Suara gemuruh blok sel tahanan polres kota kecil menyambut kedatangan saya. “Jongkok! Jalan jongkok!!!” hardik mereka, memasang wajah sangar tanpa memasang baju, seakan saya adalah mangsa yang siap diterkam. Mereka berdiri di atas jeruji besi yang membatasi kamar dan ruang tengah blok.
Nyali sempat ciut, akan tetapi ini adalah babak yang mengawali bab baru cerita perjalanan hidup saya. Berjalan jongkok menuju ruangan sel di pojok blok yang akan saya huni, saya dengar mereka teriak memerintah, “Tangan di atas kepala!”
“Saya bukan monyet!” bentak saya dalam hati. Suara hardikan mereka semakin keras, tetapi saya tidak menghiraukannya.
Sesampai di depan kamar, pintu jeruji dibuka. Saya disambut penuh senyum oleh para penghuni. Hati saya begitu lega. “Pertama masuk memang begitu tradisi di sini,” ucap salah seorang penghuni. Saya pun berkenalan dengannya, tak lupa disuguhi segelas air putih dan sebatang rokok.
Hari demi hari dilalui, saya berasa binatang di kebun binatang yang dikurung dan dikasih makan dan minum. Kadang lamunan terbang mengingat binatang-binatang yang dikurung untuk jadi tontonan manusia. Mungkin sama yang mereka rasakan dengan apa yang saya alami ini; kebebasan hidup direnggut, jauh dari keluarga. Dan pada saat itu juga saya berkomitmen tidak akan mengurung binatang dalam hidup ini.
Selama pandemi, kehidupan kami mungkin lebih merdeka daripada orang-orang yang hidup di luar sana, seperti sudah saya ceritakan pada catatan-catatan sebelumnya.
“New normal.” Istilah yang didengungkan presiden itu hinggap juga di balik jeruji. Bagi saya istilah itu sudah terasa semenjak hari pertama saya berada di balik jeruji. Tidak ada yang istimewa.
Beberapa hari pertama dalam perenungan, saya sudah mempunyai program untuk diri sendiri: BIO. Kepanjangan dari belajar, ibadah, dan olahraga.
Saya kembali belajar membaca Alquran, bacaan salat, dan beruntung di kamar-kamar blok polres ada buku-buku yang siap disantap. Pertama masuk, para tahanan memang kelihatan sangar. Akan tetapi setelah itu mereka baik-baik semua. Mungkin karena kesamaan nasib, kami harus saling dukung untuk menghadapi ini semua.
Di dalam penjara saya merasakan kenikmatan beribadah, salat lima waktu dan membaca Alquran. Di sini pertama dalam hidup saya mengkhatamkan membaca dari al-Fatihah hingga an-Nas. Saya juga membaca terjemahannya. Perlahan-lahan saya belajar menafsirkannya, tentu dengan pengalaman hidup yang saya punya. Di kamar ada teman yang berbeda keyakinan. Dialah ujung tombak salat Subuh berjemaah di kamar. Dia tidak segan-segan membangunkan kami yang muslim untuk salat berjemaah. Bahkan dia bisa marah kepada yang tidur lagi.
Setelah salat Asar adalah waktunya olahraga. Biarpun kamar sempit, masih ada sedikit ruang untuk lari di tempat, push-up, dan sit-up. Saya menargetkan minimal satu jam sehari untuk olahraga.
Program BIO tersebut tidak berhenti hanya di polres saja. Saya pun melanjutkannya ketika dipindahkan ke lapas. Diam dan menyerah dengan keadaan adalah pengkhianatan terhadap diri sendiri.
Kebahagiaan pertama saya berada di lapas adalah melihat masjid, perpustakaan, dan tentunya ruangan terbuka untuk melakukan olahraga. “Saya tidak akan tunduk dengan keadaan.” Saya hunjam jauh kalimat itu ke dalam diri.
Lapas adalah ladang perbaikan diri, ladang silaturahmi, ladang bermain, dan tentu juga ladang mengorek kisah-kisah hidup para penghuninya untuk pelajaran hidup saya. Ada beberapa kalender yang harus saya habiskan selama menjalani hukuman, rentang waktu yang cukup buat memperbaiki diri.
Di balik jeruji ini perenungan demi perenungan hidup muncul, juga pertanyaan: “Untuk apa semua perjalanan yang telah saya lakukan ini?”
Sukarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Nelson Mandela, Fidel Castro, Evo Morales, Buya Hamka, Malcolm X, Mahatma Gandhi, Bediuzzaman Said Nursi, Recep Tayyip Erdogan, hingga Nabi Yusuf AS, para mantan napi, yang menari di kepala ini cukup memberi semangat menghadapi perjalanan di balik jeruji.
*) Nama penulis disamarkan demi melindungi privasi terkait statusnya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
“Kurangnya kebebasan bergerak tidak membatasi kebebasan berpikir.”—Slavoj Žižek