Beberapa bulan belakangan, pandemi memukul telak industri pariwisata. Ketika pergerakan dibatasi, destinasi wisata mendadak sepi. Para pejalan, subjek sekaligus objek terpenting dalam industri ini, dipaksa diam di rumah. Mereka membatalkan tiket-tiket yang terbeli, membongkar koper dan menyimpannya di gudang entah sampai kapan. Pandemi berkepanjangan menciptakan ketidakpastian. Seolah-olah para pejalan dipaksa menanti sesuatu tak pasti. Sementara itu, di luar mendung datang lebih cepat dan lebih pekat. Abu-abu.

Di tengah ketidakpastian itu, sebagian pelaku industri tumbang satu-satu. Penyedia penginapan, majalah panduan wisata, dan ribuan usaha kecil terkait wisata terpaksa gulung tikar. Sementara, pemerintah terus-menerus mencoba membangun optimisme: bahwa industri pariwisata baik-baik saja dan siap menyongsong era kenormalan baru.

Tapi apa memang betul seperti itu? Hingga akhir tahun lalu, sebenarnya masih nyaring terdengar kritik terhadap pariwisata berlebihan (overtourism) di berbagai belahan dunia. Meningkatnya mobilitas manusia berpelesir dalam dasawarsa terakhir dianggap menciptakan berbagai kerugian dan ketimpangan. Tidak saja kepada alam, tetapi juga manusia yang tinggal di sekitar destinasi wisata. Jejak karbon meroket, alih-fungsi lahan terjadi, dan gentrifikasi menggusur penduduk asli.

Fenomena pariwisata berlebihan dan percepatan konsumsi gila-gilaan ini bisa jadi merupakan tanda bahwa industri ini sudah mencapai titik maksimum. Sebuah puncak kurva yang kemudian dibengkokkan mendadak oleh pandemi. Mobilitas global tiba-tiba saja lumpuh. Perlambatan drastis ini harus diakui memberi jeda dan kesempatan bagi para pelaku untuk memikirkan ulang industri pariwisata mendatang: Bagaimana lanskap perjalanan di masa depan? Adakah perubahan cara pandang dan perilaku para pejalan? Masih adakah hasrat manusia untuk berpelesir di tengah menguatnya xenofobia dan semakin ketatnya batas antarnegara?

Belakangan memang muncul berbagai spekulasi yang mencoba memetakan kemungkinan pergeseran dan penyesuaian industri pariwisata pascapandemi. Dari berbagai sumber tersebut, setelah dicermati, hampir semuanya mewakili pandangan pemerintah, influencer, akademisi, atau pelaku usaha. Sementara itu suara para pejalan, subjek mayoritas yang membentuk lanskap dan mereproduksi citra industri ini, nyaris tak terdengar. Beberapa di antaranya hanya dapat saya temui di kanal media sosial pribadi saja.

Maka laporan yang dikerjakan oleh Timoti Tirta dan Sarani Pitor Pakan ini mencoba untuk menangkap dan merangkum aspirasi pejalan yang bagi industri hanya dianggap konsumen belaka. Bagaimana mereka bersikap dan apa bayangan mereka terhadap model perjalanan di masa pascapandemi?

Kajian rintisan ini, selain membuka alternatif sudut pandang, juga menarik untuk dibawa ke dalam diskusi yang lebih luas. Menjadi bahan obrolan di ruang tunggu para pejalan, sembari menanti badai yang entah kapan berlalu.


Tinggalkan Komentar