke mana-mana. Penasaran, saya mencoba melihat resep pom di internet. Sudah diduga, sulit mencari resep pom dalam bahasa Inggris atau Indonesia. Berbekal bahasa Belanda yang pas-pasan, saya mencoba mencari tahu lebih banyak tentang penganan ini. Dalam pencarian di internet, saya menemukan tulisan menarik dari majalah digital Trouw tentang pom yang berjudul Een koosjere knol (sebuah umbi kosher).

Dalam artikel tersebut, pom diyakini si penulis berasal dari hidangan Yahudi yang diadaptasi oleh masyarakat di Suriname. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa komunitas Yahudi-Suriname adalah salah satu komunitas yang telah hadir sejak abad ke-16 di Suriname dan bertahan sebagai salah satu komunitas besar di sana. Selain itu, terpengaruh oleh kebiasaan di Eropa, orang Yahudi adalah komunitas pemakan kentang. Mereka pun banyak menggunakan oven untuk proses memasaknya. Pada malam hari sebelum hari Sabat, ibu-ibu sudah menyiapkan ayam dan kentang dalam wadah untuk dimasak dengan oven oleh asisten rumah tangga mereka keesokan harinya.

Oven bukan alat masak populer di komunitas Afrika maupun Amerika di Suriname karena mereka lebih sering menggunakan api besar untuk memasak. Sementara, kebalikannya, penggunaan oven identik sekali dengan kuliner masyarakat Eropa atau Yahudi pada masa itu. Selain itu, penggunaan air perasan jeruk lemon untuk melembutkan daging ayam juga sebuah kebiasaan yang lumrah dilakukan di dapur-dapur komunitas Yahudi. Berdasarkan ketiga ciri teknik dasar memasak dan pemilihan bahan baku tersebutlah pom diyakini terinspirasi dari komunitas Yahudi-Suriname. Yang menarik, adaptasi oleh masyarakat di Suriname dilakukan dengan menukar kentang dengan talas. Karena kentang tidak tumbuh secara natural pada iklim yang tropis, talas kemudian menjadi bahan substitusi yang paling tepat untuk penganan pom.

Setelah makan broodje pom, saya masih lapar dan ingin makan kudapan ringan. Maklum, tidak sarapan. Saya pun melanjutkan perjalanan ke daerah Jordaan. Jordaan adalah salah satu daerah turis yang cukup populer di Amsterdam. Di antara tempat makan yang berderet dan dipenuhi turis, kita dapat menemukan kedai makanan Suriname yang bernama Swieti Sranang. Mirip dengan De Tokoman, kedai ini juga menjual roti isi dan nasi kotak. Tapi saya mencari bakabana. Bakabana adalah plantain atau sejenis pisang tanduk yang digoreng dengan balutan tepung dan disajikan dengan kuah kacang yang kental.

Karena bakabana saya digoreng tepat sesaat setelah dipesan, saya memakannya ketika masih panas mengepul. Dalam gigitan pertama, bakabana mengingatkan saya pada pisang goreng yang saya makan dengan sambal di Maluku. Tidak manis, cenderung tawar, bertekstur padat, dan tidak mudah hancur. Saus kacangnya lembut dan kental. Tidak cair dan, jika dirasakan di mulut, tidak ada sisa-sisa kacang yang tergerus. Pindasaus atau saus kacang yang saya temui di Belanda memang khas dengan bentuknya yang kental seperti saus pasta. Paduan pisang dan saus kacang terasa unik pada lidah Jakarta saya yang terbiasa dengan pisang goreng manis yang legit dan lembek.

Bakabana di Swieti Sranang/Kyana Dipananda

Pisang dan saus kacang adalah simbol dari makanan yang berlawanan dari tipikal makanan Belanda. Tumbuh subur di tanah tropis, keduanya adalah wajah dari makanan yang eksotis, yang asing, dan yang liyan. Meski saus kacang cukup mudah ditemukan di pasar swalayan Belanda, saya tidak pernah bisa menemukan pisang tanduk di sana. Pasar swalayan adalah tempat untuk pisang-pisang cavendish yang manis dan berbentuk seragam. Kita harus pergi ke toko-toko yang menjual bumbu makanan Asia untuk menemukan pisang tanduk yang digunakan sebagai bahan dasar bakabana.

Sambil memikirkan nasib pisang-pisang tanduk yang mungkin sudah menempuh perjalanan berhari-hari untuk sampai ke Belanda dan berujung teronggok dalam kardus di pojokan toko bumbu Asia, saya tiba di perhentian ketiga. Yang terakhir. “Grand Roopram Roti Restaurant,” begitu kata stiker yang menempel pada pintu kedai ini. Sebenarnya saya belum terlalu lapar karena waktu makan malam belum tiba. Akhirnya saya memesan satu porsi roti kip dan bara untuk berdua. Saya juga memesan dawet sebagai minuman. Tidak sampai sepuluh menit, pesanan datang dengan baki plastik. Ternyata porsinya cukup besar.

Dalam piring plastik, tersaji beberapa potong ayam berkuah kuning tua, sayur buncis tumis, dan kentang tumbuk yang disiram kuah kental. Di atasnya, saya mendapatkan roti pipih berbentuk lingkaran yang dilipat dua, seperti chapati dalam masakan India. Rasanya tawar dan hangat, seperti baru dimasak sesaat setelah saya memesan. Bara datang dengan sambal, menyerupai donat tanpa lubang. Bara sebenarnya diklasifikasikan ke dalam penganan ringan, serupa gorengan, dan terbuat dari adonan tepung terigu, tepung kacang hijau, dan cacahan halus daun talas. Saat digigit, bara terasa padat. Bumbu-bumbu seperti jintan, garam masala. dan merica terasa kuat. Walaupun digoreng, bara tidak berminyak. Saya menyantapnya bersama dengan roti kip.

Kedai Grand Roopram Roti tidak besar namun ramai pengunjung. Kebanyakan memesan untuk dibawa pulang. Dari hasil pengamatan yang cukup singkat selama saya makan, pembeli yang datang dan mengantre rata-rata memesan dalam bahasa Suriname. Mereka bercanda dan tertawa dengan penjual makanan di kasir seperti sudah kenal lama. Meski ada beberapa pengunjung yang jelas-jelas bukan orang Suriname, saya seketika merasa tidak di Amsterdam. Tata letak ruangan di kedai ini pun tidak biasa. Ada wastafel di area makan untuk mencuci tangan. Sebuah praktik yang tidak lazim saya temui di kota ini. Biasanya wastafel terletak bersama dengan toilet di bilik tertutup. Mungkin pemilik Grand Roopram Roti memikirkan pengunjung yang ingin mencuci tangan sebelum dan sesudah makan roti dengan tangan.

Saat saya iseng memerhatikan kertas yang menjadi alas baki makanan, saya menemukan fakta bahwa Kedai Grand Roopram Roti ini ternyata restaurant chain asli Suriname. Ada tiga cabang di Paramaribo, dua cabang di Amsterdam, satu di Den Haag, dan satu di Rotterdam.

Santapan di Grand Roopram/Kyana Dipananda

Sambil menyesap dawet, minuman berbahan dasar santan juga berwarna pink dan penuh aroma bunga mawar, saya mengingat-ingat kembali penulusuran hari itu.

Batas klasifikasi antara makanan Suriname dan makanan Indonesia menjadi kabur dalam daftar menu yang disajikan oleh ketiga kedai yang saya datangi. Meski De Tokoman, Swieti Sranang, dan Grand Roopram Roti secara gamblang menuliskan identitasnya sebagai kedai makanan Suriname, beberapa kedai makanan lain yang terserak di kota ini membuat saya kesulitan mendefinisikan identitas barang dagangan mereka. Di Amsterdam setidaknya, ternyata sulit untuk mendefinisikan apa itu makanan Suriname, makanan Jawa, makanan Indonesia, makanan Cina, dan bahkan makanan Karibia. Beberapa resto bahkan seperti menuliskan berbagai macam asal usul makanan dalam papan penunjuk toko mereka. Masyarakat di Amsterdam (dan juga kota-kota besar lainnya di Belanda) disuguhkan kedai-kedai makanan dengan slogan “The place serves Javanese, Surinamese, Chinese and Dutch-Caribbean dishes at reasonable prices.”

Agenda orientalis yang sempat disinggung oleh Edward Said dalam Orientalism (1978) sebagai upaya-upaya Barat untuk medominasi, menguasai, menaklukkan, dan mengkomodifikasi apa-apa yang ketimuran terasa kental terasa melalui penganan yang dijual kedai-kedai makanan seperti ini. Penikmatnya pun beragam, dari mulai warga sekitar sampai turis. Jargon Amsterdam sebagai kota kosmpolitan pun semakin lengkap dengan kehadiran kedai-kedai makanan ini.

Kita tahu bahwa warga dunia, masyarakat global. dan dunia tanpa batas adalah nilai-nilai yang menjadi jargon kosmopolitanisme. Namun, di balik agenda kosmopolitanisme dan fusion kulinernya, ada jejak-jejak kolonialisme yang tidak bisa kita pungkiri. Kolonisasi Suriname yang tercatat dimulai pada tahun 1667 oleh Belanda ditandai dengan perbudakan. Suriname sebagai salah satu koloni perkebunan Belanda di Guianas mengandalkan tenaga kerja manusia sebagai budak, yang sebagian besar dipasok oleh Perusahaan Hindia Barat Belanda, GWC (Geoctrooieerde Westindische Compagnie), dari pos perdagangannya di Afrika Barat untuk menghasilkan keuntungan bagi pembangunan negaranya di Benua Eropa. 

Keberadaan penganan Suriname (dan juga makanan Indonesia) di Amsterdam tentu tidak lepas dari kenyataan penjajahan tersebut. Namun, tanpa bermaksud membela agenda para kosmopolit barat untuk mengkomodifikasi eksotisme dan melanggengkan praktik-praktik yang memproduksi mentalitas kolonial, saya percaya bahwa kosmopolitanisme hari ini bukanlah sesuatu yang tunggal dan statis. Meski para kosmopolit terkenal memiliki reputasi sebagai kelompok elite, saya mengamini pendapat Lamont dan Aksartova (2002) yang menyatakan bahwa kaum kosmopolit juga lahir pada masyarakat pekerja dan imigran.

Gelombang migrasi dari Suriname ke Belanda yang dimulai pada tahu-tahun menjelang kemerdekaan Suriname pada 1975 dan diteruskan sampai dasawarsa 90-an, misalnya, turut menambah [jumlah] kelas pekerja komunitas ini. Sampai tulisan ini disusun, tidak hanya Suriname, berbagai motif imigrasi dan negara asal yang beragam pun turut mewarnai terbentuknya masyarakat transnasional di berbagai kota-kota besar di Belanda. Seperti dikutip dari tulisan Entzinger (2019), saat ini, seperempat populasi penduduk Amsterdam lahir di luar negeri. Jika anak-anak dari penduduk yang lahir di luar negeri tersebut masuk dalam hitungan, di masa yang akan datang lebih dari setengah penduduk Amsterdam adalah generasi imigran pertama atau kedua.

Para kelompok pendatang inilah yang menjadi motor penggerak hadirnya toko-toko yang menjual bumbu Asia dan yang biasanya menjadi rujukan untuk menilai kedai mana yang dapat diberi label autentik, the OG, original. Mereka dianggap memiliki pengetahuan kuliner mumpuni untuk mengidentifikasi rasa, meski sering kali rasa makanan adalah persoalan koleksi ingatan, kebiasaan yang diproduksi ulang, serta penyesuaian terhadap proses akulturasi.

Kedai-kedai makanan Suriname, Indonesia, Suriname-Jawa, bahkan Asia adalah manifestasi dari tanah asal. Makanan, kata Appadurai (1986), tidak hanya memiliki kapasitas untuk memobilisasi emosi yang kuat tapi juga mempertegas identitas individu. Melalui terminologi gastro-politics, Appadurai melanjutkan, materialitas makanan, gaya memasak, dan cara makan adalah cara simbolis untuk mempertegas batas antara “kita” dan “mereka.” Menjadi “mereka yang asing” melalui makanan adalah cara untuk tidak lupa. 

Reproduksi ingatan kolektif kelompok yang dituturkan melalui resep, cerita, penyesuaian bahan baku, penambahan, maupun pengurangan rasa pada makanan adalah bentuk-bentuk [cara] kelompok pendatang untuk membangun identitas baru yang hibrid. Makanan adalah narasi yang kuat dari “sejarah” kelompok pendatang ini, di mana rasa dan aroma membangkitkan hubungan emosional dan sentimental dengan suatu tempat, yang jauh, yang mungkin rumah, tapi mungkin juga bukan. Melalui tulisan ini, saya percaya, jika kita tidak melihat kosmopolitanisme sebagai sesuatu yang dinamis (tentu saja upaya ini dibarengi dengan kesadaran berpikir kritis), kita akan kehilangan kedalaman dalam melihat lebih jauh kompleksitas masyarakat transnasional yang menghasilkan kuliner-kuliner kosmpolitan seperti di Amsterdam.

Pada akhirnya, dalam rangka upaya untuk terus menjadi reflektif dan kritis terhadap diri sendiri, saya pulang tidak hanya dengan kenyang tapi juga dengan pertanyaan: apakah saya si orientalis berkulit kuning langsat yang berusaha terus relevan atas pembaruan dengan penelurusan atas penganan Suriname yang liyan atau apakah saya sekrup-sekrup kecil dari masyarakat pekerja transnasional yang berusaha mencari keakraban rumah melalui bakabana?


Referensi

Appadurai, Arjun. 1986. The Social Life of Things. The Social Life of Things. https://doi.org/10.1017/cbo9780511819582.

Entzinger, Han. 2019. “A Tale of Two Cities: Rotterdam, Amsterdam and Their Immigrants,” 173–89. https://doi.org/10.1007/978-3-319-96041-8_9.

Lamont, Michèle, and Sada Aksartova. 2002. “Ordinary Cosmopolitanisms.” Theory, Culture & Society 19 (4): 1–25. https://doi.org/10.1177/0263276402019004001.

Said, Edward W. 1978. Orientalism. Penguin Books.

Kadang-kadang menulis tapi lebih sering jadi pembaca, pemerhati isi keranjang belanjaan orang di antrean supermarket, suka baca buku sastra, dan suka minum teh susu tanpa gula.

You may also like

2 comments

Sarani 30/Agustus/2020 - 3:52 pm

Pasti mei basri akan nostalgik baca ini… dan ingin segera ‘pulang’ ke wangi amsterdam yang hibrid baukencing-mariyuana-sambal-broodje-pataat-hujan.

Reply
Transporting Yourself Back to Indonesian Taste despite Closed Borders - TelusuRI 11/Oktober/2020 - 3:02 pm

[…] in Indonesia. “Indies/Indonesian restaurants in The Hague offer so many specialties compared to any other city in the Netherlands, that you can try a restaurant per week for more than a year,” as Leslie […]

Reply

Leave a Comment