“Gue nyesel kenapa tadi gue nggak bantuin….”

Kalimat itu begitu pelan keluar dari balik masker hijau yang kini harganya sudah tak jelas. Kejadiannya dua tahun lalu, tepatnya tanggal 21 Juli 2018 ketika kami sedang berdiri menunggu KRL 1791 di Stasiun Tanahabang. Penyebab ucapan itu sebenarnya sangat umum, saat kereta kami baru sampai dari Stasiun Serpong dan harus transit.

Kejadiannya cepat. Ketika pintu kereta terbuka dan kami hendak keluar, seorang ibu yang hendak masuk ke kereta tiba-tiba terjatuh di hadapan kami. Seperti orang lain yang melihat, kami buru-buru keluar dan tidak membantu si ibu tadi. Aku menjadi memikirkan ibu tadi, karena seharusnya aku bisa membantunya berdiri. Tak lama setelahnya kalimat itu tercetus saat kami berpindah kereta. Tak kusangka kalimat itu keluar dari mulut seseorang yang memang sudah kuincar sejak pertama bertemu. Namanya Pricillia, perempuan muda yang ceria namun misterius.

“Hatimu baik,” gumamku dalam balas yang tak sesuai.

“Yah gimana. Gue takut dituduh yang jatuhin ibunya.”

Pricillia bukan wanita tercantik di kampus, tapi iya bagiku. Wajahnya lucu dengan dagu belah dan raut ekspresif. Otaknya cerdas dan selalu menari di pikiranku. Namun sayang ia tak pernah sadar kehadiranku yang ingin lebih dekat. Padahal aku dan dia duduk berseberangan saat kegiatan penelitian di lab kampus. 

Satu tahun berlalu dan kami lulus kuliah. Empat tahun belajar ilmu pangan campur bioteknologi akhirnya menambah “S.T.P.” di belakang nama kami. Selanjutnya kami menempuh jalan masing-masing. Dia mengambil kesempatan bekerja di salah satu penyuplai makanan instan dan aku mengambil peruntungan melanjutkan pendidikan di luar negeri.


“Greetings, we have received your documents.”

Begitulah tulisan persis yang tercantum di surat elektronik yang kuterima. Artinya tinggal menunggu beberapa hari untuk mengetahui apakah proposal penelitianku mengenai uji sensoris kombucha bisa diterima dan aku siap berangkat.

Hanya satu hari berselang, mendadak istilah pandemi mulai jadi umum. COVID-19 mulai menggerogoti satu per satu manusia. Indonesia pun tak terlewat dan angka statistik makin meningkat tanpa berhenti. Perintah social distancing makin kencang diteriakkan dan stok supermarket mulai berpindah cepat ke dapur dan kulkas rumah-rumah orang yang mampu. Staf medis makin kewalahan dalam menampung pasien, satu persatu mereka tumbang dan tak sedikit yang meninggal.

“Mereka bunuh diri demi Indonesia,“ pikirku dalam hati.


“Negara membutuhkan relawan tenaga ahli PCR untuk sampel pasien corona.”

Aku mulanya melewati pesan dari grup WhatsApp keluarga itu, karena menurutku berbahaya dan tidak menghasilkan uang. Namun kalimat dua tahun lalu di Stasiun Tanahabang terngiang kembali dan seakan merobek semua logika dan pikiranku. Aku punya pengalaman yang cukup mengenai PCR, bahkan aku terbilang mahir dalam menggunakannya. Dan, bagaimana kalau nanti aku menyesal karena tidak membantu mereka, sama seperti ibu di stasiun kereta dua tahun lalu? Sialnya, kampus ke mana aku mengirim proposal sudah jadi rumah sakit darurat untuk pasien corona. Tanpa pikir panjang lagi aku mengambil keputusan mengabdikan diri kepada negara Indonesia.

Tenaga medis bersiap menuju lokasi Rumah Sakit yang menangani virus corona di Hotel Grand Cempaka, Jakarta, Sabtu, 28 Maret 2020 via TEMPO/Hilman Fathurrahman W.

Penugasanku jauh, bisa menghabiskan satu jam perjalanan dari rumahku. Jam kerjaku tepat enam jam tapi tanpa henti di ruangan khusus ekstraksi virus baru itu. Berjam-jam berurusan dengan virus itu bisa saja membuat aku masuk rumah sakit atau berakhir tragis sampai meninggal. Aku butuh penyemangat untuk bisa memberi kekuatan selama aku “bunuh diri.”

Aku butuh Pricillia.

Ya, setidaknya dalam bentuk foto. Kucetak foto Pricillia dari Instagramnya, sedang memajukan bibir, menatap samping sambil melipat tangan dengan rambutnya yang terurai beberapa helai depan muka. Bukan foto yang estetik tapi cukup untukku. Foto itu kumasukkan ke dalam tempat foto di dalam dompetku, bersebelahan dengan kertas bertulisan tangan “Happy Valentine’s Day ♡” pemberiannya tiga tahun yang lalu. Aku dan Pricillia bukan tak punya cerita. Kami pernah sangat dekat namun berpisah entah kenapa. Jujur aku menginginkan kesempatan itu kembali lagi.

Baktiku terhadap negara ini bukan karena aku merasa mampu, namun karena aku yakin Pricillia akan melakukan hal yang sama, yaitu “bunuh diri” semasa corona.

Nama penulis disamarkan atas permintaan yang bersangkutan. (Dimutakhirkan 10/04/2020, 18:17 WIB)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar