Insting bertahan hidupnya masih bekerja. Lelaki tadi segera lompat dari atas perahu. Merasa belum puas, pengemudi perahu motor memutar buritan dan mengarahkan baling-baling mesin seakan ingin membunuh si lelaki. Namun berbekal pengalaman bertahan hidup, si lelaki berhasil naik kembali ke boat. Merasa usahanya gagal, sang pengemudi segera melajukan perahu untuk melarikan diri dari kejaran ….”

Kamu keliru jika mengira paragraf di atas dicomot dari sebuah film. Cuplikan itu juga tidak berasal dari novel picisan atau komik. Itu adalah kisah nyata yang dialami para pejuang bahari di Laut Flores, tepatnya Kepulauan Taka Bonerate.

Para pengejar dalam “adegan” itu adalah anggota Polisi Kehutanan (Polhut) dari Balai Taman Nasional Taka Bonerate. Sementara yang dikejar ialah para pengebom ikan yang kerap beroperasi di sana. Datanglah ke Selayar, cerita ini akan kamu dengar langsung dari “aktornya.”

Taka Bonerate saat ini telah menjadi salah satu destinasi wajib para petualang, baik lokal maupun mancanegara. Pulau-pulau berhias nyiur tampak seperti lukisan yang menakjubkan. Gugusan karang terhampar bak karpet yang menutupi dasar samudra. Puluhan bahkan ratusan jenis ikan aneka warna dan ukuran menari-nari dengan bebas. “Mekah para penyelam” dan berbagai julukan lain melekat pada wilayah ini.

Betapa kerdil manusia ketika dihadapkan pada “akuarium raksasa” terindah di dunia itu. Namun sayang sekali: keindahan itu kini tengah terusik. Berbagai ancaman menyapa kehidupan yang damai. Pengeboman ikan, pembiusan, serta perusakan dan pencurian karang semakin merajalela dan menjadi noktah merah di atas kanvas ilahi.

Balada bom ikan Taka Bonerate

Beberapa tahun ke belakang, penggunaan bom dalam penangkapan ikan terus meningkat. Selain beberapa pelanggaran lain, aktivitas pencurian ikan menggunakan bom sudah mencapai taraf yang sangat mengkhawatirkan. Hal ini terungkap dari penuturan Anto Nor Fajar, Koordinator Polisi Kehutanan di Taman Nasional Taka Bonerate.

“Memang ada beberapa jenis pelanggaran. Tetapi bom ikan ini intensitas dan dampaknya sangat parah,” tutur pria yang akrab disapa Anto itu. Tidak hanya membunuh ikan, karang tempat ikan-ikan bertelur ikut hancur terkena bom. “Kalau tempat bersarangnya rusak, bagaimana bisa berkembang biak?” lanjutnya.

Para pengebom ikan menggunakan modus yang sama. Pertama-tama mereka mencari target, yakni lokasi di mana kawanan ikan berkumpul. Kemudian, “Duar!!!” Dalam sekejap ribuan ikan menggelepar. Para pelaku tinggal menyelam dengan bantuan kompresor untuk memanen hasilnya.

“Hebatnya, sumbu api tidak mati di dalam air; jadi mereka bisa memperhitungkan saat yang tepat kapan bom tersebut harus meledak,” jelas pria yang kini menjabat sebagai Polhut Penyelia itu.

Taka Bonerate

Pulau Makam Karang via SkyGrapher.id/Murah Kurniadi

Jika seorang koboi selalu berkuda ke mana-mana, maka penyelam berkeliaran di bawah laut dengan tabung oksigen. Pengebom ikan lain lagi. Saat menyelam untuk memanen ikan, mereka menggantungkan nyawa pada sebuah kompresor.

Masih bingung hubungan antara kompresor dan menyelam? Baik, saya coba jelaskan sedikit. Biasanya kompresor digunakan untuk mengisi angin pada ban kendaraan yang kempes. Nah, oleh para penyelam tradisional, alat tersebut disambungkan dengan selang sebagai pengganti udara yang mereka hirup di bawah air. Penggunaan kompresor ini memang sangat mengancam keselamatan penggunanya. Namun, hanya dengan inilah mereka bisa menyelam dalam waktu yang cukup lama untuk memungut “hasil panen.”

Dari pupuk urea

Bupati Selayar sempat melegalkan penggunaan kompresor. Namun setelah mendapat berbagai kecaman, edaran tersebut ditarik. Bupati pun mengeluarkan larangan penggunaan kompresor, khususnya di wilayah taman nasional. Seolah tidak pernah kehabisan akal, beberapa pelaku mencoba menggunakan modus lain. Pengeboman ikan dilakukan saat laut sedang surut sehingga mereka dapat menyelam tanpa kompresor.

Asri, Pengendali Ekosistem Hutan di Taka Bonerate, ikut memperkaya diskusi kami dengan informasi. Menurutnya, yang menjadi target para pelaku bom adalah jenis ikan pelagis, yaitu ikan-ikan yang biasanya bergerak secara bergerombol. “Biasanya yang mereka tangkap ikan ekor kuning dan sinrili—itu termasuk jenis ikan pelagis,” papar pria yang saat ini tengah menggilai fotografi itu.

Bekerja sama dengan Polres setempat, otoritas Taman Nasional Taka Bonerate melakukan investigasi untuk memetakan jalur perdagangan bom. Menurut penjelasan Anto, bahan dasar pembuatan bom adalah pupuk urea. Di Malaysia pupuk ini digunakan pada perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan penelusuran tim, bahan dasar pupuk berasal dari Batam dan Malaysia.

Pupuk urea itu diangkut menggunakan kapal dari Pulau Bonerate. Mengarungi Laut Jawa, kapal bergerak menuju wilayah Pangkep. Di pulau ini sebagian pupuk diturunkan, dijual dengan sistem barter—motor bodong sebagai alat pembayarannya. Sisanya diturunkan di Pulau Bonerate.

Sumbu dan detonator didatangkan dari Parepare dan Kalimantan. Setelah dikumpulkan di Bonerate, pupuk, sumbu, dan detonator disebarkan dalam bentuk terpisah ke beberapa wilayah sekitar seperti Sinjai, Pulau Panjang, hingga Wakatobi. “Mereka memiliki jaringan yang rumit dan rapih. Bom ini disinyalir digunakan sampai Taman Nasional Wakatobi,” ujar Anto yang hingga kini telah berkarir selama empat belas tahun sebagai Polhut.

Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Sinjai beroperasi 24 jam. Berton-ton ikan diangkut setiap hari dari Taka Bonerate. Ikan yang telah dikeringkan dan dibekukan juga dikirim ke Makassar dan Bulukumba. “Penjual seafood di Makassar dan Sinjai bisa bangkrut kalau tidak ada kiriman ikan dari pulau ini,” sela Asri.

Menjaga atol terbesar ketiga di dunia

Masih menurut Asri, ikan kerapu dan sunu khusus dijual ke Bali. Sebagian kecil dijual ke Makassar. Kedua jenis ikan ini ditangkap dengan cara dibius sehingga sesampainya di tujuan ikan-ikan itu masih tampak segar. Jika pernah mengonsumsi kedua jenis ikan ini di Pulau Dewata, barangkali santapan mahal kamu didatangkan dari Taka Bonerate secara ilegal.

Hitung-hitungan kasar terhadap aktivitas ilegal ini akan membuat siapa pun tercengang. Sebuah kapal yang mengangkut 1200 sak bahan dasar bom dapat menghancurkan karang seluas 6000 km2.

Dengan asumsi satu kilometer persegi karang sehat menghasilkan 30 ton ikan, maka bom tersebut bisa memanen 180.000 ton ikan. Jika rata-rata ikan karang hidup berharga Rp 200.000 per kilogram, maka kerugian negara setidaknya sekitar Rp 36 triliun. Sungguh bukan angka yang kecil. Ironisnya, jangankan pemerintah pusat, pemerintah daerah setempat pun sepertinya belum menyadari telah terjadi perampokan besar-besaran terhadap sumber daya mereka.

Taka Bonerate

“Mangrove” Pulau Pasi Gusung via SkyGrapher.id/Murah Kurniadi

Taman laut seluas 530 ribu hektare–dengan hamparan karang terluas di Asia Tenggara–ini diawasi oleh 15 orang Polhut.

Meskipun ditugaskan di wilayah yang luasnya bukan main, mereka tidak menganggap kondisi ini sebagai sebuah kendala. Berbagai upaya pengamanan terus ditingkatkan. Koordinasi dan kerja sama dengan berbagai pihak semakin dipererat. Penyuluhan dan penyadartahuan dilakukan tiada henti. Bukan semata karena kewajiban. Lebih dari itu, kebanggaan menjadi penjaga salah satu taman laut terindah di dunia menjadi alasan mereka untuk tetap bertahan. Mereka adalah para pengabdi samudra.

Namun di sisi lain, menyangsikan mereka mampu menghadapinya sendiri rasanya sebuah kewajaran. Berbagai kekuatan dan kepentingan hadir di sini menjadi lawan yang tangguh. Dukungan bagi mereka merupakan keniscayaan jika kita ingin taman bawah air ini tidak hanya menjadi dongeng bagi anak cucu kita nanti. Sampai kapan Taka Bonerate menjadi atol terbesar ketiga di dunia? Mari kita jawab dengan aksi nyata, bukan dengan kata-kata.

Tinggalkan Komentar