Evelin, seorang warga Kampung Urbinasopen, Waigeo Timur, Raja Ampat tampak lemas. Sambil memegang tangan kirinya, ia seperti menahan sakit. Sudah dua minggu telunjuk tangan kiri Evelin terkena mata ikan, sejenis kutil (plantar warts) yang disebabkan oleh human papillomavirus (HPV).
Daging tumbuh itu sebenarnya bukan penyakit serius asal ditangani secara tepat. Tapi perempuan berumur 19 tahun itu belum terpapar informasi bagaimana menangani mata ikan secara tepat. Selama ini ia hanya mengobati mata ikan tersebut dengan ramuan yang diracik dari dedaunan. Kondisinya bukan membaik, namun makin lama mata ikan itu terasa kian menyakitkan. Telunjuknya sudah membengkak, hitam, dan bernanah. Area sekitar jari tangannya pun gatal. Dalam kondisi seperti itulah tim medis menjumpai Evelin.
Selain kegiatan sosialisasi COVID-19 dan ketahanan pangan, EcoNusa Response COVID-19 Expedition juga mengadakan pemeriksaan kesehatan di Kampung Urbinasopen. Kegiatan itu digelar di depan Gereja Immanuel.
Dokter Lalu Rahmat Yuanda Aji, yang akrab disapa Nanda, salah seorang tenaga medis anggota ekspedisi, menemukan bahwa kondisi jari telunjuk Evelin sudah parah. Mata ikan itu juga bukan tak mungkin akan menyebar ke jari-jari lain. Perlu penanganan segera. Jika tidak, terpaksa amputasi harus dilakukan.
Dibantu perawat, Destyana, Dokter Nanda melakukan operasi kecil dengan peralatan yang sudah dipersiapkan tim ekspedisi. Kedua insan medis itu menghilangkan jaringan-jaringan yang sudah mati (debridement) pada telunjuk sang pasien, kemudian mensterilkannya dan memberikan salep Gentamicin di sekitar jari Evelin.
Walaupun sudah diberikan bius lokal sebelum tindakan operasi, Evelin nyatanya masih meringis kesakitan. Namun tekad yang kuat untuk sembuh membuatnya rela menahan rasa sakit itu sampai operasi selesai. Baginya, lebih baik sakit sebentar ketimbang harus terus-menerus tertekan karena memikirkan kondisi telunjuk tangan kirinya itu. Apalagi saat ini ia sedang dalam periode menyusui anak pertamanya.
“Mungkin Tuhan sudah memberikan jalan [agar] dokter ke sini,” ujarnya.
Dokter di Urbinasopen adalah pemandangan langka
Dokter adalah pemandangan langka di Urbinasopen. Warga kampung hanya mengandalkan mantri dan puskesmas jika mengalami masalah kesehatan. Untuk penanganan lebih lanjut yang membutuhkan pertolongan dokter, pasien mesti naik perahu selama sekitar tiga jam ke Waisai atau Sorong.
“Terakhir [kali] dokter datang ke pulau itu sepertinya lebih dari setahun yang lalu,” ungkap Evelin. “Apalagi dengan kondisi COVID-19 seperti ini,” imbuhnya. “[Dokter lebih jarang datang karena] mau keluar-masuk kampung orang sudah berhati-hati.” Jadi, begitu mengetahui ada rombongan yang hendak datang ke kampung dan menggelar pemeriksaan kesehatan, ia langsung menuju gereja dan mendaftarkan diri.
Menurut Dokter Nanda, setiap puskesmas seharusnya minimal mempunyai dua dokter umum dan dua dokter gigi serta perawat. Tapi, untuk daerah-daerah terpencil seperti Urbinasopen, kondisi ideal seperti demikian tentu saja terlalu utopis. Puskesmas dan mantri yang tersedia sudah cukup membuat penduduk bersyukur, apalagi ketika mereka sadar bahwa banyak kampung yang bahkan tak punya seorang pun petugas kesehatan.
Pentingnya edukasi tentang “sakit” kepada masyarakat
Selain infrastruktur, Dokter Nanda juga mengatakan bahwa pola pikir masyarakat tentang “sakit” juga harus terus diedukasi. Belum lagi soal kesadaran kesehatan masyarakat. Masyarakat masih cenderung menyepelekan penyakit. Padahal, jika bisa mengenali gejalanya sejak dini, penanggulangan penyakit akan menjadi lebih mudah. Ia mengambil contoh kasus Evelin. Seharusnya mata ikan itu bisa disembuhkan tanpa operasi. Namun, karena mata ikan itu dicoba ditangani sendiri, kondisinya jadi lebih parah.
Tim medis memeriksa 31 pasien di Urbinasopen. Menurut Dokter Nanda, orang dewasa di Urbinasopen rata-rata terkena osteoarthritis, penyakit yang biasanya dialami manusia berusia 50-an, bersifat degeneratif, yang diakibatkan oleh berkurangnya cairan sendi. Biasanya yang terkena adalah sendi-sendi besar seperti lutut. Yang cukup mengejutkan, ada pula warga yang sudah mengalami osteoarthritis pada usia yang baru sekitar 30-an. Dokter Nanda menyimpulkan bahwa itu terjadi karena aktivitas berlebihan dalam mengangkat beban.
Sementara itu, yang dialami anak-anak umumnya adalah gatal-gatal pada badan, terutama kaki. Penyebabnya adalah bakteri Gram-positif yang menjangkit karena gaya hidup kurang bersih dan tidak memakai alas kaki. Nyatanya, di Kampung Urbinasopen anak-anak memang bermain tanpa menggunakan alas kaki.
Menurut Dokter Nanda, “Kaki yang terluka sangat rentan terkena penyakit terluka apalagi di lingkungan yang tidak higienis, seperti mata ikan itu.”
Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id.
Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.