Sengatan sinar mentari yang sedang panas-panasnya membuat sejumlah pengendara sepeda motor dan mobil menepikan kendaraannya saat melintas di depan Taman Asmaul Husna, Cianjur, Rabu (1/6/2022) siang. Mereka kemudian memilih beristirahat di lapak para penjual cincau yang berjualan di sekitar Taman Asmaul Husna.

Cincau tampaknya telah identik atau menjadi trademark Taman Asmaul Husna. Di kawasan ini, berjejer puluhan penjual cincau, yang menggelar dagangannya menghadap langsung ke Jalan Raya Bandung-Cianjur. 

Penjual cincau
Penjual cincau/Djoko Subinarto

Siang itu, aku sedang berada dalam perjalanan dari Puncak, Cianjur, menuju Padalarang, Bandung Barat, dan memutuskan berhenti sejenak di Taman Asmaul Husna. Aku kemudian mendekati salah satu lapak penjual cincau yang ada di situ. Penjualnya seorang ibu berkerudung. Ia tengah menyiapkan pesanan cincau untuk lima orang yang baru saja turun dari sebuah mobil. Kelima penumpang itu lantas duduk lesehan di atas tikar di dalam lapak, menunggu pesanan cincau mereka dihidangkan.

Lapak penjual cincau
Lapak penjual cincau/Djoko Subinarto

Di seberang lapak itu, beberapa mobil dan sepeda motor terparkir. Pengendara dan penumpangnya juga duduk-duduk lesehan di dalam lapak-lapak penjual cincau. Begitu kelar membuatkan pesanan cincau untuk para penumpang mobil, aku segera minta pada ibu penjual cincau itu untuk membuatkan satu gelas buatku.

“Mau pakai es atau tidak?” tanyanya.

Kujawab, “Pakai. Tapi, sedikit.”

Aku duduk di dekatnya. Tak begitu lama, ia menyodorkan cincau pesananku. Namun, tidak langsung aku nikmati. Cincau itu aku taruh di atas tikar. Kubiarkan beberapa saat agar esnya lebih mencair serta air gulanya lebih meresap dan merata.

Ibu penjual cincau itu mengaku bahwa cincau buatannya sama sekali tanpa pengawet. “Karena tanpa pengawet, jadi terbatas kekenyalannya. Tidak bisa lama sampai berhari-hari. Paling bertahan sekitar 12 jam. Setelah itu, bakal encer lagi. Berubah jadi air,“ jelasnya, seraya menambahkan bahwa jika cincau tidak laku, dan telah lewat dari 12 jam, maka ia langsung membuang cincau itu.

Ibu itu berjualan cincau selama 24 jam nonstop. Ia bergiliran dengan suami dan salah seorang anaknya menunggui dagangannya. Si ibu hanya bertugas dari pukul 12.00 hingga sekitar pukul 20.00.

“Tadi, pagi-pagi, anak saya yang nunggu lapak.”

Ia membuat cincau sebanyak dua kali, pagi dan petang. ”Untuk jualan yang siang, bikinnya pagi hari. Untuk jualan yang malam, bikinnya sore hari, ” paparnya.

Daun cincau
Daun cincau/Djoko Subinarto

Daun cincau

Cincau yang biasa dikonsumsi dalam wujud gel atau agar-agar dari pengolahan daun cincau. Untuk membuat gel cincau, daun cincau perlu diblender kasar atau diremas-remas dalam air matang, sebelum kemudian ditiriskan hingga mengental.  

Secara umum, terdapat dua jenis tanaman cincau. Jenis pertama adalah cincau hitam (Platostoma palustre). Adapun jenis kedua yaitu cincau hijau (Cyclea barbata).  

Menurut ibu penjual cincau yang aku ajak berbincang siang itu, untuk membuat 20 gelas cincau dibutuhkan sekurangnya satu kilogram daun cincau. Daun-daun cincau itu ia dapatkan dari pemasok.

”Harganya Rp15.000 per kilo. Tapi, kalau pas musim kemarau, harganya naik jadi Rp25.000 per kilo,” sebutnya.

Ibu itu memilih membeli daun-daun cincau dari pemasok karena ia tak memiliki lahan untuk menanam pohon cincau. Ia telah dua belas tahun berjualan cincau di Taman Asmaul Husna.

“Sebelumnya mah berjualan di rumah,” katanya.

Selain cincau, di lapaknya, ia juga menyediakan minuman dan makanan ringan. Ada air mineral kemasan, teh botol, kopi saset, dan beberapa minuman kemasan lainnya, kacang atom, chiki ball, juga pop mie. Sementara itu, di sejumlah lapak lain, di samping cincau, aku juga melihat ada mie bakso dijajakan.

Kehadiran para penjual cincau membuat kawasan Taman Asmaul Husna tak pernah sepi. Para pengendara yang melaju dari Bandung menuju Cianjur, atau sebaliknya dari Cianjur menuju Bandung, kerap memanfaatkan lapak para penjual cincau ini untuk sekadar rehat, sambil tentu saja membasahi kerongkongan dengan cincau yang disajikan dengan parutan es plus cairan gula aren.

Taman Asmaul Husna sendiri membentang sekitar satu kilometer dan berada persis di kedua sisi Jalan Raya Bandung-Cianjur, tak jauh dari Jembatan Citarum, Rajamandala. Di taman ini, terdapat 14 panel tulisan kaligrafi, yang menghiasi dua sisi jalan. Taman Asmaul Husna disebut-sebut sebagai satu-satunya taman kaligrafi terbesar di Jawa Barat, bahkan di Indonesia. 

Kendaran di depan lapak cincau
Kendaran di depan lapak cincau/Djoko Subinarto

Tahun 2018 lalu, saat persiapan dan penyelenggaraan Asian Games, Pemkab Cianjur sempat melarang para penjual cincau berjualan di Taman Asmaul Husna. Tapi, kemudian, pada tahun 2019, mereka diperbolehkan kembali berjualan di taman ini.

“Dulu, memang sempat dilarang berjualan,” kata ibu penjual cincau, sambil membuatkan pesanan secangkir kopi instan untuk salah seorang pengendara sepeda motor. 

“Tapi, ke depannya mau dilarang lagi berjualan di sini. Denger-denger disuruh pindah nanti ke dalam rest area Haurwangi. Kalau saya sih, ngikutin apa kata pemerintah aja. Yang penting bisa tetep berjualan,” harapnya. 

Mentari mulai agak condong ke sisi barat. Sinarnya sudah tidak terlalu terik.

“Berapa, Bu?” tanyaku memastikan harga segelas cincau pesananku yang telah tandas kulahap.

“Lima ribu,” jawabnya.

Kusodorkan uang kertas lima ribuan, sembari mengucapkan terima kasih.

Dan aku segera melanjutkan perjalanan menuju Padalarang, Bandung Barat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar