Rindu tercipta karena adanya sebuah perpisahan, dan bertemu adalah cara terbaik untuk mengobatinya. Kala itu, Oktober 2018 aku berada di ujung kebosanan. Mungkin pekerjaan yang terlalu menyita sebagian besar waktuku. Jika diingat ingat, sudah lama aku tidak mendaki gunung.
Adalah Zulma, sahabat dari Jogja yang mengajakku mendaki kali ini. Kami memang sudah merencanakannya ketika bertemu di Jogja sebulan sebelum pendakian. Kalau diingat-ingat, pendakian Gunung Sindoro tahun 2015 adalah terakhir kalinya aku mendaki bersamanya. Setelah itu tak ada pendakian bersama selanjutnya karena kesibukan masing-masing.
Kali ini kami akan mendaki Gunung Merbabu melalui jalur Gancik. Meski sudah pernah menapaki Puncak Kenteng Songo, namun rasanya, Merbabu mempunyai daya tarik yang membuat siapapun rindu untuk menapakinya lagi. Kami memutuskan untuk kembali.
Personil kami tambahkan 2 orang, Bang Rosso dari Solo— anggota Backpacker Joglosemar, dan Rosyid sahabatku dari Semarang, sama sepertiku. Sabtu pagi, kami menyempatkan untuk sarapan di pasar Selo. Sembari menunggu Zulma dan Bang Rosso yang belum datang, aku berkeliling pasar untuk membeli kebutuhan logistik. Tak lama kemudian, mereka tiba untuk menyapa kami. Usah membereskan urusan logistik di pasar, kami segera menuju Basecamp Mas Andi Gepenk. Setibanya di sana, terlihat tidak ada pendaki lain selain kami berempat.
Mas Andi menyambut kami dengan ramah, terlebih beliau sudah mengenal baik beberapa teman kami dari anggota Backpacker Joglosemar. Beliau menyuguhkan teh panas dan beberapa camilan untuk dihidangkan kepada kami disela-sela kesibukan kami saat mempersiapkan perbekalan. Setelah mengisi Simaksi, kami berdoa dan pamit kepada mas Andi. Dan perjalanan pun dimulai.
Di awal pendakian, kami melewati beberapa rumah penduduk dan hamparan perkebunan warga. Cukup luas, membentang di kanan kiri jalan. Beberapa tukang ojek menawarkan diri untuk mengantarkan kami hingga Gancik Hill, namun kami menolaknya secara halus karena kami tidak mengejar waktu.
Tiba di Gancik Hill, kami istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan menuju Pos 1. Dari ini, medan tanah landai menyambut. Sisi kanan dan kiri penuh dengan vegetasi pepohonan pinus. Perjalanan ini kurang lebih kami tempuh selama dua jam.
Sepanjang perjalanan kami habiskan dengan canda tawa dan saling melempar semangat. Primadona di rombongan kami untungnya tak terlalu manja, mungkin karena sudah terbiasa mbolang, pikirku.
Setelah menghisap sebatang rokok lintingan saat beristirahat di Pos 1, perjalanan kami lanjutkan dengan posisi aku berada di urutan paling belakang, Zulma di depanku, dan Bang Rosso menjadi leader kami. Beberapa kali kami rehat untuk mengatur kembali nafas yang tersengal, dan menyamakan ritme agar jarak tidak terlalu jauh. Dua jam berlalu, kami pun tiba di Pos 2. Matras digelar, kami pun melaksanakan kewajiban beribadah dan makan siang. Tak terasa, waktu menunjukkan 13.00 WIB.
Langit terlihat mendung, matahari siang pun tak mampu menembus awan. Wajar, musim hujan pikirku. Setelah perut terisi karbo dari roti dan camilan, kami lanjutkan perjalanan menuju Pos 3. Sesampainya di sana, kami disambut oleh gerimis yang semakin lama datang mengajak gerombolannya. Jas hujan menjadi pelindung sepanjang perjalanan ini. Dan akhirnya, kami bertemu dengan pendaki lain yang datang dari jalur Selo. Perjalanan terasa menyenangkan meski berjalan di bawah guyuran hujan yang sebentar reda sebentar datang.
Bermalam di Sabana 1
Beruntungnya, hujan reda setelah kami tiba di Sabana 1 yang berketinggian 2770 mdpl. Tenda didirikan di sebelah timur jalur pendakian dengan harapan bisa menikmati sunrise esok hari. Dua buah tenda berdiri tegak dan saling berhadapan dengan flysheet sebagai penyatunya. Memasak dan meracik kopi menjadi kegiatan seru sore itu. Ini adalah momen yang paling aku sukai ketika berada di perjalanan, terutama di gunung. Sayangnya tidak ada tetangga yang kami ajak bercengkrama, kebanyakan pendaki mendirikan tenda di sebelah barat jalur pendakian. Namun, kalau dipikir-pikir, kami jadi lebih akrab dan saling melepas rindu setelah sekian lama tidak bertemu.
Petang datang tanpa senja yang menjadi aba-aba. Hanya guratan merah samar-samar terlihat. Maghrib dan isya’ sudah kami tunaikan. Dan malam pun terasa khidmat ketika yang ada hanya suara deru angin. Dingin memaksaku keluar tenda dan menyeduh kopi, baru saja kompor kunyalakan, teman pendakianku menyusul dan bergabung di muka tenda yang berlangitkan flysheet.
Bulan mulai menampakkan rautnya ketika malam menjelang larut. Kami berempat mulai memasuki tenda. Satu tenda lain digunakan untuk menaruh barang dan logistik. Sayangnya, kami ceroboh dan lupa menutup tenda logistik. Alhasil, seekor Luwak berhasil merampas sebagian makanan kami. Kami menyadarinya ketika suara gemuruh mengganggu tidur. Dan saat kubuka tenda, luwak tersebut lari dengan membawa hasil curiannya. Apes sudah.
Kami pun melanjutkan istirahat dan bangun sebelum matahari muncul. Kami tunaikan dua rakaat, sebelum pada akhirnya kami mencari spot sunrise. Puas dengan matahari terbit, kami bergegas membuat sarapan sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak.
Menuju puncak Gunung Merbabu
Pagi sangat cerah. Gunung Merapi terlihat gagah di belakang kami. Sabana 2 terlewati, dan ternyata banyak pendaki yang mendirikan tenda di sana. Ritme langkah dua temanku semakin cepat. Karena disamping beban hanya logistik, mereka belum pernah mencapai puncak. Sedangkan aku dan Zulma memilih untuk berjalan santai. Sampai puncak ya syukur, tidak sampai ya tidak masalah.
Berkali-kali kami rehat di jeda perjalanan. Zulma bahkan sempat tertidur pulas di tepi jalur pendakian. Dan aku menunggunya sembari memakan kentang yang sudah kurebus tadi pagi. Kaki kami langkahkan kembali, dan tak terasa dua jam perjalanan kami lalui. Sampailah kami di Puncak Triangulasi 3142 mdpl dan bertemu dengan dua sahabatku.
Kami beristirahat dan membuka tas logistik demi kepentingan perut. Aku bahkan menyempatkan untuk menghisap rokok lintinganku, tembakau Madura yang kubeli dari salah seorang temanku. Sebelum turun ke camp ground lagi, kami menyempatkan untuk berfoto sebagai kenang-kenangan. Kulihat Zulma mengambil karung bekas yang berada di pinggiran puncak, sembari turun, kami memunguti sampah yang berada di jalur pendakian.
Di camp ground, kami memasak dan mengisi “bahan bakar” untuk perjalanan selanjutnya—turun ke basecamp. Aku mencoba merekam apapun yang ada di sini, udaranya, suasananya, serta orang-orangnya. Rasanya waktu berjalan lebih cepat, semuanya semakin cepat berlalu.
“Mencumbu Merbabu di ujung kisah. Menuntaskan temu di ujung pisah. Dalam senyumanmu yang selalu merekah. Anggun terbalut jaket merah. Semesta, bisakah kau ulur waktu sebentar. Agar rindu ini tak lagi terlantar. Bisakah kau buat biasa saja. Seperti pertama kali kunikmati senja. Bersamanya, di dataran tinggi Jogja.”
Afilian Ryan
Perjalanan turun yang kami lalui terasa sangat santai, penuh dengan cerita dan beberapa canda tawa. Dan sesekali mengambil sampah yang berserakan di jalur pendakian dan memasukkan ke dalam trash bag yang dibawa. Dan tak terasa, semua obrolan dan candaan mengantarkan kami sampai di basecamp.
Tepat pukul 15.00 WIB, kami rebahkan sejenak tubuh ini di rumah Mas Andi. Sebelum pada akhirnya kami mandi dan menunaikan Shalat Ashar. Cukup lama kami berada di rumah beliau, berbincang-bincang dengan Mas Andi dan keluarganya sebelum akhirnya memutuskan untuk berpamitan meskipun rasanya masih ingin berlama-lama di sana.
Kami benar-benar menikmati tiap detik yang berdetak. Karena apa yang terjadi hari ini, pasti akan kami rindukan di suatu saat nanti. Mungkin hanya lewat bingkai foto, atau beberapa potongan video. Sebuah perjalanan bersama sahabat lama, serta sahabat yang pernah menjadi sangat spesial. Kutitipkan lagi sebuah rindu ini di Merbabu. Entah esok atau kapan, akan kujemput rindu itu dalam sebuah pertemuan.
Pekerja lepas bidang pariwisata, pemilik usaha kedai kopi, pendiri sebuah komunitas bernama "Kopi Peduli." Tinggal di Kabupaten Semarang.