Travelog

Menelusuri Museum Wayang secara Virtual

Saat ini, karena liburan dengan cara biasa belum aman, teknologi digital menjadi secercah harapan yang mendorong munculnya alternatif untuk dunia pariwisata. Tur virtual adalah sebuah produk yang diyakini bisa membangkitkan pariwisata di tengah pandemi COVID-19.

Maka akhir-akhir ini saya cukup sering “jalan-jalan.” TelusuRI sering sekali mengadakan tur virtual dengan rute yang beragam dan menarik. Salah satu yang baru saja saya ikuti adalah tur virtual Museum Wayang di Kota Tua Jakarta bersama REFO Indonesia.

Asal-usul gedung dan cerita tentang wayang

Bersama Mas Irfan, pemandu Museum Wayang, mula-mula kami melihat gedung museum dari luar. Ternyata dulunya gedung Museum Wayang adalah gereja bagi para tentara Belanda yang diberi nama Oude Hollandsche Kerk (Gereja Tua Belanda). Gereja ini sempat runtuh akibat bencana alam, dibangun kembali pada 1912, hingga kemudian dijadikan De Oude Bataviasche Museum atau Museum Sejarah Jakarta. Baru di tahun 1968 gedung ini dijadikan Museum Wayang.

Mas Irfan kemudian menceritakan bahwa wayang adalah sebuah [produk] seni-budaya yang sudah berabad-abad umurnya. Kata wayang sendiri berasal dari kata “bayang.” Di zaman ketika listrik dan TV belum ada, hiburan masyarakat adalah menonton dalang memainkan bayangan wayang yang disinari blencong (lampu pada zaman itu). Menariknya, kata “bayang” juga dimaknai sebagai bayang-bayang kehidupan manusia. Kelir atau layar putih diartikan sebagai dunia dan gedebog atau batang pisang tempat wayang ditancapkan adalah bumi. Menurut Mas Irfan, pertunjukan wayang aslinya berlangsung selama 9 jam—atau bisa semalam suntuk. Selama pertunjukan berlangsung sang dalang tidak boleh beranjak dari duduknya.

Setelah banyak bercerita tentang sejarah wayang, Mas Irfan pun mengajak kami masuk ke gedung museum. Di lorong pertama saya melihat jejeran wayang golek yang ukurannya beragam. Ada yang besar seukuran anak usia 10 tahun dan ada yang kecil sekitar 20-30 cm. Wayang golek, wayang khas Jawa Barat, berbeda dari wayang kulit. Selain bahasa penyampaiannya, material bahan wayangnya juga beda. Jika wayang kulit terbuat dari kulit kerbau, wayang golek dari kayu albasia atau kayu lame.

Wayang kulit dan wayang golek hanya salah dua dari sekian banyak wayang di Indonesia. Mas Irfan menyebut bahwa koleksi di Museum Wayang saat ini mencapai jumlah 6.800. Umumnya wayang merujuk pada kisah-kisah Ramayana atau Mahabarata, dua epos dari India. Menariknya, cerita-cerita wayang tidak sepenuhnya mengikuti kisah-kisah dari India tersebut. Ada aspek-aspek yang disesuaikan dengan norma dan budaya yang berlaku di nusantara. Sebagai contoh, ada tokoh-tokoh baru dalam wayang, semisal Petruk dan Bagong.

Silsilah wayang

Beranjak dari lorong utama, kami melewati sebuah taman yang di sana ada tulisan “Jan Pieterszoon Coen.” Ternyata taman itu dulunya makam para serdadu dan jenderal Belanda. Walaupun makam itu sudah dipindahkan, masih ada beberapa batu nisan yang dipasang di dinding lorong taman. Mendengar kata “makam,” mungkin sebagian orang akan bergidik. Tapi, taman ini malah enak dilihat alih-alih menyeramkan.

Naik ke lantai 2, kami diajak ke ruang silsilah. Di dalamnya ada sebuah papan besar bertuliskan Silsilah Wayang Purwa, yakni silsilah tokoh dalam cerita Ramayana dan Mahabarata. Mas Irfan menjelaskan, “Inilah yang membuat pakem cerita wayang. Wayang dari mana pun daerahnya, bentuknya, dan bahasanya, selama ceritanya tentang purwa (awal), tidak akan bisa diubah karakter dan tokohnya karena sudah ada silsilahnya.”

Lalu kami diajak masuk ke ruangan berisi wayang-wayang dari mancanegara. “Wayang Suriname merupakan wayang yang paling mirip dengan wayang Indonesia dilihat dari cempolan-nya, karena di negara ini banyak sekali orang Jawa dari Indonesia,” Mas Irfan bercerita.

Di dalam ruangan itu ada pula wayang tipis dari Kamboja, wayang golek Kanton dari Tiongkok, dan wayang potehi berupa boneka tangan yang biasa ditampilkan di hari-hari besar. Di ruangan ini juga banyak boneka dari India dan Vietnam. Walaupun beberapa dari koleksi ini tidak bisa disebut wayang, esensi puppet show menurut Mas Irfan terinspirasi dari wayang.

Di akhir tur virtual, Mas Irfan juga berpesan bahwa kita harus merasa bangga dan ikut serta mengembangkan budaya yang kita punya saat ini. Ia juga berharap bahwa anak-anak muda bisa dengan bijak menggunakan gawainya untuk mempelajari kebudayaan Indonesia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *