Travelog

Menilik Dampak Pagebluk di Raja Ampat

Sorong, Papua Barat, adalah tujuan pertama untuk menuju Raja Ampat. Di kota ini, September lalu, tampak sekilas bagaimana warga setempat merespons pagebluk alias pandemi COVID-19 yang sedang terjadi. 

Su dikasih denda 500 ribu kalau tra pake masker, tetap saja tra ngaruh,” ujar Rezky, sopir usaha rental mobil yang mengantar ke hotel dari bandara Domine Eduard Osok, Sorong, Papua Barat. 

Rezky mengeluhkan respons warga terhadap COVID-19. Menurutnya, masyarakat Kota Sorong masih cenderung abai terhadap pandemi. Protokol kesehatan yang digaungkan pemerintah daerah seperti belum masuk ke dalam perhatian mereka. Masyarakat beraktivitas seolah-oleh wabah corona tidak ada. 

Padahal, kasus COVID-19 di Sorong tidak bisa dikatakan rendah. Menurut laman Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat, per 9 September 2020 terdata sebanyak 120 suspek di Sorong, dengan 4 orang diisolasi dan 116 suspek discarded

Sejak kemunculannya di Indonesia awal Maret 2020, belum ada tanda-tanda jika pagebluk COVID-19 akan segera mereda. Sebaliknya, semakin ke sini statistik kian menunjukkan peningkatan.

Di laman kawalcovid19.id, per 10 September 2020 (saat tulisan ini dibuat) sudah 203.342 orang yang terpapar COVID-19 dan 8.336 di antaranya telah meninggal. Kasusnya pun sudah tersebar merata ke 34 Provinsi di Indonesia, termasuk Provinsi Papua Barat. Menurut catatan Satuan Gugus Tugas Covid-19 Papua Barat, per 9 September 2020 telah ada sekitar 1720 kasus suspek dan 1.149 kasus positif dengan 41 orang meninggal dunia.

Wabah ini tentu saja takkan bisa diatasi jika yang bertindak hanya satu pihak saja. Pemerintah tentunya tidak bisa menekan penyebarannya jika kita sebagai masyarakat tidak disiplin dalam mentaati protokol kesehatan. Idealnya memang semua stakeholder harus terlibat, termasuk masyarakat sendiri. Namun, entah apa sebabnya, penanganan COVID-19 ini masih jauh panggang dari api.

Sama seperti  yang terjadi di kota-kota lain di Indonesia, efek dari COVID-19 ini pun mulai benar-benar terasa. Pekerja dirumahkan, usaha wisata mulai banyak yang tutup, transportasi logistik antardaerah menjadi sulit. 

Menurut informasi dari seorang narasumber di bandar udara, Susi Air bahkan menutup penerbangan dari dan menuju Bintuni karena kuncitara (pembatasan) diberlakukan di sana.

Ekspedisi ke Raja Ampat

Perjalanan kali ini memang terasa berbeda. Bukan untuk sekadar menelusuri wilayah Raja Ampat, keberangkatan kami ada di bawah “payung” ekspedisi bersama EcoNusa, sebuah organisasi pengelolaan sumber daya alam dan masyarakat adat Indonesia timur, Tujuannya, menjadi bagian dari upaya memberikan dukungan kesehatan, ketahanan pangan, dan penguatan pelaku wisata yang terdampak pandemi. 

Tim ekspedisi berencana mengitari perairan Kepulauan Raja Ampat selama 15 hari, mulai tanggal 10 September sampai 25 September 2020 dengan sebuah kapal live on board sepanjang 23 meter keluaran tahun 2015, Kurabesi. 

Kegiatan ini menyasar 13 wilayah yakni Arefi, Saukabu, Selpele, Arborek, Sawingrai, Kri, Sapokren, Waisai, Urbinasopen, Mayaifun, Kalyami/Kaliam, Solol, dan Amdui. 

Cory Adriani Kapa bertugas jadi pemimpin proyek (project leader) ekspedisi ini. Dalam technical briefing ia menjelaskan tiga poin agenda ekspedisi ini. Mulai dari penyuluhan kesehatan, penyuluhan pertanian organik dan sosialisasi ekowisata. 

Rencananya, dari aspek kesehatan akan termasuk pemberian bantuan puluhan baju alat pelindung diri (APD), ribuan masker kain, ratusan masker medis, ratusan pelindung wajah (face shield), dan puluhan alat tes cepat (rapid test), t-shirt, dan buku saku tentang COVID-19.

Sedangkan untuk pertanian organik, Cory berharap ini bisa mendukung ketahanan pangan.  Tim menyiapkan 3.500 benih tanaman, 645 kemasan pupuk, dan 100 alat pertanian (cangkul, gerobak, spray, dll.).

Dan untuk ekowisata, bersama dengan asosiasi homestay Raja Ampat, tim menyiapkan atap daun sagu (300 unit) dan dinding (250 unit) untuk keperluan renovasi penginapan yang rusak di enam wilayah.

Seusai technical meeting, awak ekspedisi bergerak ke Pelabuhan Usahamina untuk memulai perjalanan. Tak bisa dihindari, muncul pertanyaan ini: Apakah ekspedisi ini akan “semanis” dugaan kami di awal atau justru malah lebih “pahit” dari perkiraan? 

Catatan Redaksi: Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Menyelesaikan Skripsi Semasa Corona