Sarapan kami, ubi rebus plus sambal bawang bersaus tomat, tadi disiapkan Kaka Beyum Antonela Baru di rumah panggung yang dijadikan dapur. Kami menikmatinya bersama teh hangat di depan rumah Mama Agustina Tahoba sambil memandang kabut yang turun perlahan menyelimuti hutan Kampung Seya.

Sudah dua kali Tim Ekspedisi mampir ke kampung yang jauh ini, menunaikan program memberikan dukungan terhadap pemberdayaan masyarakat adat. Distrik Mare sendiri sebenarnya susah dicapai. Hanya mobil gardan-ganda yang berani masuk ke sini. Akses jalan memang masih belum memadai, terlebih saat hujan. Jika tak hati-hati, kendaraan bisa terkurung dalam lumpur. 

Namun di balik itu, Kampung Seya ini—dan Kampung Rufase di sebelah—sebenarnya punya kelebihan dibanding Suswa, Ibu Kota Distrik Mare, bahkan Kumurkek, Ibu Kota Kabupaten Maybrat. Sinyal 4G di wilayah kedua kampung ini lebih bagus dari tempat-tempat itu. Akses fisik yang susah seakan-akan dikompensasi oleh akses virtual yang mudah.Maybrat, Raja Ampat

Distrik Mare masih terus berbenah

Selama ini masyarakat masih mengandalkan pekerjaan dari dana desa dan membangun infrastruktur juga dengan Dana Desa. Selain berkebun, mencari gaharu di hutan menjadi kegiatan sehari-hari mereka.

Kaka Beyum sendiri sudah lebih dari 18 bulan menjadi relawan pengajar untuk PAUD di Distrik Mare. Kondisi pendidikan di kampung sangat memprihatinkan. Sekolah Dasar hanya punya tiga orang guru PNS dan seorang guru honor. Awalnya, operasional PAUD berjalan dengan program Dana Desa tahun 2019. Sayangnya, penggunaan Dana Desa untuk PAUD tak diteruskan pada 2020. 

“Mama dorang yang jadi relawan pengajar sudah tidak dibayar, tapi mereka tetap dampingi anak-anak PAUD,” jelas Kaka Beyum.Maybrat, Raja Ampat

Membangun ekonomi kreatif Distrik Mare

Atas dasar itulah Kaka Beyum dan beberapa relawan berinisiatif membangun ekonomi kreatif kampung. Karena dengan inovasi menurut Kaka Beyum ada potensi di Distrik Mare yang bisa dikelola. Sebab, jika nantinya roda ekonomi kreatif itu berputar, hasilnya tentu dapat membantu para mama untuk tetap bertahan sekaligus mengajar generasi penerus.

Sebelumnya, masyarakat sudah berupaya meningkatkan ekonomi dengan memaksimalkan hasil kebun. Mereka beramai-ramai menanam rica, kacang merah, bayam, tomat, dan sawi. Hasilnya cukup memuaskan panen besar. Namun akhirnya mereka mengalami kendala dalam sisi transportasi untuk menjualnya. Sehingga terbuang sia-sia.

“Kami sampai membuang-buang hasil panen karena terlalu banyak di kebun. Mau jual juga ke mana. Mobil keluar-masuk perlu duit banyak,” jelas Wilhemus Bame, kepala Kampung Seya. Selain perkara transportasi, yang membuat usaha mereka itu gagal adalah pengolahan hasil panen yang belum maksimal.

Tim Ekspedisi ditemani Kaka Beyum melihat beberapa kebun milik masyarakat. Pagar-pagar dari batang kayu panjang membentang seperti benteng mengelilingi kebun, sengaja dibangun untuk menahan babi hutan dan rusa agar tak memakan tanaman.Maybrat, Raja Ampat

Salah satu kebun yang kami kunjungi adalah milik Mama Orpa Nauw. Mama Orpa menunjukkan sereh (serai) wangi yang baru saja ditanamnya. Menurut Kaka Beyum, sereh wangi memang sedang menjadi fokus utama dan diharapkan dapat jadi komoditas menguntungkan. Rencananya, sereh wangi akan diolah sampai menjadi minyak atsiri. Yang perlu dilakukan sekarang adalah mulai mempromosikan komoditas tersebut. Dengan akses internet yang ada, Kaka Beyum yakin sereh wangi akan berkembang menjadi komoditas unggulan Distrik Mare.

Upaya dari akar rumput ini barangkali akan terbantu seandainya pihak-pihak terkait ikut berpartisipasi dengan cara membangun akses dan sistem transportasi yang lebih baik.


Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id. 

Tinggalkan Komentar