Untuk memulai tulisan ini, saya akan bercerita tentang satu pengalaman ketika kecil dulu. Satu dari beberapa kenangan yang teringat. Barangkali usia saya saat itu empat tahun.
Saya kecil suka sekali dengan serial televisi Airwolf. Saya berusaha untuk tidak melepaskan satu episode sekali pun. Namun, suatu siang, ibu saya marah besar, yang entah karena apa saya lupa, dan menyuruh saya untuk tidur siang. Sementara serial tentang helikopter berwarna hitam itu hendak ditayangkan di salah satu stasiun televisi.
Saya menangis sejadinya karena itu dan mengguling-gulingkan badan di lantai, berjanji pada diri sendiri untuk tidak akan tidur siang.
Anehnya, setelah isak tangis itu dirasa reda, saya tidak ingat apa-apa lagi. Hanya menyadari kemudian, ketika mata terbuka, saya baru saja terbangun dari tidur yang tak disengaja di atas lantai.
Ya, menangis adalah salah satu cara untuk melepaskan energi.
Sontak, saya melihat arloji di dinding. Hari sudah sore. Helikopter hitam Airwolf sudah terbang entah ke mana dan sore berjalan seperti biasa; menuju malam.
Barangkali, ya, barangkali, cerita saya di atas menjadi analogi yang sesuai dengan keadaan saat ini; ketika virus COVID-19 menghantam Bumi. Saya kecil seperti manusia-manusia yang dipaksa untuk tidur sejenak, sementara ibu saya hendak melakukan sesuatu yang, barangkali, hanya bisa dilakukan ketika saya tidur.
Bumi itu ibu. Ia tahu apa yang dikerjakan dan bagaimana ia menyelesaikan tugasnya. Bumi adalah secarik puisi yang mengalir pada sungai dengan batu-batu kerikil.
Seorang sastrawan besar pernah menulis bahwa manusia adalah binatang paling kejam di muka bumi. Ia bisa melakukan apa saja demi nafsunya, demi perutnya, bahkan mampu melupakan ibunya sendiri, sampai akhirnya ada gema suara sang ibu yang mampu mengubah seorang anak menjadi batu.
Orang lain berkata juga bahwa Bumi ini semestinya tidak dihuni oleh manusia. Biarkan Bumi menjadi rumah bagi hewan dan tumbuhan saja.
Saya menjawabnya dengan mengutip Romo Mangun. Kurang lebih begini, Bumi tanpa manusia hanyalah bejana tanpa isi; kosong. Alam dan peradaban itu indah karena kebudayaan. Sementara kebudayaan hanya bisa dilakukan oleh manusia dengan segala indera yang dimiliki.
Bagi saya, pandemi korona ini luar biasa. Orang-orang beropini sesuai selera. Ada yang bilang ini azab; ada yang mencampur-adukkan dengan politik, menghakimi pemerintah. Namun, bisakah kita tidur siang saja?
Selama ini kita selalu berlomba untuk bangun pagi, mandi, bersiap-siap, lalu berangkat menuju tempat aktivitas masing-masing. Seharian kita bekerja lalu pulang dengan mata yang lelah. Berulang selama lima hari lamanya, berulang tiap minggunya, tiap bulannya, bahkan tahunan. Jenuh.
Corona memaksa kita untuk memutus rutinitas itu, kita merasa terpenjara dalam rumah sendiri. Orang-orang dirumahkan, dan bagi seorang pekerja lepas seperti saya beberapa proyek terpaksa berhenti. Roda berputar melambat.
Lalu, kita berlomba untuk melakukan apa saja selama berada di rumah, menghilangkan kejenuhan, sementara kita terus berjuang agar roda terus berputar meski lambat.
Ada yang kemudian mengolah kegemaran seperti memasak lalu menjualnya. Atau hanya sekadar berbagi resep. Ada pula yang kembali rutin menggambar seperti yang saya lakukan, bermain alat musik, bercocok tanam, menjahit, atau apa pun, tak ada yang salah. Bahkan, kau bisa menemukan dirimu sendiri.
Lalu, kita akan kembali mengeluh jenuh. Ingin keluar.
Saya kecil paling benci tidur siang, yang sepertinya dirasa juga oleh banyak anak kecil. Namun, ketika dewasa, kita berlomba untuk bisa tidur siang, mencuri waktu satu-dua jam untuk mundur dari deadline laptop di atas meja kerja.
Maka, saya hendak mengajakmu untuk tidur siang, sebentar saja. Mengajak untuk membayangkan tentang rasa lega yang entah apa ketika terbangun pada sore hari, lalu beranjak ke dapur untuk menyeduh secangkir kopi.
Kau kemudian berjalan menuju teras, atau ruang makan, kamar, atau di mana pun, dengan pikiran kosong. Lalu, kau hanya duduk dan melamun lagi sembari melihat cairan kopi buatanmu itu memutar sehabis diaduk, menyaksikan butiran halus kopi perlahan tenggelam dan mengendap di bawah segara hitam, lantas mengingat-ingat apa yang telah kau lakukan seharian ini.
Barangkali kau merasa bahwa hari ini berjalan seperti biasa, tidak ada yang istimewa. Atau kau sadar bahwa ada asap tipis menguap dan menari dari cangkir kopi yang kemudian oleh bias cahaya matahari tampak indah dipandang. Atau kau kemudian menyadari bahwa itulah saat-saat terjernih, tidak memikirkan apa-apa, dan rasanya menyenangkan. Kau akhirnya sadar bahwa ada burung yang memang setiap harinya berkicau, kau mendengar guguran daun yang tersapu oleh angin pada jalan di bawah langit April yang indah.
Taoisme menyebutnya laku wuwei: keadaan tidak melakukan apa-apa. Namun, di balik sesuatu yang tampak nihil itu, banyak hal terjadi, tanpa pernah kau sadari bahwa itu berharga.
Jika kau gelisah karena kejenuhan, bingung hendak melakukan apa, jangan dipaksa. Mundurlah, berhentilah. Duduklah sebentar, bernapaslah dalam. Dengarlah puisi pada riak air yang jernih itu.
Bagi saya, tidak apa untuk tidak melakukan apa-apa, di rumah, karena pada dasarnya rumah adalah satu-satunya tempat yang akan membuatmu baik-baik saja. Di rumah itu pulalah kau bisa mundur sejenak untuk mengumpulkan ancang-ancang sehingga kau kuat berlari kencang di kemudian hari.
Kali ini kita harus benar-benar memeluk Bumi. Dengarkan ia bicara, bernapas, bergerak, dan bekerja. Karena sungguh betul ia hidup.
Corona mengajarkan saya, dan barangkali kita semua, bahwa manusia tidak bisa berkuasa atas Bumi, seperti seorang anak kecil kepada ibunya. Pandemi ini seperti menyadarkan manusia, yang sebelumnya ingkar, bahwa perubahan iklim dan kerusakan lingkungan itu nyata.
Saat ini Bumi sedang meremajakan tubuhnya, sedang tidur siang, agar peradaban yang tersisa bisa terus berlangsung indah dengan kebudayaan. Seperti seekor ular yang mengelupaskan kulitnya. Seperti pohon-pohon menggugurkan daun-daun untuk membiarkan yang baru tumbuh. Sejatinya, hanya bencana yang mampu menidurkan peradaban manusia sejenak saja, atau barangkali, ya, barangkali, selamanya.
Yang kuat yang akan bertahan. Begitulah hukum alam.
Syahdan, pada buku Canting, Arswendo menulis, “Kepasrahan—penyerahan secara ikhlas—adalah sesuatu yang wajar. Bukan kalah. Bukan mengalah.”
Kadang kala, pasrah adalah cara untuk bertahan.
Selamat tidur siang.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Mengalir sampai jauh. Terbang hingga menghilang.
Nice thoughts!
Iya, Bumi memang butuh istirahat dan rehat sejenak dari keriuhan yang terjadi selama ini.
Selamat Hari Bumi!
Terus menggores pena di atas kertas,jadi kan goresan2 itu menjadi gambar kehidupan yang memang layak untuk kehidupan