Pilihan EditorSemasa Corona

Angkat Ransel Terakhir sebelum Corona

31 Desember 2019

“Eh, ini ada berita soal wabah virus di China,” ujar abang saat kami menunggu jadwal penerbangan di KLIA 2. Aku mengangguk. Pagi tadi, saat kami menunggu bus rute Melaka Sentral-KLIA 2, aku juga membaca satu-dua berita tentang virus di Wuhan itu. Tidak ada rasa khawatir kala itu. Kupikir virus itu akan lekas teratasi dan hanya akan ada di China.

Ternyata, pikiranku waktu itu keliru.

Sebulan berikutnya, pembahasan tentang wabah masih terdengar. Tapi aku sendiri masih (saja) tidak khawatir. Aku, B, dan D, kawan sekampus, berencana berangkat bersama ke Perth. Kami akan menghadiri konferensi di sana. Saya dan B berangkat ke satu konferensi yang sama, sedangkan D ke konferensi lain. Mendekati hari keberangkatan, D menjawilku saat aku sedang mencari kunci kubikel.

“Vi, aku nggak jadi bareng, nih. Konferensiku dibatalkan,” ujarnya.

Hari itu, Australia mengetatkan peraturan. Kegiatan yang mendatangkan rombongan dari Tiongkok harus dibatalkan. Kebetulan, konferensi D akan dihadiri rombongan partisipan dari negeri itu.


Februari 2020

Sore hari di awal Februari, saya dan B mendarat di Perth. Esoknya kami berjalan kaki ke lokasi konferensi. Di depan Perth Mint Building, ada pengumuman dalam dua bahasa, yakni Inggris dan Mandarin. Dua orang turis berwajah Asia membaca pengumuman berbahasa Mandarin itu dengan cermat. Perth Mint Building rupanya ditutup untuk turis dari Tiongkok. Selesai membaca, mereka berdiskusi sebentar dengan bahasa yang tidak kumengerti. Kulihat mereka sempat membuka peta, lalu pergi. Mungkin mereka punya rencana cadangan.

Saat konferensi, ternyata partisipan dari Hong Kong juga tidak datang. Dia mengirimkan video presentasinya dan terhubung dengan Skype untuk tanya jawab.

Sorenya, saya dan B dijemput seorang kawan untuk ngobrol sebentar di pinggir pantai.

“Perth itu kotanya nggak terlalu ramai. Tapi belakangan ini makin sepi karena isu virus corona. Bahkan di Northern Bridge, semacam Chinatown di sini, juga sepi banget. Padahal itu area yang paling jarang tidur,” jelasnya.

Lord St., Perth/Vidiadari

Sepulang dari pantai, M, kawan saya itu, melewatkan mobilnya ke area Northern Bridge yang tadi ia sebut. Dari jalan raya terlihat lampu biru-putih membentuk tulisan Northern Bridge.

“Tuh, lihat. Biasanya dari sini keliatan orang berjubel lalu-lalang di sana. Sekarang kosong,” ujar M.

Betul juga. Di bawah terang benderangnya lampu Northern Bridge, hanya ada satu-dua orang yang lewat.

Selesai rangkaian acara di Perth, saya dan B pulang ke Indonesia, lagi-lagi transit di Denpasar. Di atas pesawat, kami diberi kartu kedatangan dan kartu kuning yang harus diisi tentang kondisi kesehatan saat itu. Semacam tes kejujuran untuk menaksir kesehatan.

Bandara Ngurah Rai malam itu hiruk pikuk. Lapisan pemeriksaan bertambah satu, yakni pengecekan kartu kuning. Kalau boleh suuzan, semua orang bisa saja bilang bahwa kondisinya sehat sehingga lolos dari pemeriksaan.

Kami tiba di Jogja dengan selamat. Pemeriksaan di penerbangan domestik rupanya tidak serumit di penerbangan internasional kemarin. Saya dan B kadang-kadang masih membahas: kartu kuning kemarin berakhir di mana, ya?


Awal Maret 2020

Berita pagi itu mengabarkan tentang pasien pertama corona di Indonesia. Ini seperti momen pecah telur. Dua minggu lalu aku terlibat diskusi dengan seorang kawan. Dia gelisah karena hingga akhir Februari pembahasan tentang corona seperti tidak ditanggapi serius, seolah-olah semua optimis bahwa warga Indonesia kebal terhadap virus ini.

“Nah, bener, ‘kan?” itu isi pesan WA-nya kepadaku, didampingi berita terbaru.

Hanya butuh 14 hari sejak berita pasien pertama untuk membuat kampus memutuskan menyelenggarakan kuliah daring. Seluruh kegiatan dinas ke luar kota pun dilarang. Akibatnya, saya membatalkan keikutsertaan pelatihan di Semarang.


Agustus 2020

Hari ini, seminggu setelah kuliah perdana via daring, saya memandangi ransel kesayangan yang sudah dua tahun menemani jalan-jalan. Tahun lalu adalah tahun tersibuknya.

Enam bulan terakhir, hanya dua kali saya ajak ransel hijau lumut itu jalan-jalan. Itu pun hanya untuk mengangkut barang belanja bulanan dari supermarket dekat rumah. Selebihnya, dia pasrah tergantung di ruang tengah.

Tidak pernah ia menganggur selama ini.

Merantau dari Banjarmasin ke Yogyakarta sejak 2005. Kadang mencuri waktu untuk jalan-jalan di antara kesibukan meneliti dan mengajar di universitas.

Merantau dari Banjarmasin ke Yogyakarta sejak 2005. Kadang mencuri waktu untuk jalan-jalan di antara kesibukan meneliti dan mengajar di universitas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *