Setelah semalaman terombang-ambing di atas ferry Sape-Labuan Bajo, nasib menuntun kami ke sebuah warung kopi dekat pasar ikan. Sekitar bulan Agustus 2014 kala itu.
Tapi jangan bayangkan warung kopi canggih seperti di kota-kota besar. Di sana cuma ada kopi sobek. Nekat memesan espresso atau cafe latte, kamu hanya akan jadi bahan tertawaan.
Sebentar saja saya dan Tue nongkrong di warung kopi itu, kami sudah berbincang-bincang dengan beberapa orang. Beruntungnya, ada satu orang yang ternyata adalah nakhoda ojek kapal menuju Pulau Komodo. Namanya Jaharuddin, biasa dipanggil Bang Deon.
Duduk di atas kotak “sound system”
Tapi, kata Bang Deon, mulai nanti malam di Pulau Komodo akan berlangsung pesta pernikahan.
Karena yang menikah adalah anak dua orang pembesar, pestanya lumayan besar-besaran. Saking besarnya, keesokan hari tak akan ada kapal yang berangkat dari Komodo ke Labuan Bajo. Artinya, kami akan terdampar beberapa hari di Pulau Komodo—tak masalah.
Setelah beres-beres, kami ikut Bang Deon ke dermaga. Rasa-rasanya seperti berada dalam adegan Love in the Time of Cholera. Pasar ikan itu begitu semarak. Penjual dan pembeli riuh rendah melakukan transaksi.
Ternyata kapal Bang Deon disewa untuk membawa sound system pesta pernikahan itu. Beberapa orang sudah ambil posisi di dek ojek kapal. Ada yang duduk di haluan, buritan, ada juga yang lebih senang duduk di atas kotak-kotak berisi sound system.
Saya dan Tue ambil posisi di pinggir, di atas salah satu kotak. Setelah semua penumpang naik, Bang Deon menghidupkan mesin kapal. Asap mulai keluar, suara ritmis mulai terdengar, kemudian kapal melaju ke arah barat menuju Pulau Komodo.
Ojek kapal rasa pesiar
Roda keberuntungan saya sepertinya mulai berputar. Cuaca cerah sekali saat kapal kecil itu menelusuri perairan sebelah barat Pulau Flores.
Di atas, langit amat biru dan hanya sesekali ditutupi oleh gemawan. Sementara itu, di bawah, air laut juga tampak biru. Ketenangan samudra hanya diganggu oleh perahu-perahu yang sesekali melintas.
Untuk perjalanan selama sekitar tiga jam ini, kamu hanya perlu membayar Rp 20.000. Ongkosnya bisa murah karena ojek kapal ini adalah kendaraan reguler yang sehari-hari membawa penduduk Kampung Komodo ke Labuan Bajo.
Ukurannya hampir sama dengan kapal-kapal sewaan yang biasa membawa wisatawan. Hanya saja, alih-alih mengantarkanmu ke titik-titik turistik seperti Pantai Pink atau Pulau Padar, ojek kapal akan menyandarkanmu ke dermaga sebuah desa di Pulau Komodo.
Di tengah jalan, mesin kapal kecil itu sempat mati sekitar lima belas menit. Tapi insiden itu tak mengundang gerutu. Siapa yang akan menggerutu saat terombang-ambing di antara deretan pulau-pulau yang indahnya bukan main?
Urusan mesin beres, perahu itu kembali mengusik ketenangan samudra. Saat mata saya mulai silau oleh pantulan sinar matahari, perahu itu akhirnya sandar di dermaga kayu Kampung Komodo. Cerita waktu saya di Pulau Komodo sudah pernah dimuat di sini.
Perjalanan pulang yang mendebarkan
Singkat cerita, saya dan Tue harus kembali ke Labuan Bajo untuk meneruskan perjalanan. Tue akan ke rumah pamannya di Labuan Bajo, sementara saya—setelah menginap satu malam di rumah paman Tue—akan lanjut sendiri ke Bajawa, Ende, Moni, dan Maumere.
Kami menumpang perahu yang sama, tapi minus Bang Deon yang kurang enak badan setelah dua malam berturut-turut menghadiri pesta. (Saya juga sempat ikut pesta dansa bersama anak-anak muda Pulau Komodo.)
Meskipun naik perahu yang sama, suasana perjalanan kembali ke Labuan Bajo itu berbeda 180 derajat.
Di awal-awal perjalanan, gelombang masih biasa-biasa saja. Tapi, saat sudah agak jauh dari Pulau Komodo, laut jadi semakin menggelora sampai-sampai kami harus berpegangan erat pada apa saja yang bisa dipegang.
Orang-orang yang duduk di haluan disuruh merapat ke dek—terlalu berbahaya. Dalam hati saya berdoa supaya mesin kapal tidak mati di tengah jalan. Mesin mati di tengah-tengah gelombang seperti itu hanya akan bikin repot.
Kalau dihitung-hitung, barangkali sekitar dua jam kapal kami dipermainkan gelombang. Semakin dekat ke Pulau Flores alun kian melunak.
Lucunya, sebelum sandar di dermaga pasar ikan, sempat-sempatnya ada penumpang yang membeli seikat ikan tuna segar yang baru saja tiba di pasar ikan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.