Bagaimana rasa udara di tempat berkadar oksigen tertinggi? Apakah lebih segar dan helaan kita bakal lebih dalam? Atau tubuh akan lebih energik usai bernapas? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak saya pada suatu pagi di Pelabuhan Dungkek, Sumenep. Pandangan saya mengarah ke sebuah daratan di seberang timur, yaitu Gili Iyang, si Pulau Oksigen.
Lantaran kadar oksigennya yang disebut-sebut paling tinggi nomor dua di dunia, konon, warga di pulau tersebut dapat hidup lebih sehat dan panjang. Agaknya, Odeng, kawan saya yang tempo hari mengajak ke Kangean, begitu penasaran soal itu. Alhasil, kami pun berkunjung ke Gili Iyang.
![Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen](https://telusuri.id/wp-content/uploads/2024/12/Para-awak-gagah-berani-berdiri-di-tepi-perahu-Asief-Abdi-1024x768.jpg)
Menyeberang ke Gili Iyang
Usai menunggu sekitar satu jam hingga kapal penuh muatan, akhirnya sang juru mudi menyalakan mesin. Sampan pun memutar haluan dan melaju. Meski sempit, selat yang kami lintasi sama sekali tak ramah. Ombak mengempas, menggoyang badan perahu hingga miring. Untung motor penumpang sudah diikat kuat oleh kru kapal. Kalau tidak, mungkin motor saya sudah nyemplung ke laut.
Para awak dengan gagah berdiri di tepi sampan. Kaki mereka cekatan mencari pijakan, sementara tangan mengikat terpal penutup agar serpih ombak tak mengguyur penumpang. Setengah jam kemudian, gerombolan dara laut menyambut saat perahu mendekati pulau. Burung-burung itu terbang rendah di atas permukaan, menukik, lalu melayang lagi dengan ikan kecil di paruh.
“Kami tak berlayar kembali. Cukup buat kami hari ini. Nanti coba ke pelabuhan satunya saja. Ingat, sebelum jam satu siang,” kata seorang awak ketika semua penumpang sudah turun. Saya mengangguk. Dan pelabuhan itu pun sontak sepi.
Tak jauh dari dermaga, terpampang penunjuk arah ke tempat-tempat wisata di Gili Iyang. Kami tak punya banyak waktu. Dua jam saja atau kami akan menghabiskan malam di pulau kecil ini. Dan jika ada tempat yang wajib dikunjungi, itu adalah Titik Oksigen.
![Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen](https://telusuri.id/wp-content/uploads/2024/12/Titik-Oksigen-Gili-Iyang-Asief-Abdi-1024x768.jpg)
Bernapas di Titik Oksigen
Titik Oksigen tak ubahnya halaman warga yang terbengkalai. Kami bahkan tak sadar saat melewatinya. Kondisi area tersebut menyedihkan. Gazebo-gazebo peneduh tampak usang. Salah satunya bahkan reyot. Sebuah pohon berdiri tegak, menaungi tugu mini bertuliskan “Titik Oksigen”. Saya berdiri di situ, memejamkan mata, lalu menghela napas. Apa ini? Rasanya biasa saja.
Kami beralih ke sebuah warung di kawasan itu. Dengan percaya diri, Misnariah, perempuan penjaga warung tersebut mengaku berusia 106 tahun. Saya dan Odeng berpandangan sambil memegang gorengan. Yang benar saja. Omong kosong! Menurut taksiran kami, paling-paling umurnya lima puluhan. Kabar tentang oksigen Gili Iyang yang sanggup membuat penghuninya hidup lebih panjang memang santer beredar di internet. Meski begitu, bisa jadi itu cuma gimik.
Sudah lepas tengah hari. Jika tak ingin ketinggalan kapal, sebaiknya kami bergegas ke pelabuhan. Namun, Odeng punya ide lain. Anak itu tak rela hanya menghabiskan satu dua jam di pulau ini. Saya punya firasat sepertinya kami bakal bermalam di sini. Lalu, alih-alih menuju pelabuhan, kami malah beranjak ke tempat lain, mengikuti papan penunjuk jalan.
![Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen](https://telusuri.id/wp-content/uploads/2024/12/Pondok-pondok-wisata-yang-mangkrak-Asief-Abdi-1024x768.jpg)
Objek Wisata yang Tak Siap
Kami bertolak menuju Batu Canggah. Tempat itu adalah tebing karang ikonis pulau ini. Untuk ke sana, kami harus keluar dari jalan utama dan menerobos tegalan. Jejeran cottage menyambut kami. Keadaannya menyedihkan. Pondok-pondok itu agaknya mati sebelum sempat berfungsi. Padahal, fasilitas tersebut sudah dilengkapi pendingin udara. Saya masuk ke salah satunya dan mendapati sebuah spring bed yang barangkali tak seorang pun pernah rebahan di atasnya.
Ketika tiba di Batu Canggah, kami tak menemukan apa pun selain tulisan “Tutup”. Mungkin, saking sepinya, si petugas sampai enggan berjaga. Kami mencoba masuk, tapi pagar di sekeliling gerbang terlampau tinggi untuk dilompati. Kondisi serupa juga terjadi di Pantai Ropet di sisi selatan pulau. Tempat itu juga mangkrak.
Setelah merasa cukup—akhirnya, kami bertolak ke pelabuhan. Terdapat lebih dari satu pelabuhan di Gili Iyang dan masing-masing punya jadwal kapal sendiri-sendiri. Agaknya dermaga-dermaga itu adalah milik perorangan yang juga si empunya kapal, sebab kapal dari pelabuhan satu tak parkir di pelabuhan lain.
Di pelabuhan, rupanya bukan cuma kami yang hendak menyeberang. Seorang pemuda sedang duduk di tempat parkir dengan ransel dan kardus. Dia warga asli Gili Iyang yang hendak merantau ke Bali. Tanah ranggas ini sepertinya tak menjanjikan apa pun untuknya selain memaksanya melaut. Kami mengobrol hingga tampak sebuah kapal merapat ke tepi.
Namun, ketika kami berjalan mendekat, sang nakhoda berseru, “Ombaknya terlalu kuat. Tak mungkin kami kembali. Lebih-lebih, sore nanti air bakal surut. Kapal bisa kandas. Besok saja.” Sepertinya si pemuda perantau kudu bersabar sehari lagi, begitu pula kami yang harus mencari tempat menginap untuk malam nanti. “Usai azan Subuh, pastikan kalian sudah di sini,” sang nakhoda mewanti-wanti.
Kami berhenti di sebuah masjid, tak jauh dari pelabuhan. Di tengah hawa terik, masjid itu seperti oase di tengah gurun. Salman, sang takmir, usai menanyakan dari mana dan hendak ke mana dua orang asing di depannya, menawarkan bantuan. “Masjid ini terbuka untuk musafir. Kalian bisa bermalam di sini,” katanya. Lalu, lewat obrolan dengan lelaki tambun itu, saya tahu kalau orang Gili Iyang punya legenda lokalnya sendiri tentang muasal pulau mereka.
![Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen](https://telusuri.id/wp-content/uploads/2024/12/Motor-roda-tiga-angkutan-umum-di-Gili-Iyang-Asief-Abdi-1024x768.jpg)
Legenda Sèrè Èlang dan Obrolan di Dermaga
Konon, Gili Iyang pertama kali ditemukan bukan oleh orang Madura, melainkan orang Bugis, yakni Daeng Massale. Alkisah, setelah berhari-hari melintasi segara, pelaut itu akhirnya menemukan pulau dengan posisi tertentu dari matahari. Sang Daeng pula yang melindungi pulau tersebut dari serangan penjajah. Menurut legenda setempat, tokoh sakti itu menghilangkan Gili Iyang dari pandangan penjajah hanya dengan selembar daun sirih. “Begitulah pulau ini disebut Sèrè Èlang (Sirih Hilang),” tutur Salman.
Pulau-pulau kecil di timur Sumenep memang unik. Agaknya, gili-gili mungil itu dulunya menjadi persinggahan suku-suku dari Sulawesi hingga akhirnya menetap. Hal tersebut tercermin dalam kisah Sirih Hilang tadi. Daeng merupakan gelar khas suku Bugis. Entah masih ada atau tidak suku asal Makassar itu di Gili Iyang, tapi mereka turut menghuni pulau-pulau lain di Sumenep macam Masalembu dan Kangean.
Selepas membereskan urusan tidur malam nanti, kami bertolak ke dermaga untuk melihat matahari tenggelam. Di antara banyak dermaga, kami memilih yang terpanjang. Air laut yang surut menampakkan wajah asli pesisir Gili Iyang yang penuh batu karang. Tak ayal pulau ini sepi pengunjung. Pantainya jauh dari kata molek. Di tepi laut yang surut, beberapa orang menggotong karung dan duduk mencangkung sambil mengais-ngais. Mereka jelas tak tengah buang hajat. Mungkinkah mereka sedang mengumpulkan kerang?
Dari atas dermaga, saya menyapa seorang wanita tua tepat di bawah saya. Ia tampak sibuk mengumpulkan sesuatu. Rupanya, bukan kerang atau tiram yang dia himpun, melainkan pasir. “Buat bangun rumah, Cong (sapaan Madura yang berarti ‘nak’ untuk laki-laki’),” kata dia sambil mengayak lalu memasukkan pasir ke dalam wadah. Pantas pantai ini tak berpasir.
![Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen](https://telusuri.id/wp-content/uploads/2024/12/Seorang-warga-mengumpulkan-pasir-laut-Asief-Abdi-1024x768.jpg)
Matahari kian jatuh. Memandang ke langit barat di jam-jam seperti ini menyadarkan saya akan cepatnya waktu berlalu. Seorang pria menyapa saya yang kala itu sedang khusyuk menikmati tenggelamnya sang surya.
Pak Mohan, pria itu, adalah seorang guru SD di pulau ini. Sudah seperempat abad lebih ia rela hidup berjauhan dari keluarganya di Jawa demi mengajar di daratan kecil ini. Sampai-sampai ia sudah seperti warga asli Gili Iyang. “Siapa yang tak kenal saya? Semua orang di pulau ini tahu Pak Mohan,” kelakarnya. Walau sudah berusia lima puluh tahun, lelaki itu tampak lebih muda dari umurnya.
“Awet muda itu gampang. Asal hati gembira dan enggak stres,” kata dia.
“Tunggu! Jangan-jangan sampean selalu gembira dan bebas stres karena enggak tinggal bareng istri, Pak?” canda saya. Lelaki itu terbahak sambil geleng-geleng kepala. Sepertinya terkaan saya benar.
Bagi lelaki kocak itu, kabar perihal penduduk Gili Iyang yang awet muda dan berumur panjang tak sepenuhnya benar. “Murid-murid saya banyak yang mukanya boros. Beberapa bahkan terlihat lebih tua dari saya,” katanya. Ia lalu menjelaskan bahwa hal itu mungkin efek dari iklim pesisir yang keras, di mana orang-orang dipaksa melaut dan bekerja di bawah sengatan matahari.
“Tapi memang di titik oksigen itu, kalau pagi hari, udaranya segar betul,” imbuhnya. Saya teringat pemuda perantau yang saya temui siang tadi. Barangkali, hijrah ke kawasan lain adalah opsi terbaik. Dan ketika para pemuda pulau memilih pindah, wajar rasanya jika pulau ini akhirnya lebih banyak dihuni kaum manula yang mungkin memang bisa hidup lebih bugar sebab minimnya polusi.
![Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen](https://telusuri.id/wp-content/uploads/2024/12/Senja-di-dermaga-Asief-Abdi-1024x768.jpg)
Tak terasa, matahari telah tenggelam seutuhnya. Ketika cahaya terakhir lenyap di ufuk barat, kami beranjak. Kegelapan menyelimuti. Tanpa sinar lampu motor, kami bisa nyungsep di mana saja. Seperti Kangean, listrik Gili Iyang bergantung penuh pada generator listrik bertenaga diesel. Kendati begitu, raungan mesin tersebut tak sanggup menerangi seisi pulau. Alhasil, warga harus puas dengan penjatahan listrik harian. Jika setengah pulau malam ini menyala, separuhnya harus mengalah.
Di masjid, Usman menuntun kami ke sebuah bilik berdinding triplek khusus musafir. Untunglah kami tak perlu membayar. “Lepas tengah malam, listrik bakal mati total. Kalau mau isi daya, sebaiknya sebelum itu,” ujar sang takmir.
Saya terjaga tepat tengah malam karena kandung kemih saya penuh. Begitu membuka pintu, tak ada setitik pun cahaya lain di sekeliling kecuali lampu masjid yang masih benderang berkat panel surya. Dalam kegelapan seperti ini, gemintang di langit tampak lebih banyak. Saya buru-buru ke kamar mandi dan lekas kembali ke bilik. Di luar, angin darat bertiup kencang dan malam kian pekat.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.