Itinerary

Q&A: Obreng dan “Skripsi” tentang 18 Gunung

Saya berkenalan dengan Zeni Bayu Sukma bulan Juli 2013 di Indomaret dekat pertigaan menuju pintu masuk Gunung Gede-Pangrango. Rambutnya gondrong dan celananya sobek di lutut.

Ia kedinginan karena terlalu lama menunggu kami. Benny, kawan baik saya yang mengetuai pendakian itu karena ia memang tua, kemarin memberi tahu Zeni bahwa kami akan tiba dari Jakarta jam 9 malam. Zeni yang tinggal di Bandung sudah tiba di pertigaan itu sejak jam 8 malam; kami baru tiba sekitar jam 3 pagi keesokan harinya. Artinya, ia sudah menunggu sekitar 7 jam.

Tapi ia tidak mempermasalahkannya. Pagi itu kami memulai pendakian dengan ceria meskipun melangkah dalam keadaan mengantuk; waktu yang seharusnya kami habiskan untuk istirahat di Mang Idi malah kami buang-buang dengan mengobrol dan minum kopi sampai pagi.

Seturun dari Pangrango, saya sudah memanggil Zeni dengan nama lapangannya: Obreng. Sejak itu kami sering naik gunung bersama. Ia tak pernah kehabisan cerita. Salah satu ceritanya yang bikin penasaran adalah soal “skripsi” yang harus dia susun sebelum diangkat jadi anggota penuh di organisasi pencinta alamnya. Karena ia belum cerita banyak soal itu, untuk mengobati rasa penasaran, saya mewawancarainya via WhatsApp. Inilah obrolan singkat kami.

Obreng saat “long march” Manglayang-Bukit Tunggul tahun 2016/Istimewa

Sejak kapan maneh [kamu] naik gunung, Breng?

Mulai naik gunung sejak kelas 3 SMP, Jo. Umur berapa tuh 3 SMP, 15-an lah, ya.

Apa yang bikin maneh naik gunung kelas 3 SMP dulu? Maneh 3 SMP berarti tahun 2005? 2006? ‘Kan dulu naik gunung belum tren.

Mungkin karena setiap hari ngeliat gunung, ya. Bandung ‘kan dikelilingin sama gunung. Lama-kelamaan penasaran juga; ada apa, sih, di sana tuh.

Iya, tahun 2005-2006. Dulu yang ngetren tuh minjem motor orang tua buat keliling perumahan. Tertariknya murni karena rasa penasaran.

Kalau pop culture? Maneh nggak terpengaruh sama film-film kayak Gie?

Film Gie tahun 2005, ya. Tertarik sebenernya sama gunung yang di film Gie. Tapi dulu belum kepikiran untuk pergi ke Mandalawangi yang legendaris atau Mahameru yang fenomenal. Nggak tau gimana cara untuk ke sananya. Terus, pertama naik gunung itu belum kepikiran peralatan apa aja yang dibawa—‘kan naiknya pagi pulang siang. Modal penasaran sama sedikit nekat, ya. Tapi, waktu pertama naik, aing [aku] targetnya kalau satu jam sebelum tengah hari belum sampai ke puncak mau nggak mau musti turun lagi.

Maneh pertama naik gunung apa, sih? Siapa yang ngajak? Bareng siapa aja?

Aing pertama naik gunung … pastinya [gunung yang] kelihatan dari jarak pandang Kota Bandung. Kalau Tangkuban Perahu ‘kan nggak mungkin; tempat wisata. Gunung Puntang, kejauhan. Asalnya mau ke Gunung Burangrang, cuman ongkosnya mahal. Jadi [akhirnya] ke Gunung Manglayang; dua kali naik angkot, satu kali naik ojek.

Yang ngajak aing sendiri, bareng temen SD aing namanya Agy. Dia anak guru Olahraga. Lumayanlah kalau ada apa-apa bisa diandelin orangnya. Untungnya Gunung Manglayang bisa pergi pagi pulang sore. Jadinya modal nasi bungkus [aja] aman, walaupun sepatu sekolah jadi korbannya. Yang bisa diabadikan sayangnya hanya kenangan dua anak SMP naik gunung pertama kali.

Pertama ke sana ada pos asal jadi, [yang] minta retribusi Rp1.500 untuk asuransi dan tiket masuk. Nggak diminta KTP. Kartu Tanda Pelajar, bukan “penduduk,” ya. Dikasih tau check-point-nya apa aja. Untungnya Gunung Manglayang check-point-nya jelas, soalnya check-point alam, Batu Lawang, [yang] dari artinya juga “pintu yang terbuat dari batu.” Ternyata pintunya besar banget.

Maneh belum pernah ke Manglayang, ya, Jo? Kalau treknya, maneh bayangin aja Ciremai. Tengah-tengah treknya [ada] jalur air kecil, jadi kaki jauh-jauh ngelangkah kiri-kanan [mengangkang]. Sebelum sampai puncak ada bonus spot bisa buat lihat Jatinangor, Cibiru, sama Bandung. Di puncaknya ada sepetak makam. Nah, karena Manglayang itu gunung favorit, sekarang kalau ke sana ada “banyak jalan menuju Roma.“

Menghangatkan diri dengan api unggun di Gunung Manglayang, 2009/Istimewa

Berarti maneh nggak kapok naik gunung to abis dari Manglayang?

Nah, aing nggak kapok. Tapi temen aing kapok. Karena temen aing itu kapok, mau nggak mau aing harus nyari temen naik gunung yang lain. Makin penasaran malahan—

Bentar, ya, Jo. Jemuran aing terbang.

Akhirnya aing berpikir, nyari temen agak repot [buat] nemu yang “sejalan.” Terus aing nyari organisasi penggiat alam, deh.

Jadi karena itu maneh masuk Kelompok Pencinta Alam (KPA)?

Ya. Harus nyari kawanan yang sejalan biar bisa jalan jauh. Satu serigala tidak akan bisa berjalan jauh, tapi kawanan serigala bisa.

Satu serigala tidak akan bisa berjalan jauh, tapi kawanan serigala bisa.

Maneh masuk KPA tahun berapa berarti?

Tahun berapa, ya? Naik ke SMA, 2006 itulah, [waktu] liburan panjang anak SMP mau masuk SMA. Nggak sepanjang sekarang, sih, liburannya.

Dulu waktu masuk yang daftar ada 14 orang. Aing paling kecil. Yang di atas aing, yang beda setahun, ada yang udah om-om, mungkin 28 tahunan dia. Dulu ditanya, kenapa dia umur segitu [baru] mau belajar kegiatan alam. Katanya, “Mau nyari jati diri.” “Terus selama ini jati diri kamu di mana?” ditanya sama pengurus [yang terus ngeledekin kalau] jati dirinya dicolong orang.

Terus maneh nggak disuruh pulang aja pas mendaftar itu?

Nggak, Jo. Nggak ada batasan umur minimal katanya.

Gimana proses pendidikan di KPA itu, Breng? Tahapannya apa aja sampai maneh bisa jadi anggota penuh?

Prosesnya sama seperti organisasi pencinta alam tahun segituan, Jo. Pertama interview. Habis tanya jawab kita dikasih selebaran yang isinya jadwal kegiatan yang akan dilakukan untuk calon anggota beserta rincian biayanya. Biayanya untuk [meng-]cover kegiatan kita semuanya. Nah, selebaran itu wajib di-TTD sama orang tua—kecuali om-om yang tadi.

Setelahnya kita ada materi diklat. Kita ada kelas di sanggar. Di kelas itu kita dikasih ilmu yang berhubungan langsung dengan kegiatan di alam, mulai dari jenis-jenis alam, karakteristik alam, navigasi darat (IMPK), rencana perjalanan, PPDG [Pertolongan Pertama Gawat Darurat], sampai ilmu yang paling banyak cabangnya: ilmu bertahan hidup. [Kita diajarin] membuat bivak; dibuatnya harus bagaimana, di mana, seperti apa menyalakan api, mencari makanan, memasak, menentukan arah mata angin, mencari pertolongan, dll.

Setelah ilmu di kelas, ada kelas singkat berenang, memanjat, dan turun vertikal. Yang nggak bisa berenang, wajib bisa. Baru habis itu jeda satu minggu mempersiapkan diri untuk kegiatan diklat di lapangan. Ya, lulusan pencinta alam pasti tau serunya kegiatan diklat lapangan anggota baru seperti apa. Kegiatan diklat lama waktunya ditentukan oleh masing-masing organisasi. Kalau organisasi ini juga lama waktunya ditentukan oleh komandan lapangan. Rentang waktunya antara 3 hari hingga 30 hari. Mantap, ‘kan?

Setelah diklat lapangan selesai, ada inagurasi yang namanya long march, pulang dari tempat diklat ke sanggar dengan cara jalan kaki sambil nyanyi-nyanyi, mirip tentara. Habis itu upacara pelantikan.

Sampai di situ belum selesai kita jadi anggota. Kita masih anggota cupu, yang disebut dengan “anggota muda” (amud), anggota yang masih memerlukan bimbingan dari anggota penuh. Kenapa ada [tahap] amud? Karena tanggung jawab seorang pencinta alam itu besar. Salah sedikit bisa-bisa satu organisasi [ikut] bertanggung jawab. Untuk jadi anggota penuh, kita harus mencari anggota penuh yang mau membimbing kita. Ya, anggap aja kita mahasiswa mau skripsi minta bantuan dosen. Bimbingannya nanti sesuai tujuan kita mau ke mana.

Di organisasi pencinta alam sering ada pembagian divisi. Di KPA aing ada Hutan Gunung—paing keren, self-proclaimed; Tebing Sungai Rawa Gua; Laut dan Pantai; sama Sosialisasi dan Kebudayaan. Kalau aing milih Hutan dan Gunung. Ya [jadinya] harus main ke hutan dan gunung.

Proses tahapan masuk satu bulan. Proses menjadi anggota, ya, tergantung. Mahasiswa aja lulus di waktu yang tepat bukan tepat pada waktunya.

Obreng meniti Jembatan “Shirathal Mustaqim” Gunung Rakutak/Ajo

Jadi, supaya bisa dilantik sebagai anggota penuh, maneh mesti latihan gunung, terus nulis skripsi?

Bukan latihan gunung; mengenal gunung.

Iya, sih, ya.

Kita kan niatnya mau jadi pencinta alam, nih. Mau sering naik gunung. Kalau belum kenal ‘kan nanti malu-malu. Kalau udah kenal ‘kan seru. Udah tau karakteristiknya, ada apa aja di sana, apa yang harus dihindari, apa yang harus dipatuhi. Sebenernya melatih mental kita supaya terbiasa dengan keadaan pada saat berada di gunung atau di hutan. Kalau mental kita sudah bisa beradaptasi maka [kita] dapat mengembangkan pola pikir, meminimalisir kesalahan ketika mengambil keputusan, atau menghindari rasa panik. Terus nulis—bisa dibilang, sih, skripsi. Nulisnya, ya, tentang gunung yang dijelajah. Kayak bikin Wikipedia mini khusus gunung.

Maneh dulu milih tema apa buat “skripsi” itu?

“Rencana dan Pendakian Gunung-gunung di Jawa Barat.” Meski akhirnya nggak bisa semua gunung di Jawa Barat tercapai, tapi aing cukup puas.

Gunung di Jawa Barat? Berapa gunung ini berarti?

Iya, gunung di Jawa Barat juga udah banyak. Total yang dijelajahi ada 20 gunung, yang ditulis cuman 18 gunung. Yang 2 [lagi] bingung mau nulis [soal] apa.

Dulu kenapa [aing] nggak [milih] foto gunung aja, ya? Jadi nggak usah dijelajahi, foto aja dari jauh. Ceklek!

Maneh kesambet atau gimana dulu pas dapat ide menjelajahi 20 gunung itu?

Bukan kesambet. Dulu niatnya biar naik gunung ditemenin sama pembimbing. Jadi [nanti] tau ke sananya harus naik apa dan gimana. Idenya bagus ‘kan? Hitung-hitung [dapat] guide gratisan. Tujuannya biar nanti kalau mau ke sana lagi udah ada panduannya. Dulu susah cari informasi catatan perjalanan. Kalau sekarang ada di YouTube. Itu, sih, yang aing rasain makanya muncul ide gila seperti itu.

Tujuannya biar nanti kalau mau ke sana lagi udah ada panduannya.

Gunung-gunungnya apa aja omong-omong, Breng? Jadi penasaran aing.

Kalau berurutan aing udah lupa, nih. Ngacak aja, ya, jo. Kebanyakan di Jawa Barat itu gunungnya sekitaran Bandung. Jadi, aing tulisin sama daerahnya [sekalian] aja, ya: (1) Ciremai—legend, nih—di Linggarjati, Kuningan; (2) Gede dan (3) Pangrango, Cianjur; (4) Gunung Salak. Cuman dua kali tuh aing ke situ. Kapok. Gunung Salak regionalnya Sukabumi; (5) Papandayan, Garut; (6) Cikuray, Garut; (7) Galunggung, Tasikmalaya; (8) Bukit Tunggul, Cibodas; (9) Gunung Putri, Lembang—tempat kemping favoritnya si Benny [letaknya] sebelum Gunung Putri ini; (10) tower Gunung Tangkuban Perahu, Lembang; (11) Burangrang, Cimahi; (12) Gunung Puntang Kab. Bandung; (13) Gunung Wayang; (14) Gunung Windu. Wayang sama Windu tuh sebelah-sebelahan kayak Gede-Pangrango. Ada di Pangalengan, Kab. Bandung. Keren lanskapnya; kebun teh sejauh mata memandang; (15) Gunung Rakutak. Rakutak tau lah, Jo; (16) Gunung Patuha, Kawah Putih; (17) Gunung Malabar. Gunung Malabar, ya, temennya Puntang. Malabar puncaknya banyak. Puntang sama Malabar juga sebelah-sebelahan. Kalau Puntang sebelah barat, Malabar sebelah timurnya. Banyak orang yang terbalik [salah sangka]; (18) nih, terakhir, mau nebak, nggak?

Papandayan?

Udeh papandayan mah.

Oh iye. Apa, ya? Ntar, ntar. Manglayang?

Betul sekali. Sedikit ‘kan kalau udah disebutin mah. Sebenernya ada dua lagi, Jo. Tapi aing bingung mau nulis apa.

Dua lagi apa emangnya, Breng?

Dua lagi yaitu Gunung Agung sama Gunung Sembung. Kalau Gunung Agung itu toko buku, Gunung Sembung itu bus. Jadi nggak relevan. Makanya nggak aing tulis….

[Ajo is typing…]

[Online]

[Ajo is typing…]

[Online]

Oh, iya, Jo. Sebenernya Gunung Puntang itu merupakan salah satu dari puncak Gunung Malabar. Dulu aing bego aja. Harusnya itu satu gunung. Tapi, ya, namanya juga belajar.

Jadi Gunung Malabar tuh sebenernya pegunungan. Puncaknya ada banyak, yang terkenal itu Puncak Puntang, Puncak Mega, sama Puncak Haruman. Tapi, ya, dulu nulisnya begitu. Ya, nggak apa-apa. Itu salah satu gunung bersejarah di kawasan Bandung. Mantap.

Gunung pertama dan terakhir yang maneh samperin waktu ngambil data “skripsi” itu apa? Berapa lama prosesnya dari gunung pertama sampai gunung terakhir ini?

Gunung pertama Papandayan, gunung terakhir Manglayang. Tiga tahunan. Aing hampir lulus SMA baru beres tuh. Dulu sekitar dua atau tiga bulan sekali naik gunungnya. Nggak punya duit anak SMA buat ongkos. Jadi, satu bulan itu buat ngumpulin ongkosnya, sekalian rehat.

Pengembaraan paling singkat ke gunung mana? Dan pengembaraan paling lama ke gunung mana?

Yang paling singkat itu ke Gunung Putri; jaraknya deket. Jarak tempuh treknya juga nggak jauh. Vegetasinya kebanyakan homogen jadi nggak banyak yang bisa dilihat. Paling lama itu ke Gede-Pangrango. Ada dua jalur, ada dua gunung, ada air panas alami. Itu, sih, yang bikin lama.

Gunung Gede dan Pangrango, walaupun sebelahan, karakteristiknya beda jauh. Maneh udah pernah ke Pangrango ‘kan, ya? Dia bentuknya masih gunung, ada puncaknya. Kalau Gunung Gede, setengahnya gunung, setengah lagi kawah. Terus, vegetasinya bermacam-macam. Menurut aing gunung paling seru di Jabar tuh, ya, Gede-Pangrango.

Itu masing-masing berapa lama dulu, Breng, yang paling sebentar dan paling lama?

Gunung Putri dua (2) hari. Gede-Pangrango delapan (8) hari.

Terus, apa aja, sih, sebenernya yang maneh catat waktu itu?

Yang aing catet tuh mulai dari nomor telepon pos pendakian, alamat pos pendakian, cara dari Bandung sampai ke pos pendakian, waktu tempuh pendakian per pos, macam-macam vegetasi antarpos, manajemen perjalanan, sama lokasi strategis mendapatkan pertolongan. Segitu aja. Semacam bikin manual bookhow to.”

Ada temuan-temuan (dan pengalaman-pengalaman) menarik nggak selama 3 tahun “penelitian” itu?

Ada! Mulai dari cerita warlok [warga lokal] yang katanya sering liat UFO di gunung, padahal itu tuh awan yang bentuknya menyerupai UFO. Ada tempat-tempat rahasia yang nggak ditulis karena sayang sekali kalau ketahuan publik—apalagi tempat kemping rahasia di Manglayang.

Pernah juga salah naik angkutan. Jadinya nggak jadi naik gunung—‘kan gelo? Ransel hilang dibawa babi hutan, sampai dikejar-kejar anjing hutan. Pernah juga hampir mati karena jatuh dari tebing. Pulang-pulang diomelin ibu terus dibawa ke tukang pijat. Pernah bawa tikar karena matras kebakaran.

Berpose di Bukit Tunggul, 2007, dengan gulungan tikar di keril/Istimewa

Eh, tapi maneh bikin “skripsi” itu akhirnya sendirian apa gimana?

Aing bikin “skripsi” berempat. Kalau sendirian nggak akan seru.

Breng, di antara 18 gunung itu mana yang paling berkesan buat maneh? Dan kenapa?

Yang paling berkesan … waduh, susah ini … yang paling berkesan itu Ciremai. Kenapa? Biasanya gunung di Jawa Barat berkarakter pegunungan [yang memanjang]. Kalau Ciremai, tok gunung doang, berdiri megah sendiri, segitiga, tengah-tengahnya kawah. Pandangan dari atas gunung 360 derajat tidak terhalang pohon. Definisi gunung impian. Treknya juga bener-bener uji mental.

Berapa lama itu dulu maneh di Ciremai pas “skripsi”?

Lima (5) hari. Naik Linggarjati turun Apuy.

Terus, setelah 3 tahun “skripsi” maneh ‘kan rampung. Ada semacam “sidang skripsi,” nggak? Kalau ada, gimana ceritanya waktu itu?

Bukan disidang sebenernya. Lebih ke tanya jawab kelompok daripada sidang.

Kita presentasi terus ada yang nanya, mirip-mirip kerja kelompoknya anak SMA atau kuliah. Sebagian besar nanya tujuannya. Ujung-ujungnya, kalau salah jawab dilempar [pakai] sleeping bag. Untung nggak dilempar patok tenda juga. Patok zaman dulu gede-gede, coy.

Berpose memakai baju lapangan/Istimewa

Abis lulus itu barulah maneh dilantik jadi anggota penuh?

Tapi nungguin yang lain biar barengan bikin bajunya. Kalau KPA sebelah ‘kan serba ada; [KPA aing] ini serba berkecukupan.

Abis jadi anggota penuh, baru masuk struktur organisasi. Jadi, amud itu nggak masuk struktur organisasi, ya. Kalau ada gambar struktur, amud itu di bawah kanan sendirian, kecil tulisannya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *