Aku menulis ini di tengah Pekan Suci Paskah yang sangat berbeda dari yang selama ini pernah kujalani. Sebagai umat Nasrani, Hari Raya Paskah yang kulewati umumnya sarat berbagai ritual yang melibatkan pergi ke gereja, berkumpul dengan keluarga dan komunitas, dan berdoa bersama hampir sepekan, dari hari Kamis sampai Minggu. Tapi, tahun ini ada perbedaan yang signifikan dan kesedihan yang terlalu hebat.
Semua berawal ketika memasuki pekan keempat bekerja dari rumah alias work from home (WFH) tanggal 6 April 2020. Awalnya tanggal ini menjadi hari kembali ke kantor, namun kebijakan WFH diperpanjang sampai 19 April dan mungkin akan diperpanjang lagi dan lagi sampai situasi benar-benar kondusif.
Sebagai orang yang cenderung melankolis, aku bergantung pada perasaanku untuk hampir segala aktivitasku. Perasaan yang bahagia akan membuat hariku indah dan produktif. Tapi kalau hati ini sedang kalut, akan cukup menantang bagiku untuk dapat berpikir jernih dan objektif.
Jujur, di pekan ini ritme produktivitasku melemah, lelah. Lelah psikis dan hati karena segala ketidakpastian, ketakutan, dan kekhawatiran untuk segala dimensi di masa depan. Sebagai garda depan sebuah perusahaan yang bertanggung jawab untuk hidup sekelompok orang, kondisi saat ini sangat menantang dan tidak mudah. Kuyakin di luar sana banyak orang yang tidak bisa tidur untuk menghidupi karyawannya, atau bahkan untuk dirinya sendiri dan atau keluarganya.
Kuatasi kelelahanku ini dengan mencoba hal baru lagi, untuk memperbaiki perasaan yang meredup karena segala hal di luar sana yang tidak bisa kukontrol. Di hari Senin pagi yang cerah itu aku berlangganan Freeletics, sebuah aplikasi gaya hidup yang akan menemaniku bergerak dengan rangkaian sesi olahraga virtual dengan trainer bersertifikat. Sebuah harapan baru dan aku butuh itu. Apalagi setelah beberapa minggu pinggul ini melebar dan pipi ini membulat karena stress eating yang tidak terbendung.
Belum sempat hati ini terobati, menyeruak berita di tengah minggu kalau musisi ikonis tanah air dari timur meninggal dunia. Glenn Fredly, penyanyi yang sudah menemani masa-masa keemasan pubertasku, berpulang karena sakit. Kaget, tidak percaya, sedih—ah… kuyakin hampir semua yang tumbuh bersama karya-karyanya juga merasakan hal yang sama.
Untuk sebagian orang, 2020 ini dielukan semacam cobaan yang tidak ada habisnya. Aku pun merasa yang sama di titik itu, terpuruk dalam kesedihan yang luar biasa. Menyaksikan penampilan Bung Glenn yang semacam karaoke massal itu sudah tidak bisa lagi. “Melarikan diri” ke rumah-Nya pada momen Pekan Suci juga tidak bisa.
Akhirnya aku melarikan diri ke rumah orangtua. Jika Paskah di rumah Tuhan tidak bisa, setidaknya kubisa merayakannya di rumah orangtua dengan mereka yang kucintai. Ya, tentu suamiku kubawa serta pula. Kami menginap sampai hari Minggu di sana.
Banyak yang berkata corona membuat standar “normal” baru yang belum atau tidak pernah dilakukan sebelumnya, seperti ibadah Paskah yang kali ini kami lakukan secara virtual, ”langsung” disiarkan dari katedral lewat YouTube Keuskupan Agung Jakarta. Hanya pastor-pastor yang memimpin ibadah dan beberapa petugas saja yang terlihat di dalam gereja barok megah itu, sisanya bangku-bangku kosong dan kamera pendukung siaran.
Ada perasaan sedih lagi yang muncul, yang segera kutepis karena ini momen yang tepat untuk mensyukuri semua yang ada di masa-masa pandemi ini. Bisa berkumpul dengan keluarga, berada di rumah yang nyaman, makanan berkecukupan, dan beribadah bersama, menjadi sebuah privilese yang selama ini mungkin terabaikan. Ada baiknya juga wabah ini untuk sebagian orang, untuk belajar menghargai apa yang dipunya, tidak hanya terus berfokus dengan yang tidak dipunya.
Lalu, usai ibadah bersama keluarga pedih hati hilang? Belum sepenuhnya. Sampai tulisan ini dibuat, hati ini masih belum pulih betul. Daftar putar musik Glenn Fredly masih terus berkumandang bersama lilin-lilin Paskah di rumah. Tapi ini caraku untuk pulih; merayakan kesedihan untuk akhirnya keluar dari sini untuk berkarya lebih baik lagi esok hari.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
1 komentar
Ikut sedih aku ketika membaca nya. Ah aku lebih sedih lagi, Paskah kali ini benar benar sangat lah berbeda. Aku ikut Misa Virtual yang di siarkan langsung dari Katedral juga tapi tanpa bersama orang tua.
Aku hidup jauh dengan orang tua. Ah aku ikuti Misa virtual itu dan air mata pun jatuh tak tertahan.