Di Indonesia, umumnya produksi garam berasosiasi dengan air laut. Namun, di Sorong, seorang lurah yang merupakan pegawai negeri sipil mampu menghasilkan bumbu asin itu dari hamparan pohon nipah. Perjalanannya penuh aral demi mimpi memajukan taraf hidup orang-orang Papua.
Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda & Mauren Fitri
Di daerah pesisir, para petani garam memproduksi garam dengan cara membuat tambak khusus. Tujuannya agar penjemuran atau penguapan air laut berlangsung alami sampai garam bisa dipanen. Praktik seperti ini lumrah terjadi di Madura, pantai utara Jawa (seperti Tuban, Rembang, Pati, Indramayu, Cirebon), Bima, maupun Jeneponto dan Pangkajene di Sulawesi Selatan.
Namun, Papua berbeda. Di daerah rawa dekat pesisir Malawele, Distrik Aimas, Kabupaten Sorong, Yuliance Yunita Bosom Ulim (43) mampu membuat garam hutan. Yuyun—sapaan akrab yang disingkat dari nama Yuliance dan Yunita–menggunakan pelepah tua pohon nipah sebagai bahan baku. Orang Moi, komunitas adat terbesar di Papua Barat Daya, menyebutnya bumbu asin nipah atau garam nipah.
“Kalau orang tua dulu bilang garam hitam,” ungkap Yuyun.
Mendirikan Sinagi Papua
Semasa kecil, ia tahu garam hasil pengolahan nipah tradisional hanya berupa abu yang ditambahkan sebagai bumbu makanan. Wujud asli bumbu asin nipah warisan leluhur suku Moi memang serupa serbuk berwarna hitam layaknya serpihan arang. Hasil dari pembakaran pelepah kering usai dijemur selama sedikitnya satu-dua hari saat matahari bersinar terik. Barangkali syarat cuaca cerah menjadi satu-satunya kesamaan antara pembuatan garam hutan dan laut. Hanya saja, durasi pembuatan garam laut jauh lebih lama—mencapai sebulan.
Hutan nipah mudah ditemui di sekitar rumah Yuyun. Salah satunya berada di sepetak tanah ulayat milik marga Malakabu. Letaknya di timur Malawele, tak jauh dari pinggiran jalan poros Aimas–Pelabuhan Arar. Yuyun memanen pelepah nipah seizin pemilik lahan. Kedekatan marga yang sama-sama bagian dari suku Moi memudahkan Yuyun mengakses bahan baku alam tersebut.
Kecintaannya pada warisan pangan lokal suku Moi mendorongnya mendirikan Sinagi Papua pada tahun 2020. Sebuah unit bisnis dengan semangat melestarikan pangan lokal dan memberdayakan masyarakat sekitar.
Sinagi Papua merupakan jenama usaha Yuyun. Dalam bahasa lokal, “sinagi” berarti kasih sayang. Sinagi Papua merupakan bentuk kasih sayang orang Papua terhadap warisan dan kearifan lokal yang ada. Semangat mengasihi itu pulalah yang membuat Yuyun hampir selalu menerima orang-orang sekitar untuk mencoba bekerja kepadanya. Bahkan mendukung penuh jika ada yang ingin mengembangkan usaha sendiri karena terinspirasi Yuyun. Meskipun kadang silih berganti. Ada yang bertahan sebentar, ada yang awet sampai sekarang.
Salah satunya Elsa Rosmina Kalaibin (52). Selain bekerja di Sinagi Papua, ia sejatinya memiliki usaha produksi mi sagu di rumah. Hasil dari mengikuti program pelatihan dinas pertanian dari Manokwari pada 2021. Sebuah modal berharga, meski pengelolaannya belum maksimal. Oleh karena itu, ia bergabung di Sinagi Papua karena ingin usahanya bisa maju seperti Yuyun.
Kiri: Yuyun dibantu Elsa memilah dan menimbang pelepah nipah yang sudah dijemur kering dan bersiap dipotong. Yuyun memiliki perhitungan bobot bahan baku minimal untuk menghasilkan beberapa ratus gram garam. Kanan: Elsa menyiapkan potongan-potongan pelepah nipah kering untuk dibakar/Mauren Fitri
Elsa terbilang karyawan paling loyal di Sinagi Papua. Ia lebih banyak bertugas membantu Yuyun di dapur produksi. Jam kerjanya seperti orang kantoran, masuk pagi dan pulang sore. Upahnya cukup layak, setara dengan standar minimum Kabupaten Sorong. Perempuan yang tinggal di timur Alun-alun Aimas itu mengungkapkan rasa syukur dan bangganya bisa bekerja di tempat Yuyun. Meski berbeda marga, Yuyun sudah menganggap Elsa seperti kakaknya sendiri yang harus ia bantu.
Begitu pun Yonathan Sede (42). Tetangga Elsa di Aimas. Mulanya karena melihat Yuyun sukses mengembangkan usaha, ia pun datang untuk meminta pekerjaan. Yuyun memberinya tugas di lapangan, seperti memilah dan memotong pelepah nipah yang sudah tua di hutan. Yonathan sangat paham pelepah mana yang cocok sebagai bahan baku garam. Termasuk tidak membabat habis dan menyisakan tegakan tunas agar pelepah nipah bisa tumbuh kembali. Ia termasuk pekerja lapangan yang diandalkan Yuyun sampai sekarang karena kerjanya cepat dan rapi.
“Banyak orang melihat saya sudah sampai di titik ini. Tapi perjalanan saya tidak semulus seperti apa yang dilihat orang,” ujarnya.
Jatuh bangun hingga kecewa pada Tuhan
Tidak pernah terbayangkan sebelumnya di benak istri Denny Massie itu untuk menjadi seorang pengusaha UMKM. Selama satu dekade, Yuyun lebih banyak berkutat pada aktivitas kepemudaan di Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI) Ekklesia Kabupaten Sorong. Di sana ia menjadi ketua pemuda gereja.
Pekerjaan formal pertamanya adalah pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sorong. Ia diberi mandat untuk menjadi lurah di Malagusa, Distrik Aimas. Perkampungan yang dihuni campuran orang asli Papua dan masyarakat transmigran dari Jawa. Jangan bayangkan tempat kerjanya seperti lumrahnya kelurahan yang ada di Jawa. Di Malagusa, karena belum ada kantor definitif, sementara ia berkantor di rumah sewaan milik perantau Jawa dengan anggaran pemerintah.
“Mungkin orang akan berpikir karena saya seorang PNS, maka semuanya pasti berjalan aman-aman saja.” Yuyun memang dapat gaji tetap setiap bulan. Namun, sebagai orang Papua, ia merasa harus melakukan sesuatu yang lebih untuk meningkatkan kesejahteraan sesama orang Papua. Kecintaannya pada nipah dan warisan pangan lokal leluhur suku Moi membuatnya berani bercita-cita besar.
Tanggal 28 Februari 2020 merupakan titik balik yang penting bagi Yuyun. Dalam sebuah kesempatan tak terduga di Kota Sorong, ia bertemu Charles Toto. Pendiri Papua Jungle Chef, komunitas gastronomi di Jayapura yang mengampanyekan pemanfaatan bahan pangan lokal dan organik dari hutan.
“Kaka Charles sudah seperti motivator buat saya,” kata Yuyun.
Lewat Charles, Yuyun kemudian dipertemukan dengan Helianti Hilman, pendiri Javara dan Sekolah Seniman Pangan. Keduanya mendorong Yuyun untuk percaya diri mengembangkan bumbu asin nipah sehingga bisa dipasarkan secara komersial. Seakan gayung bersambut, pada 9 Maret 2020 ia diundang Helianti ke Sekolah Seniman Pangan, Bekasi, Jawa Barat. Selama dua minggu, Yuyun belajar mengolah bumbu asin nipah menjadi layak konsumsi, meski hasilnya belum maksimal.
Perjalanan Yuyun ke Jawa tidak seizin orang tua. Ia tidak tega harus memberi kabar yang terbilang mendadak karena bapaknya sedang sakit keras.
“Saya punya orang tua, bapak terkasih itu sedang berbaring di rumah sakit,” ungkap Yuyun. Ia baru menelepon lewat ponsel adiknya ketika sudah mendarat di Jakarta. Sang adik, yang saat itu menemani bapak, memarahi Yuyun habis-habisan karena seharusnya ikut menunggu di rumah sakit.
Maka ketika tiba di Sorong, Yuyun harus memendam rencana untuk mempelajari lebih lanjut hasil pengalamannya di Seniman Pangan. Selama seminggu, ia menemani bapak di rumah sakit. Di hari ketujuh, bapak terkasih mengembuskan napas terakhir di tangan Yuyun.
Keluarga besar pun berduka. Namun, Tuhan masih punya rencana lain. Selang sebulan, adik kandungnya yang lain meninggal dunia karena sakit.
Yuyun tak ingin patah semangat. “Saya masih punya mama.”
Di tengah kedukaan, ia menyempatkan berkomunikasi dengan Seniman Pangan. Helianti memintanya mendata alat-alat produksi yang dibutuhkan untuk membuat bumbu asin nipah. Yuyun memutuskan membeli rumah baru secara kredit di kompleks perumahan Malawele, untuk dijadikan hunian sekaligus rumah produksi.
Pada suatu Selasa bulan Mei, di tahun yang sama, Yuyun mengajak ibunya berkunjung untuk melihat rumah barunya. Ia memintanya mendoakan usaha produksi bumbu asin nipah agar berjalan lancar dan sukses.
Menurut Yuyun, mama hanya berpesan satu hal yang mengingatkan pada kebiasaan lamanya. “Mama minta saya jangan terlalu keasyikan main HP saat masak, supaya bahan-bahan di kuali tidak hangus dan bikin rumah-rumah orang di perumahan ini terbakar.”
Itulah momen berdoa dan pesan terakhir mama kepada Yuyun. Rabunya, Yuyun masih sempat mengantar mama ke klinik untuk cek darah. Namun, kondisi yang memburuk, diperparah depresi karena kehilangan suami dan seorang anak kandung dalam waktu berdekatan, membuat mama harus dirujuk ke rumah sakit keesokan harinya. Kenyataan pahit harus kembali diterima Yuyun. Hari Jumat, Tuhan memanggil mama kembali ke pangkuan-Nya.
Kehilangan tiga orang terkasih selama tiga bulan beruntun membuat iman Yuyun goyah. “Saya sempat hampir tidak percaya sama Tuhan,” ucapnya lirih. “Mungkin bukan tidak percaya, tapi kecewa. Saya kecewa sekali sama Tuhan.”
Kasih Tuhan akhirnya mengetuk pintu hati Yuyun. Perlahan ia bangkit, menata diri. “Tapi, [akhirnya] saya percaya bahwa apa yang Tuhan buat itu baik. Tuhan tahu saya masih ada adik-adik yang kuat.”
Setelah berduka selama 40 hari, ia memutuskan pergi dari rumah orang tua di Moyo—belakang GKI Ekklesia Sorong—dan tinggal di rumah baru yang sudah didoakan mama. Orang-orang dan kerabat sempat mencibir, mengapa ia meninggalkan rumah di tengah momen kedukaan. Keluarga dekatnya bahkan memvonis usahanya tidak akan bertahan lama.
Ia memilih tidak memedulikan omongan-omongan miring itu. “Saya harus segera bekerja untuk sesuatu yang sudah saya mulai,” tegasnya lantang, “dan saya percaya ada kekuatan doa mama yang mengantarkan saya sampai hari ini.”
Setelah enam bulan berlalu dengan banyak ujian hidup menerpa, Yuyun melanjutkan fokusnya mengembangkan riset dan uji coba produksi bumbu asin nipah. Di ujung semester kedua tahun itu, Yuyun berhasil “menyulap” abu garam hitam menjadi butiran-butiran putih seperti rupa garam dapur pada umumnya. Bumbu asin nipah atau garam hutan rendah sodium inilah yang resmi menjadi produk komersial pertama Sinagi Papua.
“Saya berterima kasih atas kepercayaan yang diberikan Seniman Pangan kepada saya. Mereka membuat sesuatu yang [sebelumnya] tidak ada, menjadi ada.”
Menitipkan mimpi pada garam nipah
Nipah (Nypa fruticans) merupakan salah satu spesies tanaman pembentuk ekosistem mangrove. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik per Desember 2021, luas hutan mangrove di Papua mencapai 1,63 juta hektare. Hampir separuh dari total luas hutan mangrove di Indonesia, yang diketahui sebagai negara dengan ekosistem mangrove terbesar dunia. Dan nipah tumbuh di hampir seluruh pesisir pulau-pulau besar dari Sumatra sampai Papua.
Hampir seluruh bagian nipah bermanfaat. Daun nipah telah banyak dimanfaatkan secara tradisional untuk membuat atap rumah. Produk turunan lainnya dari anyaman daun nipah bisa berupa kerajinan tangan, seperti tikar, tas, topi, atau keranjang. Kemudian nira dari tandan bunga bisa disadap untuk bahan pemanis atau diperam untuk menjadi minuman tuak.
Begitu pun pelepahnya. Di Kabupaten Sorong saja, Yuyun telah menunjukkan cerahnya nilai jual garam dari pelepah nipah lewat Sinagi Papua. Bukti konkret jika sumber daya alam di sekitar rumah bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan keuntungan ekonomi, tanpa harus mengeksploitasi lingkungan secara berlebihan. Namun, Yuyun mengakui, masih banyak tantangan yang harus ia hadapi untuk membuat Sinagi Papua tumbuh lebih besar.
Setidaknya Yuyun telah memetakan tiga tantangan terbesar. Pertama, membuat orang Papua mencintai produk-produk pangan sehat yang dihasilkan dari alam Papua itu sendiri.
Yuyun tidak hanya membuat garam nipah. Ia juga mengkreasikan sejumlah produk makanan dan minuman berbahan pangan lokal. Sebut saja kerupuk sagu dan keripik tiga warna (petatas ungu, petatas oranye, keladi). Yuyun pun hanya menggunakan garam nipah dan minyak kelapa untuk menggoreng camilan itu. Rasanya gurih dan tidak membuat tenggorokan kering. Ada juga teh kayu kamlowele, minuman khas suku Moi. Keempat produk tersebut telah melalui proses uji halal. Sejauh ini, Yuyun membuat produk-produk Sinagi Papua berdasarkan pesanan. Sebab, prosesnya masih tradisional.
Tantangan kedua, terbatasnya kapasitas produksi karena keterbatasan alat-alat yang dimiliki. Bahan kemasan dan stiker label lebih banyak didapat dari Jakarta. Yuyun kerap titip pesan ke kerabatnya yang sedang menempuh studi teologi di ibu kota. Sebab, di Sorong belum ada tempat percetakan yang memadai sesuai keinginan Yuyun.
Diversifikasi produk Sinagi Papua hasil kreasi Yuyun/Deta Widyananda
Lalu, selain meningkatkan kualitas peralatan dapur, ia berharap kelak bisa membangun solar dryer dome. Rumah instalasi pengeringan bertenaga surya itu bertujuan menyimpan dan menjemur pelepah nipah dengan daya kering konsisten tanpa takut terkena hujan.
“Jika sudah terkena hujan, kadar garam akan berkurang karena pelepah membusuk dan jadi amis,” jelas Yuyun.
Ketika tim Ekspedisi Arah Singgah TelusuRI menemui Yuyun di rumahnya (13/8/2024), hujan nyaris setiap hari mengguyur wilayah Kota Sorong dan Aimas. Terutama siang sampai sore. Yuyun bersama Elsa harus bekerja ekstra keras agar pelepah-pelepah nipah yang telah dipanen dan dijemur di teras rumah tidak terbuang percuma. Kalau sampai kena hujan, ia terpaksa membuang pelepah-pelepah itu ke rawa hutan nipah di samping kompleks perumahan.
Begitu pula yang terjadi saat kami ikut menemani Yuyun memanen pelepah nipah di hutan adat keluarga Malak beberapa hari berikutnya. Ia bersama kru lapangan, termasuk Yonathan dan warga pemilik pikap sewaan untuk mengangkut hasil panen, harus berkejaran dengan waktu. Rutinitas seperti ini dilakukan Yuyun hampir setiap hari, di luar jam kerja dan tugas pokoknya sebagai lurah di Malagusa.
Tidak berhenti di situ. Yuyun masih harus mengawal proses selanjutnya yang cukup melelahkan. Dibantu Elsa dan sejumlah kru tidak tetap, mereka menjemur pelepah—sementara ini memakai ujung jalan kompleks di depan rumahnya, atas seizin pengembang dan tetangga sekitar—memilah dan menimbang pelepah yang berkualitas baik, mencuci, memangkas bagian kulit pelepah lalu membakarnya. Kemudian dari abu garam hitam itu selanjutnya diproses di dapur sampai menghasilkan butiran-butiran berwarna putih. Pengemasan dan pelabelan menjadi langkah terakhir sebelum dipasarkan kepada pemesan.
Tantangan ketigalah yang disebut Yuyun paling berat. Sampai sekarang ia masih keliling mencari figur-figur anak muda Papua yang mau bergabung untuk mengembangkan Sinagi Papua. “Saya ingin mengubah pola pikir kita, bahwa kita tidak [boleh] hanya tergantung pada [pekerjaan] sebagai PNS, tetapi kita juga sebenarnya bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dan menghidupi orang lain,” impinya.
Masa depan garam hutan ala Sinagi Papua masih terbuka lebar. Seluas hamparan hutan nipah yang tumbuh berlimpah di seantero Sorong. Harapan Yuyun pun membubung tinggi. Ia yakin Sinagi Papua akan menjadi besar. Bisa menghasilkan lebih dari apa yang ia buat saat ini. (*)
Foto sampul:
Yuyun menunjukkan produk bumbu asin nipah atau garam hutan di tengah area hutan nipah dekat rumahnya/Deta Widyananda
Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.