Pertengahan bulan Juni lalu terjadi sebuah peristiwa penting yang mengharuskan saya untuk bertandang kesekian kalinya ke Pulau Rote. Saya yang merindukan Rote dan segala ceritanya, mulai bersiap-siap pada malam sebelum esok pagi-pagi buta berangkat. Saya menyiapkan pakaian atau barang apa saja yang perlu dibawa. Tidak lupa juga, saya membawa beberapa cemilan kecil untuk bekal selama di atas kapal.
Ya, kapal. Saya akan berangkat dengan menggunakan transportasi jalur laut. Jika berbicara jalur laut, maka sudah pasti perjalanan akan berlangsung cukup lama. Apalagi, yang saya tumpangi adalah kapal ferry lambat. Makanya, perlu untuk membawa cemilan sebagai teman agar tidak kelaparan nanti.
Saya berangkat dari rumah pukul 5 pagi karena, sesuai informasi yang didapat, kapal akan berangkat ke Pulau Rote pukul 8 pagi. Motor yang saya tumpangi membawa saya menuju Pelabuhan Bolok, Desa Nitneo, Kupang Barat. Pelabuhan penyeberangan ini, merupakan salah satu pelabuhan terkenal di Kota Kupang.
Sesampainya di pelabuhan, saya melihat begitu banyak pengunjung yang sudah menunggu pembukaan loket untuk tes antigen dan juga GeNose. Bagi penumpang dengan tujuan Kupang—Rote (dan pastinya semua rute), memang diwajibkan untuk membawa surat bebas COVID-19. Sehingga, perjalanan akan tetap aman dan terlindung dari penularan COVID-19.
Saya memilih untuk mengikuti GeNose dikarenakan harganya lebih murah, cukup mengeluarkan uang sebesar Rp50.000. Karena inilah banyak penumpang yang juga memilih GeNose. Sangat banyak yang mengantri ditambah alat teknis yang masih belum stabil—kata petugas nakes—maka, saya mengantri cukup lama hingga kelelahan. Belum lagi terjadi desak-desakan dengan penumpang lain, membuat saya semakin geram karena mereka tidak menerapkan protokol kesehatan seperti menjaga jarak dengan tepat. Bahkan, ada juga pengunjung yang sempat-sempatnya melepas masker dengan alasan kepanasan.
Satu hal yang cukup saya soroti saat menjalani tes GeNose ini adalah, tempat yang kita pakai untuk meniup udara berbahan dasar plastik. Saya melihat ada begitu banyak tumpukannya tepat di bawah meja si petugas. GeNose memang sangat membantu karena harganya yang terjangkau, tetapi ternyata juga menyumbang banyak sampah plastik. Namun, bagaimana lagi? GeNose memang lebih murah, jadi lebih banyak diminati para pejalan.
Setelah selesai mengantri tes GeNose saya berlanjut untuk membeli tiket. Sebelum itu, saya mencuci tangan terlebih dahulu. Syukurlah, setiap sudut pelabuhan disediakan tempat mencuci tangan.
Pagi hari di pelabuhan sungguh hal yang patut dinikmati. Melihat lalu-lalang orang banyak dan melihat kapal-kapal berlabuh dan berlayar, memiliki daya tariknya sendiri. Salah satu fasilitas yang sangat menarik perhatian saya adalah jalan panjang khusus untuk penumpang yang berjalan kaki. Lumayan panjang sehingga cukup instagramable.
Yap, saya sudah diatas KM (Kapal Motor) Uma Kalada dan sepersekian menit kemudian, kapal mulai berlayar.
Suasana di kapal sangat ramai. Ada musik yang diputar, ada yang makan, dan ada yang lalu lalang. Meskipun begitu, penumpang yang sedang tiduran di tempat tidur—yang sudah disediakan—tidak begitu terganggu. Jika dilihat, kapal ini tidak cukup rapi. Tentu selain karena kapal ini merupakan kapal tua yang berkarat, tidak sedikit penumpang yang membuang sampah sembarangan. Begitulah, memang sebagian penumpang abai akan kebersihan. Padahal, tempat sampau sudah disediakan.
Ah, sudahlah. Saya kembali menikmati cemilan yang saya bawa sambil menikmati indahnya pemandangan. Seperti biasa, perjalanan kurang lebih 4 jam untuk sampai ke Rote.
Akhirnya, tiba juga di Pelabuhan Pantai Baru, Rote. Dari atas kapal sangat terlihat bahwa pelabuhan ini cukup tertata rapi dengan besi-besi besar warna kekuningan. Petugas ABK (Anak Buah Kapal) segera melemparkan tali besar ke seberang dermaga yang kemudian dikaitkan di dermaga. Mungkin untuk menahan agar kapal tidak terbawa gelombang air laut—walaupun saat itu laut sedang tenang. Terlihat juga penumpang yang ingin berangkat ke Kupang sedang menunggu kapal mereka.
Sebelum memasuki pelabuhan ini, kapal akan melewati pertemuan dua pulau yang menjadi pintu masuk dan keluar pelabuhan. Sungguh memanjakan mata. Apalagi laut yang tenang membuat pemandangan dari lantai atas kapal ini sangat menenangkan.
Setelah turun kapal, para penumpang diminta untuk menunjukkan surat bebas COVID-19. Saya lalu berjalan keluar menuju tempat parkir untuk mencari tumpangan.Pelabuhan Bolok ini tidak begitu besar, tetapi, seperti yang saya sampaikan sebelumnya, pelabuhan ini ditata cukup rapi sehingga tidak sesak.
Perjalanan darat menuju Desa Lole, Kecamatan Rote Tengah pun dimulai.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Resti Seli adalah seorang perempuan muda yang sedang suka-sukanya menulis, fotografi, olahraga, dan travelling.