“Tak dapat dibantah, memang sampar telah memusnahkan kekuatan rasa cinta dan bahkan rasa kesetiakawanan penduduk,” tulis Camus—atau N.H. Dini—dalam Sampar.

Dalam konteks sampar yang melanda Oran, barangkali benar. Corona, tidak. Setidaknya bagi saya.


Di ujung April 2020, setelah berbuka puasa, saya menggeber sepeda motor dari arah selatan. Masker di wajah. Sudah lama sekali rasanya hidung dan mulut saya tak perpapar angin saat berkendara. Lalu lintas sepi. Saya tak perlu sering-sering bermanuver di Jalan Bantul agar segera tiba di tujuan, satu titik kecil di Gamping.

Beberapa hari sebelumnya, saat sedang asyik membaca terjemahan La Peste, seorang sahabat menghubungi saya. Ada dua kabar darinya. Pertama, usaha kuliner keluarganya yang baru saja buka di Gamping akan tutup untuk sementara waktu. Mereka akan fokus pada kedai pertama di Kota Bersenyum. Kedua, adiknya akan boyongan dan ia perlu tambahan tenaga untuk angkat-angkat barang beberapa hari yang akan datang.

Sebelum wabah, saya pasti takkan berpikir dua kali untuk membantu sahabat saya angkat-angkat barang. Sekarang saya mesti pikir-pikir panjang. Keluar ruangan rasanya seperti memasuki medan perang. Saya perlu membaca peta, menyusun strategi, menyiapkan logistik, dll. untuk menghindari sesuatu yang bahkan tak bisa dilihat oleh mata telanjang.

Selama beberapa hari sebelum hari-H, saya terus berpikir, menimang keputusan apa yang akan saya buat: membantu angkat-angkat atau tidak. Kenangan-kenangan soal persahabatan kami berputar dalam kepala. Dalam beberapa momen besar dalam hidupnya selama beberapa tahun belakangan, saya ada. Tiada alasan untuk tak muncul kali ini.

Akhirnya, sore pada hari-H, saya memutuskan untuk membantu sahabat saya angkat-angkat barang.


Piye meneh,” ujarnya saat kami berkomunikasi lewat panggilan video. “Lagi bukak telung dino wes corona.

Baru tiga hari buka, usaha kulinernya mesti menghadapi pandemi terbesar di awal abad ke-21. Mau bagaimana lagi? Wabah COVID-19 memaksa semua orang masuk ke cangkangnya masing-masing. Sekarang, pemandangan sehari-hari yang dilihat (hampir) semua orang sama saja: tembok, pintu, dan jendela. Mereka yang beruntung bisa melihat tanaman di kebun belakang.

Pekerja kerja dari rumah. Pelajar tingkat dasar sampai menengah belajar dari rumah. Mahasiswa, target pasar usaha kuliner sahabat saya itu, merespons secara lebih sungguh-sungguh dengan mengunci rapat-rapat pintu kamar kos mereka, pergi ke terminal, bandara, atau stasiun, dan pulang ke rumah orangtua.

Hanya makhluk-makhluk renik yang sekarang sedang mengguncang dunia itu yang bisa menjawab kapan para mahasiswa akan kembali ke Jogja. Sebulan, dua bulan, enam bulan lagi? Manusia-manusia yang tak tahu apa-apa ini hanya bisa menebak-nebak menggunakan akalnya atau berdoa dengan perasaannya.

Makanya usaha kuliner sahabat saya itu sepi pelanggan.

Hari kedua atau ketiga puasa, saya sahur di rumah makan sahabat saya itu. Hanya sekitar 1-1,5 jam di sana, saya lihat ia sudah punya beberapa orang pelanggan tetap. Ini luar biasa, sebab di kawasan itu ada beberapa usaha kuliner dengan genre serupa; persaingan lumayan ketat. Jika dalam sebulan ia sudah bisa menggaet beberapa pelanggan tetap, tentulah itu tanda-tanda bahwa ada cahaya di ujung terowongan sana.

Dari mata awam saya, sudah lumayan. Tapi ternyata tetap tak nutup.

Lagipula, ujar sahabat saya itu, konon mulai 7 Mei pemerintah akan memberikan sanksi pada orang-orang yang nekat mudik. Jadi, dalam beberapa hari lagi akan menjadi sulit untuk keluar-masuk Jogja. Ia tak ingin terjebak di Jogja dan mesti lebaran jauh dari rumahnya yang berada di sebuah tempat indah di pengunungan Jawa Tengah.

Ujung terowongan masih jauh.


Dari jalan kecil itu, saya belok kanan memasuki kawasan perumahan. Di pos satpam, beberapa petugas keamanan berkumpul. Seorang perempuan bersepeda motor berhenti dekat mereka. Dari balik masker saya tersenyum. Pasti mereka tak bisa melihatnya.

Saya ambil jalan memutar sesuai rambu. Dari belokan terakhir, saya sudah bisa melihat sebuah truk terparkir di pinggir jalan. Dengan truk itulah nanti barang-barang milik adik sahabat saya dibawa ke provinsi sebelah.

Usai memarkir sepeda motor di ceruk kecil yang semestinya untuk memarkir mobil, saya jalan ke pintu depan dan disambut A. Kawan saya itulah yang nanti akan menyupiri truk itu. Ia memang sudah terbiasa membawa truk. Jauh sudah mainnya, sampai ke Pekanbaru di Sumatera sana.

Kami tak bersalaman, hanya menyapa; norma baru semasa corona.

Sahabat saya keluar dari rumah. Kami lalu duduk di seberang jalan, di pembatas antara jalan berlapis paving block dan taman kecil berisi bunga dan beberapa jenis tanaman obat keluarga. Di sana kami mengobrol sambil berkelakar. Sudah lama sekali sejak kami bisa duduk di bawah langit dan bercengkerama dengan (merasa) bebas seperti itu. Bulan separuh mulai tampak dari balik tembok kompleks. Langit cerah.

Selang sebentar, kawan lain datang membawa makanan. Kami pindah ke ruang tamu dan duduk di lantai. Saya sudah makan tadi. Tapi, tak punya hati untuk menolak, akhirnya saya makan sebungkus penyetan ayam dan tahu itu. Kenyang. Porsinya besar dan sambalnya luar biasa.

Usai makan dan merokok sebatang, kami menyingsingkan lengan baju dan mulai angkat-angkat. Satu-satu barang dinaikkan ke bak truk. Beberapa menit sebelum jam 12 malam, bak truk itu sudah kembali terkunci. Proses memuat barang selesai. Usai sudah momen terlama yang saya habiskan di udara terbuka semasa corona.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar