Travelog

Sisi Utara Benteng Surosowan

Arkeologi mungkin masih jadi sebuah jurusan kuliah yang acap kali dipertanyakan orang-orang. “Kerja apaan tuh nanti?” “Keren, ih, kayak di film-film” “Nyari-nyari fosil, ya?” dll.

Arkeologi pada dasarnya adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan manusia dari tinggalan-tinggalannya. Jadi, arkeologi akan membicarakan tinggalan, misalnya batu yang dulunya digunakan sebagai mata panah. Itu akan menjadi penunjuk bahwa benda tersebut sudah melalui tahap pemakaian oleh manusia dan sudah menjadi benda budaya.

Salah satu kekhasan ilmu arkelogi adalah penggalian atau ekskavasi. Ekskavasi dilakukan untuk melihat temuan yang ada di sekitar situs bersejarah, apakah ada artefak yang masih terpendam ataupun situs sejarah yang masih belum tampak. Sudah dua kali aku mengikuti penggalian arkeologi. Pertama di Muara Jambi dalam rangka Kuliah Kerja Lapangan (KKL) yang menjadi mata kuliah tersendiri di Arkeologi. Kedua saat magang selama dua minggu bersama BPCB Banten dalam penggalian Benteng Surosowan, Banten.

Salah satu sudut Benteng Surosowan/M. Irsyad Saputra

Tujuan penggalian keduaku itu adalah untuk menampakkan sisi utara Benteng Surosowan yang diperkirakan sebagai bekas pendopo kerajaan yang terhubung langsung dengan kanal-kanal di sekitarnya. Pihak BPCB Banten sendiri bekerja sama dengan Prodi Arkeologi Universitas Indonesia dengan meminta mahasiswa untuk terjun ke lapangan. Sekitar 40 mahasiswa menjalani magang tersebut, dibagi dalam sif-sif, selama tiga bulan. Aku dan tiga kawan mendapat giliran sif terakhir mulai pertengahan September.

Tugas kami dalam penggalian dibagi empat. Pertama, menggali. Tentu saja ini kewajiban utama kami dalam melakukan ekskavasi arkeologi. Penentuan lokasi kotak gali bisanya berdasarkan gejala permukaan atau penampakan pada kotak yang telah digali sebelumnya. Penggalian arkeologi tidak bisa asal-asalan. Kami menggunakan teknik penggalian yang telah dipelajari di kelas, seperti spit, layer, atau lot. Penggalian kali ini menggunakan teknik spit dengan bantuan warga sekitar situs yang sudah diberi pengarahan untuk membantu mempercepat proses penggalian.

Kedua, menggambar kotak gali. Seorang penggambar bertugas untuk menggambar semua kotak galian pada hari tersebut. Penggambaran harus detail, meliputi tampak awal serta tampak akhir dari penggalian kotak tersebut, termasuk mengukur apa saja penampakan temuan semisal struktur bata ataupun temuan lepas serta stratigrafi tanah apabila ada perubahan lapisan ketika penggalian dilangsungkan.

Foto udara lokasi penggalian/M. Irsyad Saputra

Ketiga, [membuat] laporan harian. Orang yang bertugas membuat laporan harian mesti mencatat keadaan pada hari penggalian, semisal berapa kotak galian yang dibuat pada hari itu, temuan apa saja yang didapat, jumlahnya berapa, kesulitan yang dialami, dll. Mirip-mirip bikin buku harian, namun dengan bahasa yang formal.

Keempat, bagian temuan. Divisi ini bertugas membersihkan, mencatat, dan mengklasifikasi, serta [membuat] dokumentasi temuan pada hari tersebut. Hal ini nantinya akan memudahkan proses inventarisasi temuan.


Temuan yang sangat menarik pada sif kami ini adalah beberapa anak tangga serta sumber air yang diperkirakan merupakan kanal yang dahulunya langsung melewati sisi utara benteng. Paling mencengangkan adalah ketika penggalian dilakukan banyak tumpukan sampah yang didapat pada lapisan tanah utara benteng. Artinya, lapisan tanah pada daerah tersebut sudah tercampur antara bawah dan atas. Memang, sepuluh tahun yang lalu sisi utara benteng sempat dijadikan tempat mendirikan warung-warung. Sampah-sampah tersebut menjadi tanda seberapa parah bumi kita terkontaminasi sampah plastik yang sulit terurai.

Proses ekskavasi/M. Irsyad Saputra
Temuan struktur kotak gali berupa tangga/M. Irsyad Saputra

Benda lain yang ditemukan antara lain koin VOC, koin Banten, keramik-keramik dengan berbagai bentuk dan warna—bahkan ada yang menggunakan aksara Jawa dan Belanda, juga tulang-belulang hewan.

Dari kiri ke kanan: koin VOC, pecahan keramik beraksara Jawa, koin kuno Banten/M. Irsyad Saputra

Setelah cerita sisi utara benteng mulai terkupas, juga merujuk pada analisis sebelumnya, menjadi lebih jelas bahwa sisi utara merupakan bekas pendopo kerajaan yang terhubung langsung dengan kanal-kanal di sekitarnya. Karena pada titik anak tangga terbawah yang kami temukan sudah keluar air yang deras, muncul asumsi bahwa dulunya di situlah batas langsung antara kanal dengan pendopo.


Usai penggalian-penggalian sore hari, kami menyempatkan jalan-jalan. Biasanya berkeliling di sekitar Benteng Surosowan, Benteng Speelwijk, Masjid Agung Banten, Keraton Kaibon, Danau Tasikardi, dan Vihara Avalokitesvara. Peninggalan-peninggalan bersejarah di sini, dari bangunan hingga makam, masih banyak yang terawat hingga kini. Banten Lama memang pusat dari Kerajaan Banten sebelum kemudian dikuasai oleh pemerintah kolonial.

Danau Tasikardi/M. Irsyad Saputra

Karena dekat dengan laut, banyak juga pantai di sekitar Surosowan. Namun kondisinya memang memprihatinkan. Airnya keruh dan sampah di mana-mana. Soal kunjungan wisata, masih kalah dari pantai-pantai yang ada di pesisir selatan Banten yang berair lebih jernih. Banten terasa lebih terik dari daerah lain, entah mengapa—padahal Bima memegang gelar sebagai kota terpanas di Indonesia. Nampaknya angin yang tidak bertiup ikut andil menjadikan Banten Lama daerah yang panas.

Meski panas, Banten Lama tetap menawan sebagai bekas pusat Kerajaan Banten dengan tinggalan arkeologis yang masih utuh dan bisa kita saksikan hingga hari ini.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *