Travelog

Mengenal Sejarah Jakarta lewat Tur Virtual

Rute penjelajahanku di Jakarta tidak jauh-jauh dari kantor dan apartemen. Mungkin pengecualiannya cuma pergi sesekali ke pusat perbelanjaan untuk nongkrong bareng teman. Maka, aku tak terlalu kenal Jakarta. Tapi, pada HUT Jakarta ke-493 kemarin, aku diajak mengenal Jakarta lebih dalam lewat tur virtual kolaborasi TelusuRI dan Jakarta Good Guide.

Ditemani Mas Farid dari Jakarta Good Guide, kami memulai perjalanan dari titik awal Jakarta, yakni Pelabuhan Sunda Kelapa yang pernah berperan penting dalam jalur perdagangan rempah dan budak di masa lalu. Pelabuhan ini, menurut penjelasan Mas Farid, sudah ada sejak abad ke-5. Jika yang menjadi patokan adalah itu, tentu umur Jakarta akan jauh lebih uzur dari 493 tahun.

Pelabuhan Sunda Kelapa/TelusuRI

Lalu kami ke Museum Bahari, sebuah tempat yang dulunya adalah kompleks gudang penyimpanan rempah yang hendak dijual. Beberapa di antara gedung tersebut telah terendam air, ada pula yang pernah kebakaran.

Tak jauh dari Museum Bahari adalah Pasar Ikan dan Menara Syahbandar. Mas Farid bercerita bahwa sekitar abad ke-17 sempat didirikan kastil di daerah ini yang berfungsi sebagai kantor pusat VOC. Namun, pada abad ke-19 kastil terebut dihancurkan oleh Daendels dan puing-puingnya dipakai untuk memerluas kota Batavia ke Selatan. Ada juga sebuah gedung tua dengan lambang VOC di tembok. Itu adalah bekas galangan kapal VOC, tempat kapal-kapal naik dok setelah melewati perjalanan panjang selama 8 bulan sampai 1 tahun antara Negeri Belanda dan Hindia-Belanda.

Kemudian kami dibawa melihat Kali Besar. Kawasan Kali Besar dulu wilayah sibuk, distrik yang jadi pusat bisnis Batavia. Banyak sekali perusahaan rekanan VOC yang membangun kantor di tempat ini.

Dari Kali Besar, Mas Farid mengajak kami ke selatan, ke sebuah wilayah yang dulu disebut Weltevreden (tempat yang nyaman). Di kawasan inilah Waterlooplein—tempat orang-orang kaya Belanda melewatkan malam Minggu—berada. Nama Waterlooplein ternyata tercipta untuk merayakan kemenangan Belanda atas Prancis di Waterloo. Sekarang, di tempat ini menjulang Patung Pembebasan Irian Barat. Tapi dulu ada patung singa di sana yang kemudian dihancurkan tentara pendudukan Jepang. Sekarang, Waterlooplein disebut Lapangan Banteng dan masih saja digunakan warga untuk bermalam Minggu.

Dekat Lapangan Banteng ada sebuah gedung besar berwarna putih yang disebut Witte Huis. Gedung itu dahulunya sempat hendak digunakan sebagai istana pemerintahan, namun, sayang sekali, pembangunannya mesti tertunda dan baru selesai tahun 1828. Kini, gedung itu digunakan oleh Kementerian Keuangan. Selain Witte Huis, ada satu lagi gedung yang menarik, yakni Kimia Farma. Sebelum digunakan oleh perusahaan obat itu, gedung ini pernah jadi salah satu loji Freemason. Dari bekas loji itu, Mas Farid menunjukkan keelokan Gedung Kesenian Jakarta.

Sekitar Pasar Baru dan Menteng

Setelah melihat gedung-gedung lawas, kami bergeser secara virtual ke Pasar Baru. Mbak Ika yang memandu kami menelusuri Pasar Baru. Ternyata banyak sekali tempat menarik, seperti Wihara Sin Tek Bio atau Wihara Dharma Wijaya. Selain itu juga ada Toko Kompak. Karena agak tinggi dan punya balkon, toko ini dulunya sering didatangi jenderal-jenderal Belanda yang ingin melihat perayaan Cap Go Meh. Kuliner terkenal Pasar Baru juga kami intip, yakni Bakmi A Boen dan Bakmi Gang Kelinci. Walaupun belum bisa ke sana dan mencicipi langsung, cerita-cerita tersebut cukup untuk referensi.

Museum Proklamasi/TelusuRI

Dari Pasar Baru, kami beranjak ke sebuah daerah yang lebih baru, sebab kawasan itu baru dibangun pada abad ke-20: Menteng. Lewat Google Maps mode satelit, daerah Menteng tampak lebih rapi dan teratur ketimbang wilayah lain. Sengaja dibuka sebagai perumahan orang Eropa, kawasan Menteng diisi oleh rumah-rumah berpekarangan luas. Mas Farid menunjuk salah satu rumah di Menteng, yakni bekas kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda yang menjadi lokasi perumusan naskah proklamasi. Kini, rumah itu bernama Museum Proklamasi. Menariknya, menurut Mas Farid, rumah itu tidak berubah dan susunan perabotannya masih dipertahankan seperti sedia kala.

Setelah itu, kami pergi ke gedung Bappenas yang ternyata sempat jadi loji perkumpulan Freemason. Dari sana, kami ke Galeri Seni Kunstkring. Sebelum menjadi galeri, bangunan ini adalah gerbang masuk daerah Menteng. Karya Pablo Picasso pernah dipamerkan di galeri ini sekitar tahun 1930. Sesaat setelah Indonesia lepas dari Belanda, gedung ini sempat jadi gedung imigrasi. Tapi, akhirnya kembali difungsikan sebagai galeri seni. Sekarang ada kedai kopi di Galeri Seni Kunstkring. Mas Farid menyarankan untuk mencoba kopi Kawi dan roti bluder di sana.

Loji Freemason Bappenas di masa lalu/TelusuRI

Selesai tur virtual ini, banyak sekali informasi dan cerita sejarah Jakarta yang kuperoleh. Rasanya tak sabar lagi untuk menelusuri secara langsung tempat-tempat yang diceritakan oleh Mas Farid. Mungkin nanti ketika keadaan lebih aman.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *